Kumpulan kisah misteri menceritakan tentang cerita legenda misteri dan horor yang terjadi di seluruh negeri berdasarkan cerita rakyat. Dalam kisah ini akan di ceritakan kejadian-kejadian mistis yang pernah terjadi di berbagai wilayah yang konon mwnjadi legenda di seluruh negeri bahkan banyak yang meyakini kisah ini benar-benar terjadi dan sebagian kisah masih menyimpan kutukan sampai sekarang, Di rangkai dalam kisah yang menyeramkan membuat para pembaca seperti merasakan petualangan horor yang menegangkan,
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon iqbal nasution, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
2c. Kisah Lembide: Penunggu Laut Tawar
Suatu malam, selepas anak-anak pulang mengaji, surau sunyi. Hanya lampu minyak bergoyang tertiup angin. Teungku Bide menahan Mutia yang hendak beranjak pulang.
“Mutia,” suaranya berat, “sudah lama aku perhatikanmu. Kau wanita baik, sabar, dan setia pada anakmu. Aku tidak ingin melihatmu terus hidup sendiri dalam kesepian. Izinkan aku menjadikanmu istri.”
Mutia terperanjat. Wajahnya memerah, hatinya berdegup kencang. Ia menunduk, menahan gejolak. Dengan suara pelan namun tegas, ia menjawab:
“Maafkan saya, Teungku. Saya menghormati ilmu dan kedudukan Teungku. Tapi hati saya… tidak siap menerima siapa pun lagi. Hidup saya hanya untuk Dino.”
Sejenak, sunyi membeku. Tatapan Teungku Bide yang biasanya teduh berubah keruh. Ada kekecewaan, bercampur dengan gengsi terluka. Namun ia masih berusaha menahan diri.
“Apakah kau menolak karena aku sudah tua? Karena aku guru yang tak pantas bagimu?” tanyanya, lirih namun sarat tekanan.
Mutia menahan napas. “Bukan, Teungku. Tolong jangan salah mengerti. Saya hanya ingin fokus membesarkan anak saya.”
Setelah itu, Mutia bergegas pulang. Malam itu ia menangis, takut bila penolakannya menimbulkan fitnah. Sejak saat itu, ia tak pernah lagi menemani Dino pergi mengaji. Ia selalu mencari alasan untuk menghindar bila bertemu Teungku Bide di jalan.
Bagi Teungku Bide, penolakan itu adalah tamparan. Di depan murid-muridnya, ia tetap terlihat tenang. Namun di dalam hati, ada bara yang terbakar: rasa ingin memiliki yang berubah jadi obsesi beracun.
Dan sejak saat itu pula, Dino sering merasakan sesuatu yang aneh di tempatnya belajar mengaji: tatapan gurunya terasa lebih berat, seolah ada beban yang hendak ditimpakan padanya. Malam-malamnya pun semakin sering ia habiskan di tepi danau, mendengar bisikan lembut yang semakin menggoda.
Bisikan itu berkata:
“Tinggalkan semua yang membuatmu malu, Dino… air ini akan jadi sahabatmu. Kau akan bebas, kau akan tenang…”
Hari itu, mentari condong ke barat. Suasana kampung tenang, hanya suara angin menyapu pepohonan kopi. Tiba-tiba, seorang utusan datang ke rumah Mutia.
“Teungku Bide memanggil Dino ke pondoknya sore ini,” katanya singkat.
Dino terkejut. Ia baru saja pulang bermain di tepi danau. Jantungnya berdegup, sebab biasanya pondok tempatnya belajar mengaji baru ramai selepas Maghrib.
Mutia menatap anaknya dengan ragu. Ada firasat aneh yang mengusik hatinya.
“Untuk apa sore-sore begini, Din?” bisik Mutia.
“Entahlah, Bu…” jawab Dino pelan.
Namun karena takut dianggap membangkang, Dino tetap melangkah menuju pondok.
Di dalam pondok, lampu minyak belum dinyalakan. Ruangan setengah gelap, hanya cahaya matahari sore yang menyusup lewat celah papan. Teungku Bide duduk bersila, kitab di depannya.
“Duduklah, Dino,” ucapnya. Suaranya berat, tapi dingin.
Dino duduk dengan gelisah. Ia merasakan hawa berbeda. Biasanya sang guru memberi senyum, kini wajahnya muram, matanya tajam menusuk.
“Dino… kau anak baik, tapi kau keras kepala. Kau lebih suka bermain di danau daripada belajar Qur’an.”
Dino menunduk. “Maaf, Teungku…”
Teungku Bide mendekat, lalu meletakkan tangannya di atas kepala Dino. Bibirnya mulai melafazkan doa—tapi doa itu bukan yang biasa ia dengar. Ada kata-kata asing, berdesis, membuat bulu kuduk Dino berdiri.
Kepala Dino terasa berat. Matanya berkunang. Ia seakan melihat bayangan air berputar-putar, lalu sebuah wajah samar muncul: wajah perempuan berambut panjang, tersenyum dingin dari balik riak.
“Siapakah… itu…?” Dino bergumam.
