Ellena dijual ibu tirinya kepada seseorang sebagai pengantin yang diperkenalkan di muka umum, agar istri sah tetap aman.
Namun, di hari pengantin ia diculik sesuai dugaan pria itu, dan disanalah awal penderitaannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kinamira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10
Ellena tidak pernah dibiarkan merasakan lega. Setiap detik rasanya adalah penderitaan baginya yang dinikmati orang lain.
Ellena meringkuk kedinginan di lantai, merasakan dinginnya lantai dan suhu AC. Dengan seluruh tubuhnya yang sakit.
Sementara itu Maxim tertidur lelap di atas kasur tepat di sebelahnya, dengan balutan selimut yang menghangatkan.
Terlintas dalam benaknya melawan Maxim dalam keadaan tidur. Namun, ia tau tenaganya tidak akan cukup, dan Maxim pastinya memiliki indra penjaga yang kuat meski dalam keadaan tidur.
"Ibu, capek. Ellena tidak bisa bertahan. Tapi, nyawa dan tubuh Elle, bukan milik Elle," batin Ellena menangis dan berusaha untuk tidak bersuara.
Malam yang terasa sangat panjang. Entah Ellena tidur atau justru pingsan. Namun, matanya terpejam dengan rapat, bersentuhan langsung dengan lantai yang dingin.
Pagi yang datang, Maxim terbangun dalam tidurnya. Matanya terbuka perlahan menatap langit kamar.
Tak ada senyum. Sorot matanya dingin, seolah tidak ada semangat untuk hidup.
Tangan Maxim menyentuh tempat di sebelahnya yang terasa dingin. Sedingin hatinya saat ini. "Rose, andai saja kamu masih ada di sini. Hidupku tidak akan sehampa ini," batinnya memejamkan mata membayangkan sosok mending istri yang amat dicintainya.
Tak sedikitpun celah wajah sang istri dilupakan. Ia masih sangat jelas mengingatnya.
Maxim menghela nafas pelan, perlahan bangkit dari tidurnya. Kepalanya bergerak melihat Ellena yang meringkuk di lantai. Sorot matanya dingin, dan tangannya mengepal menatap wanita itu dengan penuh kebencian.
"Felix Willson. Aku pasti akan membalasmu, dengan cara yang sama namun lebih kejam," batinnya.
"Wanita yang kau cintai akan menderita di tanganku."
Maxim menurunkan kedua kakinya menyentuh lantai, membuatnya merasakan suhu ruangan itu dan lantai yang dingin.
Ia menyeringai, karena dengan suhu sedingin itu sudah pasti akan membuat Ellena menggigil. Saat ia ingin bangkit. Suara Ellena terdengar lemah, namun masih cukup terdengar di telinga tajam Maxim.
"Ibu ... Ibu ...."
Maxim menyinggung senyumnya sinis. Di pasangnya sandal tipis yang biasa digunakan dalam rumah, lalu Ia mendekati Ellena, berdiri tepat di samping tubuh pucat itu.
"Bangun!" ucapnya menggoyangkan tubuh Ellena dengan kakinya.
"Ibu ...." Keluh Ellena disertai Isak tangisnya.
"Hey wanita bodoh, bangun!" sentak Maxim dengan suara meninggi, disertai kakinya yang akhirnya menekan kuat lengan Ellena dan menggerakkannya dengan kasar, membuat Ellena kaget. Hingga akhirnya terbangun.
Namun, tubuhnya yang lemas membuatnya hanya bisa membuka mata.
Maxim bersedekap dada. Kakinya turun dari tubuh Ellena. "Bangun! Aku ingin berendam, siapkan airnya sekarang!" perintahnya.
Mulut Ellena bergetar ingin menjawab. Namun, seluruh tenaganya hilang membuatnya tidak bisa berucap, atau bergerak untuk bangun, membuat Maxim semakin kesal.
Maxim membungkuk menarik paksa tangan Ellena untuk bangkit, saat itulah ia merasakan suhu tubuh Ellena yang sangat panas.
Sayangnya, itu tidak mengetuk rasa iba Maxim. "Bangun cepat, bangun!" perintahnya.
Gerakan paksa, yang juga terasa mengguncang perutnya, membuat Ellena seketika mual dan memuntahkan isi perutnya yang pahit dan dominan bercairan hijau.
Muntahan Ellena menyentuh kaki Maxim. Cairan hangat itu membuat Maxim merasakan jijik.
Ellena terkejut, namun tidak mampu memberikan respon. Baru saja ia ingin mendongak meminta maaf, tamparan keras Maxim menyentuh kepalanya.
Plak ....
"Dasar wanita bodoh!" umpatnya.
Satu tamparan amat perih yang membuat Ellena seketika pingsan, terbaring ke lantai.
