NovelToon NovelToon
Bola Kuning

Bola Kuning

Status: sedang berlangsung
Genre:Kehidupan di Sekolah/Kampus
Popularitas:93
Nilai: 5
Nama Author: Paffpel

Kisah tentang para remaja yang membawa luka masing-masing.
Mereka bergerak dan berubah seperti bola kuning, bisa menjadi hijau, menuju kebaikan, atau merah, menuju arah yang lebih gelap.
Mungkin inilah perjalanan mencari jati diri.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Paffpel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 17

Setelah ngobrol dan ketawa-ketawa lumayan lama. Rian maju pelan-pelan dan natap Arpa. “Rap, gua pulang ya.” kata Rian sambil senyum.

Arpa mengangguk. Rian pun langsung berjalan pulang, meninggalkan Arpa, sendirian. Di perjalanan pulang, kadang dia berhenti sebentar dan tangannya menggenggam pelan. Dia cuman berharap… semoga… apa yang dikatakan Arpa itu benar.

Rian pun sampai di depan rumahnya. Dia natap sebentar jendela rumahnya yang masih menyala. Perlahan-lahan dia maju dan membuka pintu.

Tapi saat Rian membuka pintu. Tidak ada siapapun. Dia melangkah masuk, dan melihat ada surat di meja.

Rian buru-buru jalan ke surat itu. Dia membacanya. “Rian, ibu ada urusan mendadak. Ini soal pekerjaan ibu, ibu pergi dulu ya.”

Rian meremas surat itu dan langsung melemparnya dengan keras. Rahangnya mengencang dan alisnya mengkerut kuat. Dia memukul-mukul meja.

Rian nyender di tembok dan perlahan-lahan jatuh ke lantai. Tatapannya jatuh ke bawah. Napasnya yang sebelumnya cepat jadi pelan, berat. “Ini ngerasa bersalah yang lu maksud, Rap?” kata Rian, suaranya melemah.

Sedangkan Arpa, dia ingin pulang. Tapi dia lebih memilih untuk menatap bulan sebentar lagi. Dia kadang menutup matanya dan membukanya lagi. Dia menikmati angin malam yang berhembus.

Di tengah lamunannya, tiba-tiba Arpa ada yang nyenggol pelan tangan Arpa. Arpa nengok. Dan ngeliat sekumpulan orang asing yang natap dia.

Arpa fokus menatap mereka. Matanya menyipit dan bibirnya menipis. “Apa?” badannya tegak dan bahunya maju sedikit.

“santai aja cil, nama gua Yuda, terus juga lu ngapain disini malem-malem? Sendirian lagi, bahaya cil,” kata Yuda sambil nepuk pelan bahu Arpa.

Badan Arpa rileks. “Nggak ngapa-ngapain bang, cuman bosen aja. Jangan panggil gua cil, bang, gua bukan anak kecil.”

“Oke, cil,” Yuda nyengir sambil ngangkat dagunya.

Arpa menghembuskan napasnya sambil menggelengkan kepalanya. “Terserah dah bang, ngomong-ngomong itu semua temen lu bang?” Arpa ngelirik mereka.

Yuda memegang dagunya dan ngelirik-lirik sekitar. “Hmm, di bilang temen sih iya, mungkin lebih tepatnya kita itu keluarga, tapi nggak sedarah. Dia Zidan, Amelia, Siska, dan Wawan,” Yuda nunjuk mereka satu-satu.

Mereka melambaikan tangan sambil senyum. Arpa natap Yuda dan memiringkan kepalanya. “Keluarga?”

Yuda tersenyum lembut dan matanya sedikit menyipit. “Iya, kita itu dulunya anak-anak yang nggak punya rumah, terus kita membentuk semacam kelompok gitu deh, supaya kita punya sesuatu yang disebut rumah.”

Yuda menatap langit sambil nyender di pagar jembatan. “Zidan, keluarganya ngusir dia karena masalah ekonomi yang kurang cukup. Amelia, kedua orang tuanya meninggal, dan nggak ada yang mau ngerawat dia. Siska, ayah dan ibunya berantem mulu, dia memutuskan buat kabur dari rumah. Wawan, ibunya meninggal, ayahnya nikah lagi, tapi sikap ibu tirinya jelek banget ke dia, jadinya dia memutuskan buat kabur dari rumah, dan gua, orang tua gua cerai, dari awal mereka emang ga pernah akur. Ayah dan ibu gua juga nggak ada yang mau ngerawat gua.”

Arpa terdiam sebentar. Tatapannya melembut dan alisnya turun sedikit. Napasnya terdengar lebih pelan. “Kalian… kuat ya, kak, bang,” Arpa ngeliat mereka satu persatu.

Mulut Yuda terbuka sedikit lalu tersenyum. Dia merangkul Arpa. “Ya namanya juga hidup cil, yang bisa kita lakukan cumacuman bertahan. Udah pulang sono cil, udah malem ini.”

