NovelToon NovelToon
Bukan Berondong Biasa

Bukan Berondong Biasa

Status: sedang berlangsung
Genre:Beda Usia / Identitas Tersembunyi / CEO / Romantis / Cinta pada Pandangan Pertama / Berondong
Popularitas:11.7k
Nilai: 5
Nama Author: Jemiiima__

Semua ini tentang Lucyana Putri Chandra yang pernah disakiti, dihancurkan, dan ditinggalkan.
‎Tapi muncul seseorang dengan segala spontanitas dan ketulusannya.
‎Apakah Lucyana berani jatuh cinta lagi?
Kali ini pada seorang Sadewa Nugraha Abimanyu yang jauh lebih muda darinya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Jemiiima__, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Rumah Sakit

‎Begitu pintu unit terbuka, udara di dalam terasa pengap dan dingin. Lampu ruang tamu masih menyala redup. Di lantai dekat sofa, Lucy terbaring tak sadarkan diri.

‎Sadewa spontan menjatuhkan kantong bubur yang masih dipegangnya. Ia berlari mendekat dengan wajah panik.

‎“Waduh! Teh… teh! Bangun, teh!” serunya sambil menepuk pelan pipi Lucy.

‎Tak ada respons. Napasnya masih ada, tapi lemah.

‎“Pak, gimana ini? Si tetehnya pingsan!” Dewa menoleh ke arah satpam yang berdiri kaku di ambang pintu.

‎Satpam itu terlihat sama paniknya. “Duh, saya juga bingung, Kang…”

‎Dewa mendengus, separuh frustasi. “Lah, bapak malah ikut bingung! Ini harusnya gimana dong!”

‎Ia menatap kembali ke arah Lucy, jantungnya berdegup cepat. Satu-satunya hal yang terlintas di kepalanya saat itu hanya satu: menyelamatkan perempuan ini.

‎Dengan tangan bergetar, Dewa menekan nomor Asep di ponselnya. Sambungan cepat tersambung.

‎“Halo, Bang, kunaon?”

‎(Halo bang , kenapa?)

‎suara Asep terdengar dari seberang.

‎“Sep, bawa mobil ke Gateway Pasteur sekarang juga!” suara Dewa nyaris bergetar karena panik.

‎“Loh, kenapa, ada apa, Bang?”

‎“Udah, jangan banyak tanya! Gue tunggu di lobi secepatnya!”

‎Sambungan langsung terputus tanpa sempat Asep membalas.

‎Dewa bergegas memapah tubuh Lucy, lalu mengangkatnya dengan posisi gendong di punggung. Nafasnya terengah, tapi ia tetap berusaha hati-hati agar kepala Lucy tidak terbentur. Matanya menoleh ke sekitar, mencari tas atau barang pribadi yang mungkin dibutuhkan nanti di rumah sakit.

‎“Pak, pak! Itu dompet sama ponselnya, masukin ke tas itu, Pak,” ujarnya cepat.

‎Satpam yang sempat panik menatapnya curiga. “Heh, mau ngapain? Jangan macem-macem ya, Kang!”

‎Dewa mendengus kesal. “Astaga, bukan macem-macem! Ini mau saya bawa si tetehnya ke rumah sakit, Pak! Cepetan!”

‎Nada suaranya tegas tapi tidak meledak, cukup untuk membuat satpam itu sadar situasinya darurat. “Oh iya, siap siap kang.”

‎Dengan gerakan tergesa, satpam itu mengambil dompet dan ponsel dari meja, lalu memasukkannya ke dalam tas tangan Lucy. Dewa mengangguk singkat, kemudian berlari kecil menuju lift sambil menggendong Lucy di punggung.

‎Udara di koridor terasa menekan — langkah kakinya berpacu dengan waktu, berharap Asep sudah tiba di lobi sebelum semuanya terlambat.

‎‎Sesaat Dewa turun ke lobi dengan tubuh Lucy di punggungnya, mobil Asep sudah tampak berhenti di depan pintu masuk. Tanpa menunggu aba-aba, Asep keluar dari mobil dan sigap membuka pintu kursi penumpang belakang.

‎Dewa dengan hati-hati menurunkan Lucy dari gendongan, lalu menempatkannya di kursi. Napasnya masih terengah, keringat dingin membasahi pelipisnya.

‎“Pak, saya mau bawa si teteh ini ke RS Hermina yang deket, ayo ikut sekalian,” ujar Dewa cepat.

‎Satpam menatap ragu. “Duh, Kang, saya lagi jaga. Gak bisa ninggalin pos. Akang aja yang ke sana. Sebagai jaminan, taro identitas di sini aja dulu, ya?”

‎Dewa sempat berpikir sejenak, lalu mengangguk cepat. “Yaudah, ini, Pak.” Ia merogoh dompet dan menyerahkan kartu mahasiswa serta SIMnya.

‎Satpam menerima dan mencatat sesuatu di buku laporan jaga. “Hati-hati ya, Kang. Semoga gak kenapa-napa itu neng Lucynya.”