Maxim berdecih. "Sialan!" gumamnya dengan perasaan jijik dan ikut mual melihat kakinya yang kotor, serta bau khas muntahan yang menyengat membuatnya harus menutup hidung dengan kesal berjalan ke kamar mandi, mengabaikan Ellena yang tidak sadarkan diri.
Maxim membersihkan kakinya, juga seluruh tubuhnya. Buliran air yang jatuh membuatnya merasakan kesegaran di setiap inci tubuhnya.
Selesai membersihkan tubuh. Maxim keluar dari sana. Ellena seolah hanyalah bayangan yang sama sekali tidak terlihat. Maxim merapikan dirinya tanpa peduli sama sekali.
Ketukan di pintu kamarnya barulah membuat perhatiannya teralihkan. "Masuk!" serunya.
Pintu perlahan terbuka menampakkan sosok orang kepercayaan Maxim. "Oh wow, anda menyiksanya lagi Tuan?" sahut Johny melihat Ellena yang tidak sadarkan diri. Serta terdapat aliran darah yang mengalir dari keningnya.
Maxim tidak menjawab pertanyaan itu, dan mengalihkan pembicaraan. "Ada apa?" tanya Maxim.
"Di perbatasan Timur terjadi penyerangan. Orang-orang kita sudah memberikan perlawanan dan pertahanan di setiap sudut, khususnya area penyerangan," jelas Liam membuat kening Maxim seketika berkerut.
"Kapan penyerangan itu?"
"Tadi malam Tuan. Kami tidak memberitahu, karena masih bisa mengontrol," jawab Liam dengan cepat membuat Maxim mengangguk.
"Sudah tau siapa pelakunya?" tanya Maxim dengan tenang.
"Felix Willson," jawab Johny menimpal obrolan itu.
"Ow," Maxim mengangguk. Musuhnya yang datang itu justru membuatnya tersenyum. Ia lalu melirik Ellena dengan senyum seringaian.
"Kita ke perbatasan Timur bawa wanita itu," ucap Maxim menyeringai, ia menarik sebuah laci dan mengeluarkan dua buah pistol api di dalam sana.
"Hm, serius?" tanya kedua orang kepercayaan Maxim tampak terkejut.
"Hm. Pastikan, wanita itu sadar saat kita di sana," ucapnya menatap Ellena dengan penuh rencana.
"Baiklah, jadi kita turun bertempur?"
"Ya," jawab Maxim kemudian berjalan keluar kamar lebih dulu.
"Liam, kamu siapkan senjata, wanita ini biar aku yang bawa," ucap Jonhy membuat Liam mengangguk, tanpa mengatakan apapun, ia pergi dari sana.
Johny mendekati Ellena, ia berjongkok, menginjak sisa muntahan Ellena tanpa jijik. Tangannya terulur menyapu rambut Ellena yang menutupi wajah sehingga ia bisa melihat jelas wajahnya.
"Sungguh disayangkan. Wajah semanis ini harus menderita," gumamnya mengusap aliran darah di hidung dan pipi Ellena.
"Sayang sekali kau istri Felix," ucapnya kemudian menarik lengan Ellena, dan membawa tubuh wanita itu ke pundaknya.
Tanpa merasa kesulitan, Johny membawa Ellena keluar rumah, dengan menggendong layaknya karung beras.
Ia langsung membawa Ellena ke mobil sembari menunggu Maxim yang sedang mengisi tenaga.
Johny menyandarkan tubuhnya di jok mobil, sembari duduk tenang disebelah Ellena. Ia mengeluarkan sebuah kotak obat di bawah jok mobil.
Mobil yang sudah di desain khusus itu memiliki beberapa tempat penyimpanan yang tak terduga.
Di keluarkan ya sebuah suntikan dan diisi cairan lalu menyuntikkan ke tubuh Ellena.
"Ya semoga demammu turun dan ini membuatmu sedikit bertenaga," gumamnya sembari menebak rencana apa yang ada dipikiran Maxim, dan menduga apa yang dilakukannya memang harus.
Setelah menunggu beberapa menit, Maxim dan Liam datang. Maxim duduk di kursi belakang, sedangkan Liam langsung mengambil alih mengemudi.
"Kita berangkat Tuan," sahut Liam sebelum menjalankan mobilnya.
Mobil melaju perlahan meninggalkan Mansion besar, satu-satunya bangunan yang berdiri megah di tengah hutan itu. Menuju lokasi tempat pertempuran utama berada.
Butuh waktu dua puluh menit tanpa hambatan untuk sampai ke sana. Maxim turun dari mobil, melihat pertempuran sengit sejauh sepuluh meter dari tempatnya.
Sudah banyak orang-orang yang tumbang, baik dari pihaknya ataupun pihak lawan.
"Bangunkan dia!" perintah Maxim.