Arjuna dikenal sebagai sosok yang dingin dan datar, hampir seperti seseorang yang alergi terhadap wanita. la jarang tersenyum, jarang berbicara, dan selalu menjaga jarak dengan gadis-gadis di sekitarnya. Namun, saat bertemu dengan Anna, gadis periang yang penuh canda tawa, sikap Arjuna berubah secara drastis.
Kehangatan dan keceriaan Anna seolah mencairkan es dalam hatinya yang selama ini tertutup rapat. Tak disangka, di balik pertemuan mereka yang tampak kebetulan itu, ternyata kedua orangtua mereka telah mengatur perjodohan sejak lama. Perjalanan mereka pun dimulai, dipenuhi oleh kejutan, tawa, dan konflik yang menguji ikatan yang baru saja mulai tumbuh itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ivan witami, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9 Identitas Anna
Ann melangkah masuk ke kantor dengan senyum cerianya. Langkahnya ringan, seolah ada lagu kecil yang mengiringi setiap hentakan kakinya. Saat pintu kaca kantor terbuka, pandangan Anna segera tertuju pada sosok yang sudah lama ia kenal,Juna. Wajah pria itu menoleh ke arahnya, dan tiba-tiba senyum itu muncul, seulas senyum yang tak pernah ia perlihatkan kepada siapapun selama ini. Senyum yang hanya khusus ia simpan untuk seseorang dan seseorang tersebut adalah Anna.
“Selamat pagi, kamu nunggu aku di sini?” sapa Anna sambil menyapa dengan mata berbinar.
Tangan Juna cepat meraih tangan Anna, mengajaknya masuk ke dalam lift khusus petinggi kantor. “Tentu saja. Ayo,” ujarnya dengan suara rendah yang membuat jantung Anna berdetak lebih kencang.
Anna tersenyum, berjalan di samping pria itu, tangan mereka saling berpegangan. Beberapa karyawan yang berada di dekatnya, menatap dengan mulut ternganga, ada yang melongo, ada yang tampak terkejut, bahkan beberapa menunduk dengan tak percaya. Bagaimana mungkin Junu, bos yang selama ini tampak dingin, serius, dan hampir tak pernah menunjukkan emosi, bisa tersenyum begitu tulus dan lembut? Lebih dari itu, bagaimana dia bisa begitu ramah kepada Anna, anak baru di kantor tersebut?
Di sudut ruangan, suara berbisik mulai terdengar antara dua karyawan.
“Pak Juna biasanya dingin dan serius banget, lho. Tapi lihat dia sekarang...” ujar seorang karyawan laki-laki, matanya masih terbelalak.
Dinda, karyawan satunya, ikut mengangguk sambil menatap lift yang perlahan menutup pintunya. “Iya, mungkin Anna... dia memang punya sesuatu yang buat Pak Juna berubah.”
Mereka berdua masih tak percaya, seolah menyaksikan hal ajaib terjadi di depan mata mereka.
Lift berhenti di lantai atas,lantai dua puluh kantor itu. Saat pintu terbuka, Anna dan Juna melangkah keluar, memasuki sebuah ruang kerja berkelas dengan pemandangan kota yang ramai dari balik jendela lebar penuh kaca. Cuaca cerah pagi itu menghantar sinar matahari hangat yang menembus ruangan.
“Pak Juna, aku mau bikin kopi dulu ya. Mau kopi juga,” ucap Anna saat Juna duduk di kursinya.
“Boleh, aku mau nyoba kopi buatan pacarku ini.” Juna meraih tangan Anna.
“Jangan panggil aku Pak, panggil Juna saja.”
Anna tampak berpikir, kesannya tidak sopan tetapi ia memilih menuruti Juna.“Ok, Juna.” Anna tersenyum begitu juga Juna.
Melihat Juna tersenyum Anna tidak tahan tidak untuk memuji.“Kamu ganteng kalau senyum,” puji Anna yang tersipu malu. Sebelum Juna bereaksi Anna berlari keluar.