Teungku Bide terus berkomat-kamit, seolah memanggil sesuatu. Napasnya berat. Dalam hatinya ia berkata:
"Kalau Mutia menolak aku, maka anaknya akan jadi jalan… aku akan ikat nasib kalian dengan takdir gaib.”
Dino menggigil. Ada bisikan lain menyusup ke telinganya—bukan suara Teungku, melainkan suara yang sering ia dengar dari danau. Suara itu kini semakin jelas, semakin kuat.
“Dino… ikutlah padaku. Kau tak akan dipermalukan lagi. Di dalam air, kau akan tenang…”
Malam itu, pondok tampak lengang setelah para murid yang lain pulang kecuali Dino.
Setelah melafalkan mantera, Teungku Bide menatap Dino dengan sorot mata tajam.
“Untuk menyempurnakan ilmu ini,” katanya perlahan, “kau harus membawa sehelai rambut ibumu. Hanya itu syaratnya. Tanpa itu, kau tak akan pernah bisa tenang.”
Dino terdiam, dadanya sesak. Ia tak mengerti maksud gurunya, tapi dalam keadaan seakan terhipnotis, ia mengangguk. “Baik, Teungku…”
*****
Di rumah, malam larut. Mutia tertidur kelelahan setelah seharian menjemur kopi. Rambut hitamnya terurai di bantal, berkilau samar diterpa cahaya lampu minyak.
Dino masuk perlahan, langkahnya pelan, napasnya berat. Tangannya gemetar ketika mendekati ibunya. Ia teringat suara Teungku Bide… teringat juga bisikan dari danau yang seolah ikut mendorongnya.
Perlahan, ia menjulurkan tangan… mencabut sehelai rambut.
“Ahh…” Mutia tersentak bangun. Matanya terbuka lebar, langsung melihat anaknya berdiri di sisi ranjang, menggenggam rambut hitamnya.
“Dino! Apa yang kau lakukan?!”
Dino terkejut, tubuhnya terdiam. Wajahnya pucat, mata berkaca-kaca. “Ibu… maaf… aku… aku harus… membawa rambut ini…”
Mutia bangkit, meraih bahu anaknya dengan gemetar. “Siapa yang menyuruhmu?”
Dino menunduk, air matanya jatuh. “Teungku… Teungku Bide…”
Hati Mutia seperti ditusuk pisau. Nafasnya sesak, pikirannya berputar. Ia tak percaya guru yang dihormati warga bisa menyuruh hal seaneh ini.
“Ya Allah… apa yang sudah terjadi pada anakku…” bisiknya lirih.
Dino menangis, namun di dalam tangisnya, terdengar samar bisikan lain yang seakan hanya ia dengar:
“Jangan takut… rambut itu kunci… sebentar lagi kau akan bebas di dalam pelukanku…”
Mutia memeluk anaknya erat, tapi di dalam pelukan itu ia merasakan tubuh Dino dingin, seperti baru saja keluar dari air danau.
Sejak malam itu, Mutia sadar: ada bahaya besar yang mengintai, bukan hanya dari danau, tapi juga dari manusia yang bersembunyi di balik jubah agama.
*****
Esok harinya, Mutia termenung lama. Hatinya hancur melihat anak semata wayangnya dipaksa oleh Teungku Bide. Tapi ia tahu, bila menolak mentah-mentah, Dino bisa semakin terjerat oleh tipu daya sang guru.
Pagi itu, tetangganya sedang menyembelih seekor kerbau besar untuk acara hajatan. Usai disembelih, bulu-bulu kerbau dijemur di halaman. Saat melihat itu, Mutia mendapat ide. Ia diam-diam mengambil sehelai bulu ekor kerbau yang panjang dan hitam, menyerupai rambut manusia.
Malamnya, ketika Dino kembali dengan wajah resah, Mutia menahan tangis. Ia menyodorkan sehelai bulu itu sambil berkata:
“Ini, Nak… ambillah. Katakan pada Teungku Bide kalau ini rambut ibu.”
Dino menatap bulu itu dengan bingung. “Tapi… apakah benar, Bu?”
Mutia tersenyum tipis, berusaha menenangkan. “Ya… ibu memberikannya dengan ikhlas.”
Dino pun percaya. Ia menyimpan bulu itu, lalu keesokan malamnya menyerahkannya kepada Teungku Bide.
*****
Di pondok yang sepi, Teungku Bide menerima bulu tersebut. Matanya berkilat. Ia tidak curiga, hanya merasa puas karena syarat yang ia minta telah dipenuhi. Dengan khusyuk palsu, ia mulai membakar kemenyan, meletakkan bulu itu di atas bara.
“Asap ini… akan mengikat jiwa si ibu pada ilmu yang kumiliki,” gumamnya dengan senyum miring.
Namun seketika, ruangan berguncang pelan. Asap yang keluar bukan putih, melainkan hitam pekat, berbau anyir seperti darah hewan. Api bara menjilat tinggi, suara mendesis terdengar dari arah sudut surau.
Mata Teungku Bide melebar. “Apa ini…?”
Namun, Teungku Bide tetap melanjutkan ritualnya.