Saquel dari Novel "Janda untuk om Duda"
Semenjak mamanya menikah dengan tuan muda Danendra, perlahan kehidupan Bella mulai berubah. Dari Bella yang tidak memiliki ayah, dia menemukan Alvaro, sosok ayah sambungnya yang menyayangi dirinya selayaknya anak kandungnya sendiri.
Namun, kebahagiaan itu tidak berlangsung lama, sebuah insiden membuat semua berbalik membencinya. Bahkan mama kandungnya ikut mengabaikan dan mengucilkan Bella, seolah keberadaannya tidak pernah berarti.
Di tengah rasa sepi yang mendalam takdir mempertemukan kembali dengan Rifky Prasetya , dokter muda sekaligus teman masa kecil Bella yang diam-diam masih menyimpan rasa sayang untuknya. Bersama Rifky, Bella merasakan arti dicintai dan di lindungi.
Namun, apakah cinta masa lalu mampu menyembuhkan luka keluarga yang begitu dalam?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kikoaiko, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 10
"Aku lagi cari kosan Del, kira-kira di tempatmu masih ada yang kosong tidak?" tanya Bella di sela-sela makannya.
Adel menaruh sendoknya, dia menatap temannya dengan pandangan yang rumit. Yang dia tahu Bella punya orang tua, meskipun dia tidak tahu siapa, yang jelas Bella masih punya keluarga, berbeda dengan dirinya. Lalu untuk apa dia cari kamar kosan?.
"Untuk apa Bel? Jangan bilang kamu di usir orang tuamu" ucap Adel bercanda.
"Tidak Del, aku malu aja pulang malam terus. Nanti tetangga mikir aku kerja yang aneh-aneh" jawab Bella bohong.
Adel mengerutkan dahinya, matanya menatap Bella penuh tanda tanya. yang dia tahu orang kota jarang ikut campur urusan tetangganya. “Karena tetangga, ya?” gumamnya pelan, seolah mencoba memahami alasan di balik permintaan aneh Bella.
Bella mengunyah pelan, lalu menatap ke arah Adel dengan mata yang setengah tersenyum namun menyimpan sesuatu yang tak terucapkan. “Iya Del" jawabnya.
Adel menghela napas, mencoba menyingkirkan rasa penasaran yang mulai mengganggu pikirannya. Ia tahu Bella punya sisi yang sulit ia jangkau, rahasia yang sengaja ditutup rapat.
“Oke, aku coba tanyain ya, siapa tahu ada yang kosong,” ucap Adel, dalam hatinya masih bertanya-tanya tentang keputusan yang Bella ambil.
“Terima kasih, Del,” ucapnya sambil tersenyum lega. Adel tersenyum hangat, membalas dengan tatapan penuh pengertian.
Mereka melanjutkan menghabiskan makanannya dengan suasana yang lebih ringan, sesekali tawa kecil mewarnai percakapan mereka.
Namun, tiba-tiba Adel bertanya, “Kamu tidak kuliah?”
Bella menarik napas panjang, menundukkan kepala sejenak sebelum menjawab. “Aku memutuskan untuk berhenti. Gajiku tidak cukup untuk bayar kos dan kuliah. Belum lagi untuk makan dan kebutuhanku yang lain" jawab Bella.
Kalau dulu dia masih terbantu orang tuanya, meskipun kadang makanan yang dia makan hanya makanan sisa, tapi setidaknya dia tidak mengeluarkan uang untuk makan. Tapi ketika kos, sudah pasti dia harus memenuhi segala sesuatunya sendiri.
“Kenapa harus berhenti? Sebentar lagi kuliahmu selesai, sayang kalau tidak dilanjut.” ucap Adel.
Wajah Bella berubah sendu, bibirnya bergetar menahan beban yang tak mudah diungkapkan.
Bella membalas tatapan Adel dengan tatapan berkaca-kaca, dia tidak tahu harus menceritakan semua atau tidak. Tapi dia merasa lelah harus menyimpan semuanya sendiri.
"Mau bagaimana lagi," ucap Bella dengan senyum yang dipaksakan, bibirnya bergetar halus meski matanya berusaha menahan air yang mengancam tumpah. Dia menundukkan kepala sebentar sebelum menatap Adel kembali, wajahnya tampak lelah dan penuh beban.
Adel menghela napas panjang. Matanya menatap tajam ke arah Bella dalam. "Sekarang katakan, apa yang sebenarnya terjadi denganmu, Bella. Kamu masih punya orang tua, tidak mungkin mereka tidak membiayaimu, Bel," tanya Adel. Dia ingin tahu masalah yang sedang di hadapi oleh Bella.
"Ceritakan saja Bel, siapa tahu aku bisa membantumu" ucap Adel.
Bella menggigit bibir bawahnya, jari-jarinya gemetar pelan di atas meja. Dia ragu untuk bercerita. Namun, setelah menimbang, akhirnya Bella memutuskan menceritakan semua kepada Adel, setidaknya untuk mengurangi bebannya selama ini.
