menceritakan sang pangeran bernama iglesias Lucyfer seorang pangeran yang manja dan kekanak-kanakan suatu hari dia dan kakak perempuan Lucyfer iglesias Elice ingin menjadi penyihir high magnus dan bertahun tahun berlalu di mana saat sang kakak kembali lagi ke kerajaan vantier Elice berubah pesat dan menjadi sangat dingin, perfeksionis,fokus dan tak peduli dengan siapapun bahkan Elice malah menantang sang adik dan bertarung dengan sang adik tetapi sang adik tak bisa apa apa dan kalah dalam satu teknik sihir Elice,dan Elice mulai menyadarkan Lucyfer kalau penyihir seperti nya tak akan berkembang dan membuat lucyfer tetap di sana selama nya dan sang adik tak menyerah dia ke akademi yang sama seperti kakak nya dan mulai bertekad menjadi high magnus dan ingin membuktikan kalau diri nya sendiri bisa jadi high magnus tanpa kakak nya dan Lucyfer akan berjuang menjadi yang terhebat dengan 15 teman teman nya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nakuho, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
chapter 9:aku tak bisa melawan mu kakak
Angin malam berdesir pelan.
Elice tidak menjawab.
Ia hanya melangkah maju.
Satu langkah… dua langkah…
hingga kini berdiri tepat di depan Lucyfer.
Lucyfer menunduk.
Tubuhnya gemetar kecil, namun ia tetap memaksakan senyum.
“K-kakak…”
“Aku buatkan kue… kau mau makan, kan?”
Senyum itu rapuh.
Seperti kaca tipis yang retak.
Tidak ada jawaban.
Hanya bunyi logam halus saat Elice membuka kipas emasnya.
Lucyfer berkedip—
Dan dalam sekejap—
Elice sudah berada di belakangnya.
Tidak ada suara benturan.
Tidak ada peringatan.
Hanya hawa dingin yang menyapu.
Krak—!
Kue cokelat itu terpotong rapi di udara, lalu membeku seketika, kristal es menjalar cepat sebelum potongannya jatuh ke tanah.
Elice menoleh perlahan.
“Lucyfer,” ucapnya dingin.
“Kau masih sama saja.”
Ia melangkah, lalu menginjak kue itu.
Esnya retak.
Cokelatnya hancur.
“Adik lemah yang tak bisa apa-apa,” lanjutnya datar.
“Dan kue konyol ini… adalah buatan paling bodoh yang pernah kulihat.”
Lucyfer membeku di tempat.
Ini bukan kakaknya.
Biasanya…
kakaknya akan tersenyum.
Memeluknya.
Mengusap kepalanya.
Namun sosok di depannya kini seperti orang asing.
“K-kak…” suara Lucyfer pecah,
“kenapa… kenapa kau lakukan ini…?”
Elice menatapnya tanpa emosi.
“Karena kau tidak berubah,” jawabnya.
“Kau pikir dengan sifat manja seperti ini… kau bisa menjadi High Magnus?”
Ia menginjak sisa kue itu sekali lagi.
“lasa akhirnya kau hanya bayang-bayangku,” katanya.
"kau tak akan bisa berdiri di tempat yang sama seperti ku adik yang payah."
“Dan kau bayangan tak akan pernah menyusul yang berjalan di depan.”
Lucyfer menggigil.
“Kau hidup di atas,” lanjut Elice,
“tanpa tahu seperti apa dunia bawah.”
“Kau menikmati perlindungan, nama, dan status.”
“Tanpa itu… kau siapa?”
Tatapan merah Elice jatuh ke Lucyfer—
dingin, tajam, tanpa sedikit pun kasih.
“Aku tidak suka basa-basi,” katanya.
“Aku tidak memperbolehkanmu menjadi High Magnus.”
Lucyfer menggeleng kuat.
“Tidak…”
“Kak… janji kita bagai—”
“Kalau begitu,” potong Elice,
“kita buat aturan."
Ia mengangkat tangannya.
“Kau lawan aku. Satu lawan satu. Sekarang.”
“Aku menang—kau berhenti bermimpi.”
“Kau menang—kau boleh mengejar gelar itu.”
Lucyfer bahkan belum sempat menjawab—
Tanah membeku dengan cepat.
Sebuah gundukan es raksasa menjulang, mengangkat Lucyfer ke atas dalam sekejap.
“Ngh—!!”
Tubuhnya terperangkap.
Satu tangan tak bisa bergerak.
Kaki terkunci es.
Tingginya…
nyaris setara istana kerajaan.
“Sihir Es,” ucap Elice tenang.
“Gundukan Raksasa.”
Ia berjalan perlahan di bawahnya, tangan masuk ke saku jubah High Magnus.
“Lihat dirimu Lucyfer,” katanya.
“Kau punya sihir Kloning Element.”
“Kau punya potensi yang besar sekali.”
“Tapi kau tidak pernah menggunakan potensi sihir kloning element itu sepenuhnya."
Ia berhenti.
“Jika ayah dan ibu masih hidup,” lanjutnya dingin,
“mereka tak akan menginginkan melahirkan anak seperti diri mu,"
"untuk apadiri mu di lahirkan? Kau masih manja,lemah dan tak mampu berdiri sendiri."
Lucyfer menahan napas.
“Aku juga,” kata Elice.
“Tidak menginginkan saudara yang lemah sepertimu.”
Ia berbalik.
“Selamat tinggal, Lucyfer,kalau kita bertemu di tempat lain anggap aku orang asing.”
Langkahnya menjauh.
Di matanya—
Lucyfer bukan adik lagi.
Hanya kegagalan.
Lucyfer mengulurkan satu tangan yang bebas.
“Kak…!”
Jarak mereka terlalu jauh.
Es terlalu dingin.
Dan malam itu—
Untuk pertama kalinya dalam hidupnya,
Lucyfer menyadari satu hal:Ia benar-benar sendirian dan tak bisa apa apa tanpa orang lain.