NovelToon NovelToon
Dunia Raka

Dunia Raka

Status: sedang berlangsung
Genre:Perperangan / Penyelamat / Action / Spiritual / Epik Petualangan / Fantasi
Popularitas:272
Nilai: 5
Nama Author: Lukman Mubarok

Kisah perjalanan Raka melakukan ujian Prahya sebelum resmi menjadi Rasi seorang guru Spiritual.

Perjalanan terkadang tidaklah mudah tapi bisa melewatinya dengan kesabaran dan kebijaksanaan.

Kisah ini ada di zaman neolitikum atau zaman batu muda dimana orang orang berpindah tempat nomaden kini menetap peralatan dan berburu masih sederhana menggunakan batu di poles halus menjadi pisau batu, tombak batu dan panah batu.

Tapi ada satu Kerajaan besar zaman neolitikum yang sangat maju peradabannya bahkan sangat di takuti suku suku lain dan bahkan di negeri lain.

Kerajaan itu adalah Lakantara berdiri di atas tanah dengan tembok melingkar konsentris lapis ada 5 tembok dgn status yang berbeda.

Sudah mengenal sistem irigasi, pertanian, sosial, ekonomi dan senjata yang terbuat dari perunggu yang lebih keras dari senjata batu.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lukman Mubarok, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 10 - Hukum Bumi dan Lidah Bumi

‎Raka menapaki jalan setapak hutan yang lembap, daun-daun basah menempel di kakinya.

‎Aroma minyak kemiri, serai batu, dan getah damar masih melekat di tubuhnya, membuat monyet-monyet ekor panjang di sekitar menjauh dan mengintai dari atas pohon.

‎Tiba-tiba, dari rerimbunan pohon di atas, sepasang mata kecil menatapnya.

‎Seekor Surili muncul perlahan, tangannya dan kakinya nyaris menyerupai manusia, memegang ranting dengan cermat.

‎Ekor panjangnya menyeimbangkan tubuh saat melompat dari satu pohon ke pohon lain, dan bulunya abu-abu kecokelatan berkilau di bawah cahaya tembus hutan.

‎Surili itu mengamati gelang akar di pergelangan Raka, ekspresinya penasaran tapi hati-hati.

‎Raka berhenti sejenak, menunduk pelan, memastikan gerakannya tidak mengejutkan makhluk kecil itu.

‎Surili itu mengendus udara, menarik napas panjang, lalu memutuskan untuk tetap di tempatnya, mengintai dari jarak aman.

‎Raka tersenyum, perlahan melangkah lagi. Setiap gerakan Surili, dari lompatan gesit hingga goyangan ekornya, memberi tanda bahwa hutan ini hidup dan penuh pengawasan.

‎Meski makhluk kecil ini tampak rapuh, kecerdasannya jelas, setiap makhluk memiliki peran dan rahasianya sendiri.

‎Dengan hati-hati, Raka melanjutkan perjalanan, sementara Surili tetap mengikuti dari atas pohon, sesekali melompat untuk melihat lebih dekat, namun tak pernah terlalu mendekat. Aroma ramuan dan gerakan tenang Raka membuatnya aman, namun tetap menjadi tontonan kecil bagi penghuni hutan yang cerdik itu.

‎Setelah menempuh perjalanan jauh, Raka menemukan sebuah sungai jernih yang mengalir lembut di antara pepohonan lebat.

‎Ia membasuh wajah dan tangannya, berusaha membersihkan aroma minyak kemiri, serai batu, dan getah damar yang melekat di tubuhnya.

‎Air sungai yang dingin menyegarkan, membuat tubuhnya terasa lebih ringan.

‎Namun, ketenangan itu tidak berlangsung lama.

‎Tiba-tiba, Raka merasakan benturan keras di kepalanya, dan dunia di sekitarnya berputar.

‎Ia jatuh tersungkur, pandangannya gelap, lalu pingsan.

‎Ketika akhirnya Raka terbangun, ia mendapati dirinya terbaring di tengah penjara ranting yang dililit serat tebal, dikelilingi oleh warga. Ribuan mata menatapnya dengan rasa penasaran dan waspada.

‎Mereka hanya menutupi area kemaluan dengan kulit binatang di lapis rumput kering dan memakai kalung rumput kering, rambutnya tergerai atau mekar liar ke segala arah, memberikan kesan eksotis dan alami.

‎Raka menahan napas, tubuhnya tegang di dalam penjara kayu.

‎Puluhan mata menatapnya, penuh rasa ingin tahu dan kewaspadaan.

