Rania menjalani kehidupan yang monoton. Penghianatan keluarga, kekasih dan sahabatnya. Hingga suatu malam, ia bertemu seorang pria misterius yang menawarkan sesuatu yang menurutnya sangat tidak masuk akal. "Kesempatan untuk melihat masa depan."
Dalam perjalanan menembus waktu itu, Rania menjalani kehidupan yang selalu ia dambakan. Dirinya di masa depan adalah seorang wanita yang sukses, memiliki jabatan dan kekayaan, tapi hidupnya kesepian. Ia berhasil, tapi kehilangan semua yang pernah ia cintai. Di sana ia mulai memahami harga dari setiap pilihan yang dulu ia buat.
Namun ketika waktunya hampir habis, pria itu memberinya dua pilihan: tetap tinggal di masa depan dan melupakan semuanya, atau kembali ke masa lalu untuk memperbaiki apa yang telah ia hancurkan, meski itu berarti mengubah takdir orang-orang yang ia cintai.
Manakah yang akan di pilih oleh Rania?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SunFlower, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
#9
Happy Reading...
.
.
.
Sepulang dari pemakaman, suasana rumah terasa jauh lebih sunyi dari biasanya. Tidak ada suara televisi, tidak ada percakapan kecil, hanya keheningan yang membuat dada terasa semakin sesak. Rania melangkah masuk dengan langkah pelan, masih memikirkan detik-detik terakhir sebelum pemakaman tadi selesai. Ia sendiri tidak tahu bagaimana harus bersikap. Semua terasa seperti mimpi buruk baginya.
Namun baru saja ia hendak melangkahkan kaki menuju kamarnya untuk menenangkan diri, suara Melisa terdengar dari belakang.
“Rania...”
Rania berhenti. Menutup mata sebentar sebelum berbalik. “Iya, Ma?”
Melisa berdiri sambil menyilangkan tangan di dada. Raut wajahnya penuh kekecewaan yang tidak ia sembunyikan sedikit pun. “Kamu tidak ingin berbicara apa-apa? Kamu pikir Mama tidak lihat bagaimana kamu bersikap dari tadi? Bahkan dari kemarin.”
Rania mengernyit bingung. “Maksud Mama apa?”
“Jangan berpura-pura tidak tahu!” suara Melisa sedikit meninggi. “Sejak tadi pagi sampai pemakaman selesai, kamu bahkan tidak mengeluarkan air mata. Kamu berdiri di sana seperti orang yang tidak peduli sama sekali!”
Rania terdiam mendengar ucapan mamanya. Tubuhnya menegang.
Melisa mendekat selangkah. “Kamu itu anak kami, Rania. Papa kamu baru saja meninggal. Tapi kamu berdiri di sana seperti batu! Mama bahkan tidak melihat kamu menangis sedikit pun!” Ulangnya.
Rania mengepalkan jemari. “Ma… aku...”
“Jangan bilang kamu sedih!” potong Melisa cepat. “Sedih dari mana kalau air matamu saja tidak turun? Apa kamu masih dendam karena pertengkaran itu? Karena Papa tidak membela kamu malam itu? Kamu masih menyimpan kemarahan, begitu?”
Rania memejamkan mata, berusaha mengatur napas. Ia sudah terlalu lelah. Fisik maupun batinnya seolah telah di hajar habis- habisan oleh keadaan.
“Aku tidak dendam, Ma.” ucap Rania dengan suara hampir bergetar. “Aku hanya… tidak tahu harus bagaimana?”
Melisa menggeleng pelan, ekspresi kecewa itu masih ada tidak berubah sedikitpun. “Kamu selalu begitu, Ran. Selalu bilang ‘tidak tahu’, selalu bilang ‘tidak apa-apa’. Mama tidak mengerti bagaimana mungkin seorang anak tidak menangisi ayahnya sendiri.”
“Aku masih syok, Ma!” suara Rania akhirnya meninggi. “Aku ingin menangis, tidak aku tidak bisa menangis! Aku bahkan masih tidak bisa menerima fakta bahwa papa sudah tidak ada!”
Melisa memandangnya tajam. “Atau jangan-jangan kamu senang? Kamu merasa beban hidup yang kamu tanggung sudah berkurang satu.”
“Ma!” suara Rania pecah. “Jangan berkata seperti itu!” Protesnya.
Melisa menghela napas panjang, namun suaranya tetap keras. “Kalau kamu marah, bilang! Kalau kamu sakit hati, bilang! Jangan berdiri seperti patung yang tidak peduli apa-apa!”
Rania menggigit bibirnya kuat-kuat. Tubuhnya gemetar kecil. “Aku bukan patung, Ma… aku cuma lelah.”
Ia menunduk, kedua bahunya sedikit naik turun.
