Ini cerita sederhana seorang pemuda di pedesaan. Tentang masalah pertumbuhan dan ketertarikan terlarang. Punya kakak ipar yang cantik dan seksi, itulah yang di alami Rangga. Cowok berusia 17 tahun itu sedang berada di masa puber dan tak bisa menahan diri untuk tak jatuh cinta pada sang kakak ipar. Terlebih mereka tinggal serumah.
Semuanya kacau saat ibunya Rangga meninggal. Karena semenjak itu, dia semakin sering berduaan di rumah dengan Dita. Tak jarang Rangga menyaksikan Dita berpakaian minim dan membuat jiwa kejantanannya goyah. Rangga berusaha menahan diri, sampai suatu hari Dita menghampirinya.
"Aku tahu kau tertarik padaku, Dek. Aku bisa melihatnya dari tatapanmu?" ucapnya sembari tersenyum manis. Membuat jantung Rangga berdentum keras.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desau, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 10 - Traktir
Dahi Dita berkerut dalam. "Kenapa begitu? Kau takut merepotkanku? Begitu?" tukasnya.
"Iya, Kak. Lagian aku ingin membiasakan diri nyuci baju sendiri," sahut Rangga.
"Ya udah deh, aku nggak akan maksa. Btw, badanmu bagus juga ya, Dek. Kalau kau daftar polisi, pasti bakal lulus juga seperti abangmu," kata Dita.
Rangga mengelus tubuhnya yang memang atletis. Dia merasa canggung sekaligus gugup. "Makasih, Kak. Tapi aku nggak mau jadi polisi," ungkapnya.
"Terserah kamu deh. Kau sebaiknya mandi. Nanti telat ke sekolah," tanggap Dita.
Rangga mengangguk dan segera masuk ke kamar mandi. Saat itulah dia merasa lega. Selesai mandi, Rangga mengenakan seragam dan bersiap pergi ke sekolah. Namun sebelum pergi, dia sarapan terlebih dahulu. Sementara Dita tampak sibuk mencuci piring.
"Kak, aku berangkat ya..." imbuh Rangga sambil bangkit dari tempat duduk. Dia hendak beranjak.
"Eh, nggak salim dulu?" Dita terlihat bergegas membasuh dan mengelap tangannya. Lalu mengulurkan tangan.
Rangga lantas mencium punggung tangan Dita. Lagi-lagi pikirannya berlarian kemana-mana. Apalagi saat atensinya tertuju ke arah belahan dada Dita yang sedikit terlihat.
"Nih, tadi Bang Firza nitip ini ke aku. Katanya buat jajanmu hari ini." Dita memberikan uang seratus ribu.
Pupil mata Rangga membesar. Selain tubuh mulus wanita, baginya uang juga menggoda. "Makasih, Kak..." ungkapnya.
"Sama-sama. Pinter-pinter kamu di sekolah ya," tutur Dita seraya tersenyum.
"Pasti, Kak!" sahut Rangga.
...***...
Ketika di sekolah, Junaidi dan Ifan langsung menyambut kedatangan Rangga. Mereka memastikan Rangga baik-baik saja. Keduanya juga berusaha menghibur Rangga dengan mentraktirnya makan bakso saat pulang sekolah nanti.
"Gila, hujan-hujan begini emang enaknya makan bakso. Tapi ini beneran kan kalian yang bayarin?" cetus Rangga.
"Tenang aja, Ga. Makan aja sepuasmu. Junaidi pasti bayarin," sahut Ifan.
"Lah, kita patungan dong! Enak aja aku doang yang bayar," balas Junaidi.
"Oke nggak masalah. Tapi uangku tinggal lima ribu. Nih!" Ifan dengan tenangnya memberikan uangnya yang tidak seberapa.
"Sialan nih anak!" Junaidi menggeplak kepala Ifan karena kesal.
"Kalian ini sok-sokan mau traktir. Punya uang aja enggak," komentar Rangga sambil terkekeh. "Biar aku aja deh yang traktir. Kebetulan hari ini uang jajanku banyak," lanjutnya.
"Kau terlihat normal sekali untuk ukuran anak yang baru ditinggal ibunya," pungkas Junaidi.
"Hush! Jangan dibahas!" Ifan menyenggol Junaidi.
"Kau ini, baru aja aku mencoba nggak sedih dan lupa. Kok malah di ingatkan lagi." Rangga langsung merubah ekspresinya jadi sedih.
"Eh, aku nggak bermaksud begitu, Ga. Aku cuman senang lihat kau normal lagi. Soalnya biasanya kau pasti butuh waktu lama untuk normal. Kau ngerti kan?" balas Junaidi.
"Kau benar juga, Nai. Dia lebih cepat bangkitnya kali ini." Kali ini Ifan setuju dengan pendapat Junaidi.
"Itu karena ada sesuatu yang membuatku kuat. Mungkin..." Rangga berusaha memberikan alasan. Yang ada di dalam pikirannya saat itu hanyalah Dita. Kakak iparnya itu memang salah satu sosok yang mampu membuatnya move on lebih cepat dari kematian sang ibu.
"Apaan tuh?" Junaidi mencoba menebak.
"Jangan bilang kakak iparmu?" timpal Ifan. Saat itu jantung Rangga seperti kompor meleduk karena tebakan Ifan tepat sasaran.
"Gila kau ya! Nggak mungkin Rangga naksir sama kakak iparnya sendiri," bela Junaidi. "Iyakan, Ga?" dia menatap Rangga.
"I-iya. Kau ini ada-ada saja, Fan. Ya udah lanjut makannya. Ini udah kesorean," kata Rangga, berusaha bersikap santai.
Setelah makan bakso, Rangga langsung pulang ke rumah. Kala itu keadaan rumah sunyi. Firza belum datang dan Dita tidak terlihat sama sekali. Rangga menggunakan kesempatan itu untuk mencuci sprei dan selimutnya. Namun saat tiba di tempat cuci, dia melihat ada orang di kamar mandi, dan dirinya yakin Dita yang ada di dalam sana.
"Aah... Ah... Ah..." Terdengar suara desahan dari kamar mandi. Itu jelas hal aneh bagi Rangga, karena dia yakin Firza belum pulang. Tidak ada jejak kakaknya di rumah itu. Terutama motor dinas dan juga sepatunya.
Rangga menggaruk kepalanya karena keheranan. Selain itu dia juga merasa penasaran. Oleh sebab itulah Rangga nekat mengintip dari lubang kecil seng di samping kamar mandi. Kebetulan memang dinding kamar mandi itu terbuat dari seng.
Tanpa disangka Rangga bisa melihat penampakan Dita nyaris secara utuh. Dia kaget sekali dengan apa yang dilakukan perempuan tersebut.
Rangga lebih mengerti dita sebaliknya juga begitu rasanya mereka cocok
mangats thor sllu ditunggu up nya setiap hari