‎Mereka bergerak perlahan, mengelilingi Raka, beberapa menunduk, beberapa menatap lurus.

‎Raka merasakan campuran rasa ingin tahu, waspada, dan energi kuat dari hutan yang mereka kuasai.

‎Ia sadar, satu gerakan yang ceroboh bisa memicu kemarahan atau ketidakpercayaan.

‎Ia menekan napasnya, menjaga tangan tetap di samping tubuh, perlahan-lahan mencoba menunjukkan ia tidak berbahaya.

‎Dari sisi warga pedalaman, beberapa anggota mengangkat tangan atau menggerakkan kepala dengan ritualis, seolah menilai apakah orang asing ini layak dibiarkan hidup di wilayah mereka.

Yang lain memegang tombak sederhana, mata mereka tajam, menandakan kesiapsiagaan penuh.

‎Raka menatap mata mereka, berusaha menangkap isyarat sekecil apa pun: ketegangan, rasa ingin tahu, bahkan sedikit rasa kasihan.

‎Dalam hati, ia tahu dunia hutan ini memiliki aturan sendiri, dan ia harus menyesuaikan diri jika ingin keluar dari situ dengan selamat.

‎Raka menatap sekelilingnya, mencoba menenangkan diri. Dalam hati, ia bertanya-tanya, apakah mereka adalah suku Yaka yang pernah disebut Pohon Sajar? Ia menyadari bahwa bahasanya mirip dengan bahasa manusia biasa, tapi vokalnya berbeda tipis salah ucap sedikit saja bisa berakibat fatal.

‎Matanya menelusuri pijakan tanah, dan ia memperhatikan beberapa gundukan kecil yang tampak seperti akar pohon. Dengan hati-hati, Raka mulai menggali tanah di sekitar gundukan itu.

‎Tangannya menyentuh akar-akar yang membentang luas di bawah tanah, dan seketika pikiran Pohon Sajar masuk ke kepalanya, memberinya petunjuk.

‎"Ini bukan suku Yaka," suara Pohon Sajar bergetar di pikirannya. "Mereka adalah suku Latahna. Mereka adalah korban pembantaian bayi pada tragedi Api Hijau."

‎Raka menunduk, memahami situasi. Tidak heran mengapa ia diserang Suku Latahna hidup dengan kewaspadaan tinggi, trauma sejarah membuat mereka sangat protektif terhadap orang asing.

‎Sayangnya, bahasa mereka asing, dan Raka tidak bisa memahami maksud mereka.

‎Ia menatap mata mereka yang waspada, dan merasakan ketegangan yang tinggi di sekelilingnya.

‎Namun, Pohon Sajar memberi solusi. Sedikit energi mengalir melalui akar yang ia sentuh, dan bahasa suku Latahna perlahan masuk ke pikirannya.

‎Seketika, Raka mulai menangkap arti gerakan, nada, dan isyarat mereka ia bisa memahami maksud mereka, bahkan merespons, seolah berbicara dengan mereka secara langsung.

‎Dengan kesadaran baru itu, Raka menyadari bahwa pertemuan ini bukan hanya soal bertahan hidup, tapi juga kesempatan untuk memahami sejarah, budaya, dan rasa sakit suku Latahna hal yang akan menjadi kunci perjalanan petualangannya berikutnya.

‎Raka berdiri perlahan di tengah kerumunan, napasnya masih berat, namun pikirannya kini jernih. Suara-suara asing yang sebelumnya hanya bunyi samar kini berubah menjadi kata-kata yang jelas di kepalanya.

‎Ia mulai memahami bahasa mereka bahasa suku Latahna, yang berarti suku Ibu Bumi.

‎Wajah-wajah di sekelilingnya menegang.

‎Ada lelaki tua dengan lengan buntung, matanya menyala penuh dendam.

‎Ada perempuan berbalut kulit binatang menutupi dada, menggenggam segenggam tanah dan menatap Raka seolah menahan tangis.

‎Di sudut lain, seorang pemuda dengan mata buta bekas goresan pedang berdiri kaku, rahangnya mengeras.

‎Semua mereka adalah korban saksi hidup tragedi Api Hijau.

‎Suara perempuan itu pecah di udara, lirih tapi mengguncang,

‎"Bayiku... dibakar bersama tanahnya. Mereka bilang itu kutukan, tapi aku tahu itu ulah manusia."

‎Lelaki tanpa lengan menyusul, suaranya gemetar,

‎"Kami ingin keadilan! Mata dibalas mata! Darah dibayar darah!"

‎Suasana makin panas, namun Raka tidak mundur.

