NovelToon NovelToon
Operasi Gelap

Operasi Gelap

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Mafia / Balas Dendam / Mata-mata/Agen / Gangster / Dark Romance
Popularitas:1.2k
Nilai: 5
Nama Author: Radieen

Amara adalah seorang polisi wanita yang bergabung di Satuan Reserse Narkoba. Hidupnya seketika berubah, sejak ia melakukan operasi hitam penggrebekan sindikat Narkoba yang selama ini dianggap mustahil disentuh hukum. Dia menjadi hewan buruan oleh para sindikat Mafia yang menginginkan nyawanya.
Ditengah - tengah pelariannya dia bertemu dengan seorang pria yang menyelamatkan berulang kali seperti sebuah takdir yang sudah ditentukan. Perlahan Amara menumbuhkan kepercayaan pada pria itu.
Dan saat Amara berusaha bebas dari cengkraman para Mafia, kebenaran baru justru terungkap. Pria yang selama ini menyelamatkan nyawanya dan yang sudah ia percayai, muncul dalam berkas operasi hitam sebagai Target Prioritas. Dia adalah salah satu Kepala geng Mafia paling kejam yang selama ini tidak terdeteksi.
Amara mulai ragu pada kenyataan, apakah pria ini memang dewa penyelamatnya atau semua ini hanyalah perangkap untuknya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Radieen, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Kematian Pengemudi di Mobil Berjalan

Amara mengangkat tas kecil itu ke cahaya lampu jalan, membuka lebih lebar. Di dalamnya ada botol obat yang labelnya sebagian luntur karena lembap. Salah satunya tertanda obat keras.

Amara lalu meraih dokumen yang terlipat di bawah botol. Ia membukanya pelan, menemukan salinan rekening bank dengan transaksi yang besar.

Haris menunduk, memperhatikan posisi tubuh korban. “Lihat, ada memar halus di lehernya. ”

Suara radio komunikasi di pinggang Haris berderak pelan. “Unit 03, laporkan posisi kalian. Ada laporan warga tentang suara benturan di jalur provinsi barat.”

Haris meraih radio, menjawab cepat. “Di lokasi. Kami menemukan satu korban meninggal di dalam kendaraan. Dugaan awal, bukan kecelakaan biasa. Mohon kirim tim identifikasi.”

Sementara menunggu, Amara memungut salah satu botol obat, lalu menimbangnya di tangan. “Kalau dosisnya dimasukkan ke dalam minuman, korban bisa pingsan dalam beberapa menit...

Haris menimpali, "Tapi bagaimana cara pelaku mencekik korban?”

Raditya menutup tas bukti. “Masalahnya, siapa yang terakhir bersamanya? Dan periksa kemana transaksi besar di rekening ini dikirim!"

Amara menilik sekitar, ia terfokus pada garis-garis halus pada ujung karet jendela tempat korban duduk. Amara kemudian menaikkan kaca mobil itu, terlihat dia lubang halus dan rapi.

Amara mendekatkan jemarinya, menyentuh sisi lubang. “Raditya, coba kau lihat,” katanya lirih. “Lubang ini bukan cuma sembarangan… ada dua, sejajar, dan posisinya pas di jalur kaca jendela.”

Raditya menunduk, mengamati lebih dekat. Haris, yang masih memegang cangkir kopi, mendekat sambil berkomentar, “Kalau hanya lubang, bisa jadi apa saja. Tapi apa hubungannya dengan memar di leher korban?”

Amara menghela napas, menurunkan kaca perlahan. Begitu kaca bergerak, ia mengarahkan senter kecil pada lubang itu. “Kalau pelaku masukkan tali tipis, seperti senar atau tali pancing, lalu melingkarkannya pada kerah baju korban… saat kaca diturunkan, loop itu otomatis akan mengencang, menjerat korban.”

Haris terdiam, menoleh pada mayat yang masih terkulai. “Astaga… itu artinya korban seperti mengeksekusi dirinya sendiri. Dia menurunkan kaca, dan tali itu mencekiknya.”

Raditya mengangguk lambat. “Itu menjelaskan kenapa tidak ada tanda perlawanan, jebakan itu mengunci lehernya.”

Amara berdiri, menatap jauh ke arah kegelapan jalan. Suaranya dingin. “Pelaku punya pengetahuan, ketelitian, dan tentu… motif besar untuk melakukan trik serapi ini.”

Haris mengeluarkan sarung tangan lateksnya, memegang secangkir kopi pada cup holder konsol tengah.

Ia mengendusnya perlahan,"Sebaiknya kita juga adakan analisis kimia pada obat dan kopi ini.. "

Amara dan Raditya menoleh, mereka berkata serempak. "Astaga Haris, kamu selalu siap siaga ya.. " Sambil menoleh pada sarung tangan lateks di tangan Haris.

Haris tersenyum penuh kebanggaan, sambil menepuk baju Amara dan Raditya.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Lampu-lampu mobil memantul di genangan aspal yang basah. Suara sirene terdengar menjauh dan mendekat, lalu menghilang, sementara udara di jalanan itu berbau bensin dan tanah basah.