“Beberapa bulan ini semuanya… terjadi begitu cepat,” lanjut Rania dengan suara parau. “Di kantor.. Di rumah, Jordi... Teman-teman… dan sekarang Papa. Aku tidak tahu bagaimana harus memproses semuanya.”
Melisa tampak ingin membalas, tapi Rania mendahului.
“Bukannya aku tidak sedih.. Bukannya aku tidak merasa kehilangan.. Bukan aku tidak sayang Papa. Tapi aku… Aku tidak tahu ma aku kenapa? Aku tidak bisa menangis. Bahkan saat aku ingin, tubuhku terasa kosong. Seperti seluruh emosiku hilang begitu saja.”
Keheningan menyelimuti ruangan beberapa detik.
Melisa akhirnya berbicara dengan suara yang meski lebih pelan, tapi tetap menusuk. “Mama hanya ingin kamu menunjukkan kalau kamu peduli. Itu saja.”
Rania mengangkat wajahnya, matanya merah meski tanpa air mata. “Aku peduli, Ma. Tapi setiap kali aku mencoba menunjukkan sesuatu… Mama selalu bilang itu salah. Aku selalu salah di mata mama.”
Melisa diam. Tidak membantah. Tidak juga mengiyakan.
Rania menghela napas panjang dan memandang Mamanya dengan tatapan lelah. Tatapan seseorang yang sudah terlalu lama menahan semuanya sendirian.
“Aku minta maaf kalau aku tidak bisa bersikap seperti yang Mama harapkan hari ini. Tapi aku benar-benar hancur, Ma. Aku tidak menangis bukan berarti aku tidak merasa kehilangan..”
Setelah itu, Rania melangkah pergi menuju kamarnya tanpa menunggu jawaban, meninggalkan Melisa yang hanya mampu terpaku dalam diam. Antara emosi, penyesalan dan kebingungan yang bercampur menjadi satu.
.
.
.
Tiga hari setelah pemakaman Dewa, hidup Rania terasa makin terpuruk. Tidak ada sedikit pun kehangatan yang tersisa di rumah itu. Melisa hampir tidak pernah menyapanya. Bila pun ia berbicara, hanya untuk menegur atau memarahinya. Sisanya, semua perhatian hanya tertuju pada Alisa. Alisa yang setiap hari menangis di dalam kamarnya.
Rania berdiri di ruang tamu, memandang punggung Melisa yang sibuk menyiapkan sarapan untuk Alisa. Untuk dirinya, seperti biasa Rania hanya akan memakan makanan sisa melisa dan Alisa, itu pun jika masih ada.
“Ma… besok aku harus kembali ke kantor,” ucap Rania pelan.
Melisa tidak menoleh. “Terserah kamu. Bukankah kamu memang selalu melakukan segala sesuatu sesukamu.”
Rania menahan napas. “Ma, tolong jangan bicara seperti itu. Aku juga...”
“Cukup, Rania!” Melisa membalikkan badan dengan mata memerah. “Papa kamu baru meninggal tiga hari lalu. Tapi kamu sudah sibuk memikirkan pekerjaanmu lagi?”
“Aku harus masuk, Ma. Pekerjaanku menumpuk,” balas Rania, meski suaranya bergetar.
Melisa mendesis pelan. “Tentu. Pekerjaanmu memang selalu lebih penting dari segalanya, kan? Bahkan dari keluarga kamu sendiri!”
“Ma, jangan begitu… aku juga berduka. Aku hanya tidak bisa menunjukkan dengan cara yang Mama mau.” Ucap Rania.
“Berhenti beralasan!” seru Melisa. “Seandainya kamu tidak membantah Papa malam itu… mungkin semuanya tidak akan separah ini! Papa tidak akan stres dan membuat sakit jantungnya kambuh lagi.”
Rania mematung. Kata-kata itu terasa seperti tamparan keras.
“Jadi… Mama menyalahkanku?” bisiknya.
Melisa terdiam, tapi tidak menolak. “Kamu itu anak pertama. Harusnya kamu bisa menjadi kebanggaan Papa, bukan malah membantah. Kamu tahu dia sedang banyak pikiran!”
Rania menggeleng, air matanya hampir jatuh. “Aku bukan penyebab Papa meninggal, Ma… jangan bilang seperti itu…”
Namun Melisa sudah memalingkan wajah. “Pergilah kalau memang ingin pergi. Mama tidak mau berdebat lagi.”
Ucapan itu menjadi garis pemisah yang membuat dada Rania terasa semakin kosong.
Ia berbalik menuju kamarnya, langkahnya berat seakan seluruh dunia telah memunggunginya.
Dan di tempat kerjanya? Tidak ada satu pun yang menghubungi. Tidak ada pesan menanyakan kabarnya, tidak ada pertanyaan kenapa ia tidak masuk selama tiga hari. Seolah ketidakhadirannya… tidak pernah berarti apa-apa bagi siapa pun.
.
.
.
Jangan lupa tinggalkan jejakk...