‎Ia menatap satu per satu wajah mereka, menunggu hingga semua suara reda.

‎Lalu dengan nada tenang, ia berbicara kali ini menggunakan bahasa mereka sendiri.

‎"Aku tidak datang membawa bencana. Aku datang untuk mendengar. Tapi katakan padaku... seperti apa wajah mereka yang membuat kalian jadi begini?"

‎Kerumunan terdiam.

‎Beberapa mata melebar, yang lain menatapnya tak percaya.

‎Suara bisik-bisik mengalir di antara mereka, seperti desir angin di antara dedaunan.

‎Tidak ada yang menyangka orang asing itu bisa berbicara dengan lidah mereka.

‎Bisikan pelan menyebar di antara mereka.

‎"Ia berbicara dengan lidah kita..."

‎"Bagaimana bisa orang luar memahami bahasa bumi...?"

‎Beberapa mundur perlahan, sebagian lain justru maju dengan mata penuh rasa ingin tahu.

‎Namun di antara kerumunan itu, seorang lelaki tua berjalan mendekat.

‎Rambutnya putih keperakan, kulitnya mengeriput, namun sorot matanya menyala seperti bara yang belum padam. Di tangannya, ia menggenggam tongkat yang ujungnya dihiasi gigi binatang simbol kehormatan bagi para tetua Latahna.

‎Ia menatap Raka lama sekali, lalu berkata dengan suara berat,

‎"Tak ada orang dari luar lembah yang bisa bicara dengan lidah kami... kecuali mereka yang disentuh oleh bumi."

‎Raka menunduk sedikit, tidak tahu harus menjawab apa.

‎Ia hanya merasakan getaran di tanah, samar namun nyata, seolah akar-akar di bawah bumi mendengarkan percakapan mereka.

‎Tetua itu menatap ke arah yang lain, ke para korban yang masih menahan emosi, lalu kembali menatap Raka.

‎"Jika kau bisa bicara seperti kami, maka kau akan mendengar apa yang tak pernah didengar orang luar jeritan ibu bumi dan anak-anaknya."

‎Suasana hening. Angin berembus pelan membawa aroma tanah basah dan daun gugur.

‎Di kejauhan, terdengar suara burung malam memecah sunyi.

‎Raka menarik napas panjang dan menjawab tenang,

‎"Aku ingin mendengar semuanya. Tentang Api Hijau. Tentang mereka yang membuat kalian kehilangan segalanya."

‎Tatapan tetua itu berubah, dari curiga menjadi tajam dan penuh beban masa lalu.

‎Ia lalu mengangkat tongkatnya tinggi, mengetukkannya ke tanah tiga kali.

‎Bunyi itu menggema seperti panggilan roh.

‎"Baiklah, pendatang. Malam ini kau akan mendengar kisah kami. Kisah yang bahkan pepohonan enggan mengulanginya."

‎Kerumunan pelan-pelan mundur, membentuk lingkaran di sekitar api unggun kecil.

‎Api menari lembut, memantulkan bayangan tubuh-tubuh yang penuh luka dan kisah lama.

‎Dan malam itu, di tengah hutan purba, Raka bersiap mendengar kebenaran yang disembunyikan bumi kisah kelam tragedi Api Hijau.

‎Malam itu tetua menunjuk jarinya ke langit maruyung.

‎"Lihatlah..." bisiknya serak.

‎Cahaya hijau menyala bagai siang, membelah awan, turun perlahan seperti roh langit mencari tempat hinggap.

‎Tak seorang pun tahu pertanda apa itu. Anak-anak menangis, hewan-hewan berlarian ke sungai.

‎Suku Latahna hanya menunduk, takut menatap cahaya yang begitu terang.

‎Satu musim berlalu.

‎Dari arah mata angin panas datang sekelompok pria berpakaian hitam, rambut mereka diikat bulat di atas kepala.

‎Mereka membawa kayu pipih panjang aneh, mengilat, dan tajam.

‎Kayu itu bisa membelah batang pohon sebesar lengan, bahkan memutus anggota tubuh dalam satu ayunan.

‎Tetua menunjukkan bukti: sebatang kayu besar terbelah rata seolah ditebas petir.

‎Ia gemetar.

‎"Roh apa yang mereka bawa?" katanya, "Apa kesalahan kami hingga langit menurunkan kutukan seperti ini?"

‎Diam sementara Tetua Latahna berkata:

‎"Putra kami, darah Suku Latahna, dan bayi-bayi masa depan telah kembali ke tanah.

‎Kami tak rela kehilangan mereka sebelum keadilan ditegakkan.