Arpa ngeliat jam di ponsel. Dia natap Yuda dan ngangguk. “Gua pulang dulu ya, Bang Yuda, Bang Zidan, Bang Wawan, Kak Siska dan kak Amelia.” Arpa pergi sambil melambaikan kecil tangannya. Dia tersenyum ke arah mereka.

Arpa pun berjalan santai menuju rumahnya. Angin malam berhembus, Rambutnya bergoyang pelan.

Arpa pun sampai di rumahnya. Dia masuk ke dalam rumahnya. Ibu Arpa melihat Arpa. Sekarang mata Arpa menjadi lebih hidup, dan masih ada bekas senyuman di mukanya.

Ibu Arpa menghembuskan pelan napasnya dan tersenyum hangat. “Selamat datang, Arpa.”

Arpa tersenyum tipis dan ngangguk. “Iya, bu.”

Arpa berjalan ke mandi, dia mandi dan ganti baju. Setelah ganti baju dia langsung masuk kamarnya. Saat di kamarnya, tiba-tiba Arpa teringat sesuatu. “Si Jun gimana ya,” Arpa mengambil ponselnya dan mencari kontak Juan.

Dia diam sebentar. Lalu mematikan ponselnya. “Ya udahlah, paling udah pulang, ngantuk juga gua.” Arpa mematikan lampu. Berjalan ke kasurnya. Berbaring di kasurnya dan tertidur.

Besok paginya. Arpa bangun dan siap-siap ke sekolah seperti biasanya. Kali ini dia nggak menghindari Juan dan jalan bareng ke sekolah.

Arpa nyapa pak budi, dan lanjut jalan ke kelas. Saat di depan pintu kelasnya, Arpa menarik napas dan menghembuskannya. Dia menggenggam tangannya seolah siap dengan apa yang akan terjadi.

Arpa membuka pintu kelas pelan-pelan. Mutia ngelirik Arpa dan Juan sambil melambaikan tangan dan tersenyum lebar. Arpa dan Juan melambaikan tangannya juga.

Lalu Arpa natap Kelas dan Susi. Alis Kela mengkerut dan bibirnya mengencang. Dia natap Arpa sebentar dan memalingkan pandangannya dengan cepat.

Dada Arpa sedikit terangkat dan senyumnya muncul. Alisnya naik sedikit. Dia berjalan tegak menuju kursinya. Kali ini, dia nggak di pojok kelas lagi, dia kembali duduk di samping Juan dan di depan Rian.

Arpa langsung duduk. Juan ikut duduk. Belum lama duduk, Rian nyentuh bahu Arpa. Arpa nengok.

Tapi Rian memalingkan pandangannya. Mulutnya terbuka, tapi tertutup lagi. Dan pada akhirnya dia membuka mulutnya. “Rap… kenapa lu bohong sama gua, kata lu, ibu gua ngerasa bersalah, tapi nyatanya, pas gua pulang malem itu, dia… langsung pergi lagi.”

Alis Arpa terangkat dan mulutnya sedikit terbuka. Dia menundukkan kepalanya. “Maaf… Yan.”

Juan ngelirik ke arah Arpa dan Rian. “Hah? Ada apa nih, Rap, Yan?”

Arpa menghela napas. “Kemarin, Ibunya Rian pulang, terus mungkin si Yan marah ke ibunya. Lu tau kan, Jun, dari kecil si Yan jarang ketemu sama orang tuanya. Singkatnya gua ke ruang Rian dan ketemu ibunya, terus nyari Rian. Dan gua bilang kalau ibunya Rian mungkin ngerasa bersalah.” Arpa meremas jari-jarinya.

Mulut Juan terbuka sedikit. Dia menundukkan kepalanya, tapi langsung mengangkat kepalanya lagi. Dia natap Rian. Dia megang bahu Rian. “Yan, si Rap juga manusia, dia bisa salah. Dan ibu lu, kita nggak bisa nyalahin dia langsung, Yan. Tapi tenang Yan, kan ada kita, kalau butuh apa-apa, kita siap kok.” Juan tersenyum hangat.

Mata Rian yang sebelumnya kosong, perlahan-lahan menjadi hidup. Dia tersenyum tipis. “Makasih ya, Jun, dan maaf ya, Rap,” Rian sedikit menundukkan kepalanya.

Arpa ngangguk sambil senyum. Mereka bertiga pun lanjut ngobrol, dan kadang ketawa kecil.

Sedangkan Talita, sekarang dia duduk di samping Mutia. Talita jadi sering senyum dan matanya menjadi lebih lembut.

1
HitNRUN
Nguras emosi
tecna kawai :3
Masih nunggu update chapter selanjutnya dengan harap-harap cemas. Update secepatnya ya thor!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!