‎Selama perjalanan menuju rumah sakit, suasana di dalam mobil terasa tegang dan sunyi. Hanya suara mesin dan napas Dewa yang terdengar berat. Asep, yang duduk di belakang kemudi, sesekali melirik dari kaca spion. Ia tahu, dari dulu Dewa bukan tipe cowok yang dekat dengan perempuan. Bahkan sekedar ngobrol pun jarang. Tapi kali ini, ada sesuatu yang berbeda dari cara Dewa menatap gadis yang kini tak sadarkan diri di kursi belakang.

‎Asep menimbang-nimbang, lalu akhirnya buka suara pelan,

"Bang… ngomong-ngomong, eta awewe saha?”

‎(Bang, ngomong-ngomong itu cewe siapa?)

‎Dewa menoleh singkat, wajahnya datar. “Customer.”

‎Asep mengangkat alis. “Customer? Doang?” Ia tertawa kecil, mencoba mencairkan suasana. “Tapi rasanya mata lo jawabnya kayak bukan sekedar customer, deh.”

‎Dewa menghela napas pelan, menatap ke luar jendela.

“Geus, Sep tong loba ngomong, jalan weh"

‎(Udah, Sep jangan banyak ngomong. Jalan aja)

‎Asep cuma diam, tapi senyumnya tipis. Dalam hati, ia tahu—apapun ceritanya, cewek itu bukan ‘sekedar customer’ Untuk Sadewa.

‎Mobil berhenti di depan IGD Rumah Sakit Hermina, Dewa langsung turun dan berlari membuka pintu belakang.

‎Dengan hati-hati ia menggendong Lucy yang masih tak sadarkan diri, langkahnya terburu namun tetap berusaha tenang.

‎“Permisi, dokter! Suster! Ini ada yang pingsan!" serunya di depan meja perawat.

‎Petugas segera membantu membawa Lucy ke ruang tindakan. Dewa berdiri di depan pintu, napasnya terengah—antara panik dan cemas.

‎Ia baru sadar tangannya bergetar, entah karena gugup atau takut terjadi sesuatu.

‎Beberapa menit kemudian, seorang dokter keluar dari ruang tindakan.

‎"Kondisinya sudah lebih stabil sekarang. Pasien mengalami penurunan kadar gula darah yang cukup signifikan. Kemungkinan besar dia belum makan dan tubuhnya kelelahan." ucap sang dokter membuka pembicaraan.

‎“Tapi...kami menemukan cukup banyak luka memar di beberapa bagian tubuhnya.”

‎Dewa tertegun mendengar penjelasan itu. Ia sempat berpikir ia salah dengar, tapi tatapan serius dokter di depannya membuatnya yakin kalau ini bukan dugaan sembarangan.

‎Belum sempat ia bertanya, dokter melanjutkan dengan nada lebih hati-hati.

‎“Apakah anda pacarnya?”

‎Pertanyaan itu membuat Dewa langsung gelagapan.

“B-bukan Dok! Saya bukan pacarnya. Saya cuma nganterin ke sini, tadi nemuin dia pingsan di apartemennya,” jawabnya cepat, hampir terbata.

‎Dokter menutup berkas hasil pemeriksaan di tangannya lalu menatap Dewa dengan nada tenang tapi tegas.

‎“Kalau begitu,” katanya, “lebih baik Anda segera menghubungi keluarganya. Pasien butuh pendamping selama masa perawatan.”

‎Dewa mengangguk pelan, meski pikirannya langsung kosong . Ia bahkan tidak tahu siapa keluarga Lucy atau bagaimana menghubungi mereka selain lewat nomor di ponselnya yang kini tersimpan di tas.

‎Dokter melanjutkan, “Oh, ya. Pasien sebaiknya dirawat beberapa hari di sini untuk observasi. Kami perlu memastikan kondisi fisiknya benar-benar stabil dan memantau kemungkinan trauma lainnya.”

‎Dewa menelan ludah, matanya menatap ruangan perawatan dari balik kaca bening. Lucy masih tak sadarkan diri, dengan infus terpasang di tangan.

‎“Silakan ke bagian administrasi dulu untuk prosedur rawat inapnya,” tambah sang dokter, memberikan berkas dan menunjuk arah loket.

‎Ia menghela napas panjang, menatap pintu ruang perawatan yang baru saja tertutup.

...****************...

Setelah seluruh proses administrasi selesai, Lucyana dipindahkan ke kamar VIP sesuai permintaan Dewa. Ruangan itu tenang, hanya terdengar suara mesin monitor yang berdetak pelan mengikuti irama napasnya.

‎Dewa terduduk di kursi sisi ranjang, menatap perempuan itu dalam diam. Di bawah cahaya lampu putih yang lembut, wajah Lucyana tampak pucat dan lemah. Baru kali ini Dewa benar-benar memperhatikannya

‎Pandangannya turun ke lengan dan pipi Lucyana. Ada bekas lebam kebiruan di sana, sebagian tampak baru, sebagian lain mulai menguning. Dewa mengernyit, napasnya tertahan.