‎Ini bukan dendam... ini hukum bumi.

‎Siapa yang merusak keseimbangan, harus menanggung getarannya.

‎Begitulah bumi berbicara, begitulah roh menjaga nama kami."

‎Ia menatap Raka lama, lalu menunduk perlahan sebelum melanjutkan:

‎"Kami bukan penguasa bumi, kami bagian darinya.

‎Bumi bisa hidup tanpa manusia, tapi manusia tak bisa hidup tanpa bumi.

‎Maka setiap luka yang kami terima dari tangan manusia, bumi pun ikut berdarah.

‎Dan bila bumi berdarah, maka luka itu harus dibalas dengan luka yang sama.

‎Begitulah hukum bumi berjalan

‎bukan dendam, tapi keseimbangan."

‎Raka menunduk, memejamkan mata sesaat.

‎Ia mengerti makna di balik kata-kata tetua itu.

‎Hukum bumi yang dipegang Suku Latahna sangat mirip dengan ajaran dari Ranu Lahu tentang keseimbangan, tentang alam yang punya hak untuk hidup.

‎Namun dalam diamnya, Raka juga menyadari sesuatu.

‎Perkataan tetua itu benar, tapi hanya berlaku di tanah ini di wilayah yang masih dijaga roh dan pohon-pohon tua.

‎Di tempat lain, di mana manusia mulai lupa pada akar dan air, hukum bumi kehilangan kekuatannya.

‎Dan jika kekuatan tak seimbang, keadilan yang sama tak akan pernah bisa ditegakkan.

‎Raka mengangkat pandangannya, suaranya pelan namun jelas,

‎"Tetua," katanya, "apakah kalian mampu menegakkan keadilan di saat yang sama pada penyerangan waktu itu?"

‎Beberapa mata suku Latahna menoleh, heran mendengar pertanyaan itu.

‎Namun tetua hanya diam, menatap mata Raka seolah mencari makna di balik kata-katanya.

‎Raka melanjutkan,

‎"Keadilan bumi berlaku bila kedua sisi masih berdiri di tanah yang sama.

‎Tapi jika satu sisi telah pergi, tertelan waktu dan hutan, bagaimana bumi bisa menimbangnya?"

‎Udara di sekitar mereka terasa berat. Api unggun berderak pelan, seolah ikut mendengarkan.

‎Tetua menarik napas panjang, lalu berkata lirih,

‎"Kami tahu itu, anak muda. Tapi luka ini belum kering.

‎Dan selama bumi masih menyimpan jejak darah kami, keadilan belum selesai."

‎Raka terdiam lama. Api unggun memantulkan cahaya di matanya, seperti bayangan kenangan yang datang satu per satu.

‎Perlahan ia berkata,

‎"Tetua... bukan hanya suku kalian yang menjadi korban.

‎Warga di sekitar Gunung Salak pun mengalami hal serupa.

‎Bahkan desa tempat kakek Gajo tinggal yang kutemui dalam perjalananku juga luluh lantak dengan luka yang sama."

‎Ia menatap tanah, lalu menambahkan dengan suara berat,

‎"Artinya, bukan roh hutan yang melakukan ini... tapi tangan manusia.

‎Mereka yang kalian sebut berpakaian hitam itu bukan dari alam liar, melainkan pasukan dari Kerajaan Lakantara."

‎Beberapa orang Latahna bersuara pelan, terkejut mendengar nama itu.

‎Tetua menatap Raka, wajahnya berubah muram.

‎"Lakantara...?" gumamnya, seolah nama itu baru pertama kali diucapkan setelah lama dikubur.

‎Raka mengangguk pelan.

‎"Senjata yang mereka bawa berwarna seperti kayu, pipih, tapi kekuatannya bukan dari batu.

‎Bahkan tombakku yang terbuat dari batu rijang tak mungkin membelah daging sehalus itu.

‎Kalian menyebutnya kayu pipih... tapi aku yakin, itu bukan kayu biasa."

‎Api unggun mendesis lembut, seakan bereaksi terhadap kata-kata Raka.

‎Udara terasa berat, penuh ketegangan antara masa lalu dan kebenaran yang baru terbuka.

‎Raka menunduk.

‎Suaranya perlahan berubah sendu, seperti ada beban lama yang akhirnya ia lepaskan.

‎"Aku juga... tak jauh berbeda dengan kalian," katanya lirih.

‎"Aku anak yatim piatu. Tak pernah tahu siapa kedua orang tuaku."

‎Api unggun bergoyang pelan, seakan mendengar pengakuannya.