"Dulu waktu aku masih berusia dua belas tahun, mamaku mengalami kecelakaan, dan menyebabkan keguguran......" Bella menceritakan semuanya tanpa di kurangi dan di lebihkan.
Adel menarik nafas dalam lalu menghembuskannya lewat mulut, jujur saja dia merasa marah dengan keluarga Bella.Tidak seharusnya mereka mengucilkannya. Semua yang terjadi itu karena takdir.
"Semenjak itu mereka menganggapku sebagai anak pembawa sial, mama dan papa sambungku memintaku untuk tidak mengakui mereka sebagai keluarga. Awalnya aku ingin bertahan demi mamaku, tapi lambat laun rasanya aku tidak kuat. Cacian, hinaan, selalu mereka lontarkan kepadaku termasuk cacian dari mamaku sendiri" Bella menghentikan ucapannya sambil menengadahkan kepala ke atas berusaha menghalau air matanya yang hendak menetes.
"Aku sudah tidak kuat Del, aku ingin bebas, dan menjalani kehidupan yang damai, tanpa bayang-bayang kebencian dari mereka" lanjutnya.
"Aku dukung keputusanmu Bel, langkah yang kamu ambil sudah benar. Tidaka ada anak pembawa sial di dunia ini, semua yang terjadi itu adalah takdir" ucap Adel mendukung Bella. Dia merasa keluarga Bella sudah keterlaluan.
Bella menundukkan wajahnya perlahan, air mata mulai mengalir tanpa bisa dibendung. Adel tersenyum sambil menggenggamnya tangan Bella erat berusaha memberikan dukungan.
"Keluar saja dari rumah itu, jangan biarkan mereka menyakitimu terus menerus," ucap Adel, "Untuk sementara kamu bisa tinggal denganku, sampai kuliahmu selesai. Setelah itu kamu bisa mencari kosan sendiri." lanjutnya.
Bella menggelengkan kepalanya menolak tawaran Adel. "Nanti aku merepotkanmu," ucap Bella merasa tidak enak hati.
Adel menggeleng cepat, senyumnya mengembang sedikit mencoba meyakinkan Bella. "Tidak ada yang merasa direpotkan," jawabnya meyakinkan. "Aku sudah menganggapmu seperti saudaraku sendiri. Kamu tahu, aku ini sebatang kara, dengan adanya kamu aku merasa memiliki keluarga."
Mata Bella berkaca-kaca, campuran antara kelegaan dan haru memenuhi hatinya. Perlahan ia mengangkat wajah, menatap Adel yang duduk tegak di hadapannya, menjadi pelindung sekaligus harapan di tengah gelapnya hidup yang selama ini ia jalani.
"Terima kasih, Del. Maaf, jika suatu hari aku tidak bisa membalas semua kebaikanmu." ucap Bella, sebelum Adel mengungkit semuanya.
"Jangan pernah berpikir seperti itu. Aku tulus membantumu, tidak sedikitpun aku mengharapkan balasan darimu Bel. Cuma satu pesanku, jika suatu hari kamu sukses, tolong jangan pernah lupakan aku, karena cuma kamu yang aku miliki di dunia ini." ucap Adel tulus.
Mereka berdua saling memeluk, menguatkan satu sama lain. Air matanya perlahan mengalir di pipi Bella, sementara senyum kecil menghiasi wajah Adel, keduanya tahu bahwa ikatan ini lebih dari sekadar teman atau sahabat. Mereka sudah seperti keluarga.
Setelah puas mereka berdua pun mengurai pelukannya.
"Sudah jangan sedih-sedih lagi, lebih baik nanti malam kamu ikut aku saja, bagaiman?" tawar Adel.
"Ikut kemana?" tanya Bella mengerutkan keningnya.
"Nanti kamu akan tahu Bel, tapi sebelumnya kamu bisa berkelahi tidak?" tanya Adel.
"Dulu aku sempat ikut bela diri, tapi sudah lama aku tidak latihan lagi. Memangnya kenapa?" tanya Bella penasaran.
"Nanti kita latihan lagi aja, aku juga sudah lama tidak latihan bela diri" ucap Adel.
Bella semakin bingung sebenarnya Adel mau mengajak dia kemana? Kenapa harus bisa bela diri juga? memangnya mau bertarung dengan siapa? Banyak pertanyaan muncul di kepala Bella.
"Kamu mau ngajak aku tawuran Del?" tanya Bella.
"Ngawur aja kamu, apa untungnya juga ikut tawuran. Aku itu mau ajak kamu cari uang, kalau menang lumayan hadiahnya besar" jawab Adel.
"Lomba tinju?" tebak Bella.
Adel tersenyum sambil menganggukkan kepalanya, dulu sebelum bekerja menjadi pelayan restoran, Adel sering mengikuti lomba tinju, hadiahnya ia gunakan untuk biaya makan.
up lagi thor