“Eh…, Anna, Anna.” Juna tersenyum menggelengkan kepalanya.
Anna tersenyum malu sambil berjalan menuju pantry tetapi belum sampai ke pantry Anna ditarik seseorang menuju lorong kantor.
“Kalian mau apa?” tanya Anna sambil berusaha melepaskan cengkraman kedua orang tersebut dan menatap tajam satu orang yang berdiri di depannya.
“Kamu, Anna?” tanya perempuan itu dengan suara dingin.
Anna menatapnya bingung. “Iya, kenapa?”
Perempuan itu tersenyum sinis. “Bos Juna itu orang yang sangat sulit didekati, apalagi diperhatikan oleh anak baru semacam kamu.”
Anna mulai paham maksud perempuan muda yang mungkin usianya diatasnya sedikit. “Aku nggak deketin pak bos. Dari awal aku masuk, pak bos sendiri yang mewawancarai aku,” tegas Anna sambil berusaha melepaskan genggaman tangan kedua teman wanita itu.
Perempuan itu tertawa pelan. “Munafik! Pasti kamu menggoda pak Juna kan?”
Ann merasa jantungnya berdegup kencang. Siapa perempuan itu? Dan kenapa dia memperingatkan Anna dengan nada seperti itu?
“Menggoda seperti apa? Aku tidak tahu maksudmu?” tanya Anna pura-pura tidak mengerti.
“Halah… dasar munafik! Pasti kamu sudah menyerahkan tubuh kamu kan?”
Anna mencoba tertawa kecil, lalu memutar otak supaya perbincangan ini tidak makin berantakan.
"Eits, tunggu dulu, Buk. Aku ini orang baik-baik. Kalau aku harus menyerahkan apa pun pada pak Juna pasti aku akan pilih menyerahkan nomor rekening tabunganku, bukan tubuhku" ujarnya sambil melepaskan tangan mereka, pandangan mata mereka penuh tantangan.
Kedua perempuan itu saling lihat, tampak bingung.
Perempuan pertama kembali menutup mulut menahan tawa, sedangkan perempuan kedua memutar mata kesal.
“Ya, setelah itu tubuh kamu , kamu serahin sama pak Juna.”
“Is … is… kalian ini kenapa sih, tubuh, tubuh. Emangnya aku kambing! Yang serahin tubuh aku gitu aja buat disate. Enak juga gak! Kalian pikir pak Juna kanibal.”
Anna melangkah pergi setelah berhasil melepas genggaman kedua teman perempuannya itu. Tapi perempuan itu meraih rambut Anna.
“Auh…. Sakit. Lepas gak!” tegas Anna mulai habis kesabaran.
“Aku gak akan lepasin kamu sebelum kamu menjauhi pak Juna.” Perempuan itu mulai menarik rambut Anna begitu kuat.
Anna yang tidak tahan akhirnya menarik tangan perempuan itu dan memelintirnya. Hingga perempuan itu kesakitan dan melepaskan cengkraman tangannya dari rambut Anna.
Anna memiting perempuan itu ditembok.“, Sekali lagi kamu ganggu aku atau ngatain aku mengenai pak Juna, aku gak segan-segan berbuat lebih dari ini.”
“Kurang ajar kamu, lepaskan dia,” teriak perempuan satunya lagi.
Anna yang hendak diserang mengangkat satu kakinya dan menahan dada perempuan itu dan ia pepetkan ke tembok dan tangannya masih memiting perempuan satunya.
“Aku bilang jangan main-main sama aku! Sekali lagi kamu bilang aku godain dan fitnah aku tidur sama pak Juna aku beri lebih dari ini!”
“Anna?” Suara Juna terdengar dan melihat semuanya.
Anna melepas cengkramannya dan juga menurunkan kakinya dari dada perempuan itu. Ia bersikap biasa sedangkan tiga wanita itu mengadu pada Juna.