‎"Sejak bayi aku dirawat oleh seorang kakek dia juga guruku.

‎Ia hanya berkata aku lahir pada malam munculnya api hijau di langit.

‎Tapi setiap kali aku bertanya tentang malam itu, wajahnya selalu berubah muram."

‎Raka menarik napas dalam, lalu melanjutkan,

‎"Mungkin... kakek guruku menutup kisah itu karena tragedinya terlalu kelam untuk diucapkan.

‎Dan sekarang, setelah mendengar cerita kalian, aku mulai merasa... semuanya saling terhubung."

‎Tatapan Raka beralih ke arah Tetua Latahna, matanya memantulkan api unggun yang tertiup angin.

‎Raka memejamkan mata, seolah kata-kata keluar bukan dari pikirannya, tapi dari sesuatu yang lebih tinggi.

‎Suaranya pelan, namun bergetar membawa makna yang dalam.

‎"Api hijau turun ke bumi bukan sekadar cahaya... tapi peringatan.

‎Peringatan untuk memperbaiki amal dan kebaikan.

‎Ia akan meluluhlantakkan istana yang tamak...

‎dan dari itu, akan terlahir seorang anak."

‎Tetua dan para suku Latahna terdiam, menatapnya penuh takjub. Api unggun memantulkan cahaya kehijauan di mata mereka.

‎Raka melanjutkan, dengan nada yang penuh keyakinan namun juga harap,

‎"Kerajaan Lakantara kini telah diselimuti keserakahan.

‎Bila mereka tak mau bertobat, bumi sendiri yang akan menuntutnya.

‎Tapi di antara kehancuran itu, akan lahir seorang anak...

‎yang membawa keseimbangan antara bumi dan manusia."

‎Ia menatap langit, samar-samar tersenyum.

‎"Aku tidak tahu siapa anak itu.

‎Tapi bila saatnya tiba, aku akan berdiri di sisinya...

‎menjadi pembela keadilan, seperti yang bumi kehendaki."

‎Beberapa tetua Latahna saling berpandangan.

‎Ucapan Raka membuat udara terasa berat, seolah bumi sendiri ikut mendengarkan.

‎Angin berhembus lembut, daun-daun bergetar, dan api unggun meredup sesaat sebelum kembali menyala.

‎Tetua Latahna menundukkan kepala, bukan karena tunduk kepada Raka, tapi karena rasa hormat terhadap kata-kata yang begitu dalam.

‎"Kata-katamu... bukan sekadar ucapan manusia,"

‎ucap tetua itu perlahan.

‎"Mungkin bumi berbicara lewat lidahmu, wahai Raka."

‎Raka segera menggeleng, suaranya tenang,

‎"Aku hanya mengulang apa yang terlintas di pikiranku.

‎Bukan aku yang tahu, tapi bumi yang menunjukkan."

‎Tetua itu mengangguk pelan.

‎"Kalau begitu, bumi telah memilihmu untuk mendengar."

‎Suasana hening. Hanya suara serangga malam yang terdengar,

‎sementara setiap orang tenggelam dalam pikiran mereka tentang "anak yang akan lahir" dan "kerajaan yang akan binasa."

‎Keesokan harinya, saat matahari baru menembus kabut tipis hutan, Raka dibebaskan dari ikatan serat.

‎Namun tak seorang pun memperlakukannya sebagai tawanan lagi.

‎Mereka memberi pakaian dari kulit lembut, menyiapkan makanan terbaik, dan menunduk setiap kali ia lewat.

‎Raka merasa canggung, tapi juga hangat bukan karena kehormatan, tapi karena kepercayaan.

‎Tetua Latahna berkata,

‎"Engkau telah bicara dengan lidah bumi.

‎Kami tak bisa membalas apa pun, selain menghormatimu sebagaimana kami menghormati hutan dan angin."

‎Sejak saat itu, di mata mereka, Raka bukan lagi orang asing.

‎Ia duduk di lingkar api bersama para tetua, diajak mendengar kisah lama dan melihat tarian roh bumi.

‎Dan untuk sementara waktu, Raka hidup bagai raja bukan karena mahkota di kepala, tapi karena hati mereka percaya.

1
Adrian Koto
gaya penulisannya asik jg. mengalir 👍
Lukman Mubarok: 🙏Terimakasih kak
total 1 replies
Nixney.ie
Mesti dibaca ulang!
Lukman Mubarok: 🙏 Terimakasih
total 1 replies
Tít láo
Gak bisa move on! 😍
Lukman Mubarok: 🙏 Terimakasih
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!