‎Tadi, dalam kepanikan, ia sama sekali tak menyadari semua itu. Kini, melihat lebih dekat, hatinya terasa aneh — seperti ada sesuatu yang menekan dadanya, antara marah dan iba.

‎Dewa menghela napas panjang Pikirannya berkelana, menembus waktu ke pertemuan pertama mereka di kantor polisi — sosok perempuan itu tampak tegas, tatapannya tajam, suaranya lantang, bahkan sempat membuatnya kagum. Tapi kini...

‎"Kak, sebenarnya apa yang terjadi sama lo?" gumam Dewa pelan, hampir tak terdengar.

‎Matanya kembali menatap wajah Lucyana yang pucat. "Rasanya beda banget... Kemarin keliatan kuat, gak takut siapa pun, gak gampang diintimidasi. Tapi sekarang...," Dewa berhenti sejenak, suaranya serak.

‎Pandangan itu berpindah ke luka-luka di lengan Lucyana, membuat dadanya terasa sesak. "Yang di depan gue sekarang bukan orang yang sama. Ini kayak perempuan lain — yang rapuh, yang lagi butuh dilindungi."

‎Dewa kemudian menaruh tas Lucy di bedside table. Tanpa sadar, rasa lelah mulai menyeruak. Matanya berat, pikirannya kusut oleh banyak tanya—tentang luka, tentang alasan Lucy bisa sampai seperti ini. Hingga akhirnya, tanpa bermaksud, kepalanya terkulai di tepi ranjang, tepat di dekat tangan Lucy. Ia pun tertidur dalam diam, sementara cahaya redup dari lampu kamar menyorot wajahnya yang lelah namun masih menyiratkan kepedulian.

...****************...

Pagi itu, cahaya matahari menembus tirai putih kamar rawat.

Suara mesin infus (infusion pump) berdetak pelan, membuat Lucy perlahan membuka mata.

Kepalanya berat, tubuhnya pegal, dan udara antiseptik memenuhi hidungnya.

Ia menatap sekeliling — dinding putih, bau obat, dan suara langkah perawat di luar pintu.

“Rumah sakit?” gumamnya pelan.

Tangannya refleks menyentuh perban di pelipisnya, mencoba mengingat apa yang terakhir kali terjadi.

Namun, sebelum pikirannya sempat menyusun potongan peristiwa, pandangannya terhenti pada sosok pria yang duduk di kursi sebelah ranjang.

Wajahnya asing. Jaket hitam, rambut acak-acakan, mata terpejam seolah baru tertidur setelah semalaman berjaga.

Lucy menatapnya lama—antara bingung dan waspada.

Dan tepat saat pria itu mulai membuka mata, keduanya saling bertatapan.

Suara Lucy pecah, nyaris seperti bisikan,

“Lo siapa?"

...----------------...

Hayoloh Lucy siapa itu?

Ikuti terus kelanjutan ceritanya ya, Jangan lupa vote like dan komentar ✨💕

1
𝙋𝙚𝙣𝙖𝙥𝙞𝙖𝙣𝙤𝙝📝
semngat lucy ☺ semoga keadilan menyertaimu ya🫂
@pry😛
cp sih.... bs jlskn np bgt
Drezzlle
Dewa mana mau nomor bininya di kasih temennya /Facepalm//Facepalm/
Drezzlle
cemburu nggak sih mbak Lucy 🤣
Shin Himawari
seleksi berkasss dulu ya siss kandidat calon pacar🤣
Shin Himawari
untung aja ketauan sebelum nikah kalo ni laki selingkuh ishh sok ganteng luuu
Shin Himawari
mama dea ya 🥲 masih ajaa ngeles
☕︎⃝❥⍣⃝𝖕𝖎ᵖᵘƳ𝐀Ў𝔞 ℘ℯ𝓃𝓪 🩷
sekuat-kuatnya yg kelihatan diluar setiap orang punya sisi rapuhnya 🥲
TokoFebri
jangan omong. itu pasiennya lagi sakit woy..
Ilfa Yarni
jgn2 arka nih yg neror dewa soalny dia main ponsel hb s tu dewa dpt pesan
TokoFebri
eh dia mau nolong pak satpam
Alyanceyoumee
waduuuh... masa lalu biarlah masa lalu ... 🎤
Alyanceyoumee
tanya langsung wa, paling dia jawab cemburu wk... mana ada?!
Dasyah🤍
bah ketahuan deh tipu daya mu buk🤣
Dasyah🤍
wkwkw.modus lama itu buk
biby
dewa jujurlah berbagi cerita dg istrimu siapa tau ada jln keluar. maslah dewa msh jadi misteri ini
Jemiiima__: betul kak diam2 dewa banyak misterinyaa
pantengin terus yaa
terimakasih sudah membaca 😍
total 1 replies
Eva Nietha✌🏻
Ada apa dngn dewa jd penasaran
-Thiea-
gak papa lucy, jadikan ini pelajaran.
-Thiea-
cocok tu memang. sampah memang harus dibuang ke tempatnya..😄
-Thiea-
apa gak nyesek dengarnya..
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!