Nadira tak pernah menyangka bekerja di perusahaan besar justru mempertemukannya kembali dengan lelaki yang pernah menjadi suaminya tujuh tahun lalu.
Ardan, kini seorang CEO dingin yang disegani. Pernikahan muda mereka dulu kandas karena kesalahpahaman, dan perpisahan itu menyisakan luka yang dalam. Kini, takdir mempertemukan keduanya sebagai Bos dan Sekretaris. Dengan dinginnya sikap Ardan, mampukah kembali menyatukan hati mereka.
Ataukah cinta lama itu benar-benar harus terkubur?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rere ernie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter — 10.
Ruangan rawat inap itu hening, hanya suara monitor medis yang berdetak pelan. Nadira terlelap dengan wajah pucat, sementara infus menempel di tangan mungilnya. Tirai jendela dibiarkan setengah terbuka, cahaya matahari pagi menimpa sosok rapuhnya.
Langkah anggun terdengar, Nyonya Rarasati masuk dengan tatapan penuh wibawa.
“Nyonya, dia masih tidur.” Ucap Wirya.
Nyonya Rarasati menatap Nadira lama sekali. Ada kilatan iba di mata wanita paruh baya itu, namun cepat-cepat ia menegakkan punggungnya. Tatapan matanya berubah dingin, senyumnya tipis penuh perhitungan.
Dalam perjalanan ke rumah sakit, dia sudah menelepon Ardan dan mengabari akan menemui Nadira. Ia tahu, putranya akan langsung datang.
“Bangunkan dia.”
Wirya menelan ludah. “Tapi, Nyonya__”
“Bangunkan!” Ulangnya tegas.
Dengan hati-hati, Wirya menyentuh bahu Nadira. “Nona... bangunlah, Nyonya Rarasati datang.”
Kelopak mata Nadira perlahan terbuka. Pandangannya buram sebelum akhirnya jelas, menampilkan sosok anggun itu di hadapannya. Jantungnya berdegup kencang karena di depannya berdiri mantan mertuanya.
“Mama__” suara Nadira tercekat, ia lupa jika Nyonya Rarasati bukan lagi mertuanya. Ia berusaha bangkit, namun tubuhnya lemah. "Maaf, Nyonya..."
Nyonya Rarasati melangkah mendekat, tatapannya dingin. “Apa benar kamu sakit? Atau, kamu hanya berpura-pura menjadi wanita lemah... agar Ardan perhatian dan kembali padamu?”
Nadira menunduk, menggigit bibirnya. “Saya... tidak pura-pura, Nyonya. Saya bahkan tidak ingin merepotkan siapa pun, termasuk Tuan Ardan.“
Wirya terkejut dengan tingkah sang Nyonya, ia ingin menyela tapi tatapan tajam Nyonya Rarasati membuatnya terdiam.
Nyonya Rarasati mendekat, duduk di kursi samping ranjang. Ia meraih tangan Nadira yang lemah namun bukan dengan kelembutan, melainkan dengan genggaman yang tegas seolah menekan.
“Kamu harus tahu tempatmu, Nadira. Kamu sudah bukan siapa-siapa lagi untuk keluarga kami. Jangan bermimpi Ardan akan peduli padamu... hanya karena penyakitmu. Kau harus tau diri, kau lah yang telah meninggalkan Ardan tujuh tahun lalu. Bahkan dulu, aku bersujud di kaki Ayahmu meminta pertolongan agar dia membebaskan putraku... tapi Ayahmu sangat kejam. Untungnya, ada Claudia yang mau membebaskan Ardan dari penjara. Bagiku, dia lah yang pantas menjadi menantuku!"
Air mata Nadira jatuh, ia menggigit bibir mencoba menahan isak. “Saya tahu saya salah... jadi saya tidak berharap apa pun pada Tuan Ardan.”
Di luar ruangan, langkah sepatu bergaung di koridor. Ardan benar-benar datang, ia membuka pintu tepat ketika ibunya baru saja berdiri dari kursi.
Tatapannya langsung tertuju pada Nadira yang menunduk, menangis tertahan.
“Dira?” suara Ardan dalam, alisnya mengerut. Ia lalu menoleh ke arah ibunya. “Apa yang Mama lakukan padanya?”
Nyonya Rarasati tersenyum samar. “Hanya mengingatkan perempuan ini agar tidak bermimpi terlalu tinggi. Dia sakit, dan itu masalahnya sendiri. Jangan sampai penyakit ini dijadikan alasannya... untuk kembali masuk ke dalam hidupmu.”
Ardan membeku.
Kata-kata ibunya menusuk, tapi yang lebih menusuk adalah ekspresi Nadira. Wanita itu tampak lemah, berlinang air mata tapi masih berusaha tersenyum walau jelas hancur.
“Mah!” suara Ardan meninggi tanpa sadar. “Kenapa bicara begitu padanya?”
Nyonya Rarasati menoleh pelan, pura-pura terkejut dengan nada dingin anaknya. “Kenapa? Kamu marah? Karena aku terlalu keras pada mantan istrimu?”
Ardan tak bisa menjawab, dadanya penuh gejolak. Tatapannya bergeser ke Nadira, dan ia melihat wanita itu gemetar menahan tangis.
“Cukup!" Ucap Ardan akhirnya, nadanya tegas. “Kalau Mama datang hanya untuk membuatnya merasa lebih buruk, sebaiknya Mama pulang.”
Nyonya Rarasati menahan senyum di balik topeng dinginnya. Ia menatap Nadira sekali lagi, lalu menepuk bahu Wirya. “Mari, kita pulang.”
Saat melangkah keluar, ia tersenyum penuh kemenangan.
Bagus, Nak... aku ingin melihat hatimu retak demi wanita ini. Kalau aku harus jadi musuh Nadira, biarlah. Asal akhirnya kamu sadar... siapa yang benar-benar berharga untukmu.
Begitu pintu tertutup, Nadira menunduk semakin dalam. Bahunya bergetar. “Maafkan saya, Tuan... saya sudah membuat Ibu Anda marah...”
Ardan mendekat, duduk di sisi ranjang. Ia meraih tangan Nadira, genggamannya hangat meski wajahnya tetap berusaha dingin.
“Jangan dengarkan Ibuku.“
Melihat kondisi Nadira saat ini, untuk pertama kalinya sejak pertemuan kembali mereka, Ardan menatap Nadira bukan sebagai bawahannya. Bukan juga sebagai masa lalu yang ia benci, melainkan sebagai seseorang yang tak sanggup ia biarkan bersedih.
.
.
Di rumah besar keluarga Ardan, Nyonya Rarasati sedang berbincang dengan asistennya, Wirya.
“Aku tentu saja mendukung Nadira, tapi aku tidak boleh terlihat memihak Nadira. Kalau aku langsung merangkulnya, Ardan justru makin keras kepala.”
Wirya mengangguk. “Jadi Nyonya sengaja terlihat… menekan?”
“Betul.” Nyonya Rarasati tersenyum tipis. “Aku tahu anakku. Kalau aku pura-pura menentang, Ardan akan pasang badan untuk melindungi Nadira. Dari situlah aku bisa melihat... seberapa besar ia masih menyimpan rasa.”
Dari situ lah, permainan dimulai...
Dalam keadaan terdesak pun dia masih bersikap sombong dan mencoba memprovokasi Ardan...😒