“Pak Juna, Anna jahat. Kami–”
Juna hanya menatap dengan pandangan seperti ingin menikam, lalu meraih tangan Anna. Ketiga perempuan itu pun menjadi takut melihat Juna.
“Kamu gak apa-apa?” Juna memperhatikan Anna begitu dalam.
Anna menggeleng.“Aku gak apa-apa, tapi mereka bilang aku nyerahin tubuh aku sama kamu. Aku gak terima dong,” jawab Anna manja seperti anak kecil yang mengadu pada orang tuanya.
Juna memandang tajam ketiga perempuan itu seolah begitu marah dengan ucapan ketiganya. Juna mengusap lembut rambut Anna lalu merangkulnya.
“Sudah aku katakan, Anna ini pacarku. Jadi jangan pernah ada yang mengganggunya atau kalian bertiga akan aku pecat,” tegas Juna memperingatkan.
Juna melangkah meninggalkan mereka sambil merangkul Anna. Sebelum jauh Anna menoleh ke arah mereka dan menjulurkan lidahnya seperti mengejek.
Juna menyuruh Anna duduk di sofa.“Lain kali teriak kalau ada yang mengganggumu,” ucap Juna melihat Anna.
“Aku masih bisa atasi kok. Lagipula mereka bukan lawanku. Aku bisa jaga diri dari mereka.”
Juna menyentil' dahi Anna.“ Terus, kenapa waktu ditagih bayar hutang kamu sampai kena pukul?”
“Euummm…. Itu… mereka kan laki-laki. Tenaganya lebih kuat. Lihat saja badanku kecil begini,” jawab Anna dengan ekspresi lucunya membuat Juna menahan tawa.
Juna tiba-tiba memegang kepala Anna hendak menggigit pipinya. Tetapi tiba-tiba Aldo datang dan dikira Juna ingin mencium bibir Anna.
“Eh… maaf…, aduh, mataku ternodai,” cicit Aldo.
Anna dan Juna saling pandang tertawa kecil melihat Aldo membalikkan tubuhnya.“ Kau, Do? Ganggu saja. Ada apa?” tanya Juna membuat Aldo sedikit syok karena tidak biasanya Juna menjawab pertanyaan remeh, biasanya Juna hanya menatapnya saja seperti elang ingin memangsa.
Aldo membalikkan tubuhnya melihat Juna dan Anna.“Hari ini kunjungan pabrik. Untuk. Melihat baju desain terbaru kita.
“Ok,” jawab Juna singkat.
“Lalu nanti ketemu rekan bisnis baru kita, dari perusahan BeZa fashion.”
“BeZa Fashion?” tanya Anna terkejut.
“Iya, perusahaan fashion terbesar di negeri kita ini, proposalnya yang kamu buat sudah selesai kan?” tanya Aldo pada Anna.
Anna terlihat syok mendengar nama perusahaan orang tuanya disebut.“ Su-sudah. Ada ditas,”jawab Anna masih tidak percaya.
“Jadi, perusahaan papa kerjasama dengan perusahaan pak Hamdan? Waduh, bisa-bisa ketahuan aku ini anak siapa. Bisa-bisanya aku juga gak ngeh nama perusahaan orang tua sendiri pas bikin proposal tadi malam,” batin Anna takut.
“Sayang, kamu kenapa?” tanya Juna melihat Anna seperti begitu cemas.
“Hah? Gak ada. Cuma pengen kopi. Aku kalau belum ngopi rasanya ada yang kurang.”
Juna tersenyum mengusap rambut Anna.“ Ya sudah, biar aku aja yang ke pantry. Kamu rampungkan saja desain kamu yang belum selesai.”
Anna mengangguk pelan dan tersenyum. Anna melihat Juna berjalan keluar bersama Aldo. Ia masih cemas, takut identitasnya ketahuan Juna, bahwa ia anak bungsu pak Reza dan Bu Bianca.