Telepon Raditya bergetar, "Hasil analisis obat dan kopi sudah keluar." Ucapnya pelan. "Terdapat zat yang sama pada kopi dan botol obat di mobil korban, Chloral Hydrate. Obat ini mengakibatkan kantuk dalam 15 sampa 30 menit, pada dosis tinggi juga bisa bikin korban pingsan. Aku yakin, kalau pada tubuh korban juga terdapat zat yang sama."

Haris mencondongkan badan, mengusap dagu. “Berarti korban dilumpuhkan dulu, agar pelaku punya kesempatan memasang jebakan di dalam mobil.” Ia memandang kaca yang berlubang halus itu, bayangannya terpotong-potong oleh cahaya senter.

Seorang polisi berlari kecil menuju Raditya, "Pak.. kami telah memeriksa CCTV sekitar. Korban sempat berhenti di sebuah kafe. Saat itu yang terakhir bersama korban.."

Sebelum polisi itu menyelesaikan kalimatnya, seorang pemuda bertubuh kurus melangkah maju. Jaketnya masih basah oleh gerimis, matanya merah karena menahan sesuatu. “Saya… saya yang terakhir bersama kakak saya,” ucapnya, suaranya nyaris patah.

Polisi itu menambahkan dengan nada yang lebih formal, “Namanya Riko, adik kandung korban.”

Amara mengambil alih suasana dengan sikap yang tenang tetapi menuntut. Ia melangkah mendekat, menaruh kedua telapak tangan pada kap mobil yang dingin."Bisa anda jelaskan apa yang terjadi sejak kalian meninggalkan kafe?”

Riko menunduk. Ia menyapu pandangan ke kanan-kiri, tampak mencari sesuatu yang tidak ada. “Kami hanya berbicara. Ada yang mengganggu, lalu aku pulang duluan.” Suaranya patah-patah.

Haris melangkah ke dekat kaca pengemudi dan menyorot lubang-lubang kecil itu. “Lubang ini rapi, sejajar, dibuat… dengan alat. Tidak seperti bekas benturan. Kok bisa begitu? Siapa yang punya akses ke mobil ini selain korban?” tanyanya, tetapi ia menahan diri untuk tidak menyebutkan hipotesis yang belum kuat.

Suasana menjadi tegang. Polisi-polisi lain beraktivitas tenang di sekitar, mengambil foto, mengukir garis pada tanah, menutup bagian yang dianggap bukti sementara. Di kejauhan, seorang teknisi menaruh tablet di ruang mobil forensik keliling. Amara meminta tablet itu, lalu memutar rekaman CCTV dari kafe.

Layar menayangkan gambar grainy, interior kafe, meja-meja berjarak, cangkir-cangkir yang masih mengepul. Korban terlihat windblown, bercakap dengan seseorang di meja lain. Seorang perempuan bertopi hitam, namun kemudian kamera berpindah ke pintu, menangkap Riko berdiri, lalu berjalan keluar. Potongan itu cepat, tak ada yang mencurigakan sampai frame berikutnya diputar.

Frame CCTV selanjutnya menampilkan area luar kafe. Mobil korban tampak berhenti beberapa meter dari pintu. Riko terlihat berjalan mendekat, tetapi bukan dari arah kafe, ia muncul dari sisi jalan, lalu mendekati korban yang berada di bangku pengemudi. Gambar itu dipercepat sedikit, dan dalam kesunyian layar kelihatan Riko menyingkap sesuatu dari dalam jaketnya, sekilas. Kamera tidak menangkap gerakan lengkapnya, karena sudut yang terhalang tiang, tetapi cukup untuk menimbulkan tanda tanya besar.

Raditya menghentikan rekaman, menatap wajah Riko. “Kamu bilang pulang duluan. Tapi CCTV memperlihatkan langkahmu mendekat dari sisi jalan, bukan dari arah kafe. Jelaskan itu.” Suara Raditya lebih lembut dibanding sebelumnya, namun penuh tuntutan.

Riko menelan ludah, bibirnya gemetar. “Aku… aku takut. Aku hanya ingin bilang sesuatu. Dia sedang… tidak baik. Aku ketakutan, jadi aku mengetuk jendela. Aku tidak melakukan apa-apa.” Ia menatap langsung ke arah Amara, mencari belas kasihan yang mungkin muncul.

Raditya menatapnya tajam, menilik setiap sudut dan gerak-geriknya.

“Lubang di kaca mobil, itu perbuatanmu, kan?” suara Raditya datar dan menekan.

Riko mengatupkan bibirnya, matanya penuh perlawanan. “Aku tidak mengerti apa yang kalian maksud.”

Amara maju selangkah, sorot matanya seperti mengunci Riko. “Transaksi besar dari rekening kakakmu… tanggal dan jamnya cocok dengan saat kalian terakhir bertemu.”

Ia mengeluarkan ponselnya, menunjukkan layar berisi salinan rekening. Nama Riko terpampang jelas sebagai penerima dana. "Kenapa dia mengirimkan uang sebesar itu kepadamu? Apa ini bayaran atas sebuah rahasia?”

1
Piet Mayong
so sweet deh fai dan Amara...
Piet Mayong
semanggad Thor...
Piet Mayong
musuh yg sesungguhnya adalah komandannya sendiri, Alfian.
sungguh polisi masa gthu sih....
Piet Mayong
seru ceritanya..
semangat.....
Radieen: 🙏🙏 Makasih dukungan, sering sering komen ya.. biar aku semangat 🩷
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!