NovelToon NovelToon
Butterfly

Butterfly

Status: sedang berlangsung
Genre:One Night Stand / Cinta Beda Dunia / Diam-Diam Cinta / Cinta pada Pandangan Pertama / Mengubah Takdir / Identitas Tersembunyi
Popularitas:220
Nilai: 5
Nama Author: Kelly Astriky

Kelly tak pernah menyangka pertemuannya dengan pria asing bernama Maarten akan membuka kembali hatinya yang lama tertutup. Dari tawa kecil di stasiun hingga percakapan hangat di pagi kota Jakarta, mereka saling menemukan kenyamanan yang tulus.

Namun ketika semuanya mulai terasa benar, Maarten harus kembali ke Belgia untuk pekerjaannya. Tak ada janji, hanya jarak dan kenangan.

Apakah cinta mereka cukup kuat untuk melawan waktu dan jarak?
Atau pertemuan itu hanya ditakdirkan sebagai pelajaran tentang melepaskan?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kelly Astriky, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Eps. 9 Pulau Komodo

Sinar matahari menyusup pelan lewat celah tirai.

Udara pagi dari AC masih dingin, tapi hangat matahari mulai terasa di kulitku.

Aku membuka mata perlahan, melihat sekeliling kamar hotel yang masih hening.

Maarten sudah bangun duluan.

Dia berdiri di dekat jendela, mengenakan kaus coklat dan celana pendek. Memandangi kota yang mulai hidup pelan-pelan.

Tangan kirinya memegang secangkir kopi hotel, dan dari ekspresinya… dia tampak sedang berpikir.

Aku duduk pelan di tepi kasur. Dia menoleh, lalu tersenyum lembut.

“Selamat pagi,” katanya.

“Pagi,” jawabku sambil menarik napas panjang.

Rasanya seperti bangun dari mimpi panjang yang tidak ingin cepat-cepat selesai.

Maarten berjalan mendekat, lalu duduk di pinggir kasur, di sebelahku.

“Kamu tidur nyenyak?” tanyanya.

Aku mengangguk pelan.

“Nyaman banget… mungkin karena semalam tenang.”

Dia tersenyum lagi, kali ini lebih dalam.

“Kelly… aku harus kasih tau kamu sesuatu,” katanya tiba-tiba.

Aku menatapnya, sedikit tegang.

“Apa?”

Dia menyeruput kopinya sebentar, lalu berkata pelan.

“Hari ini aku harus berangkat ke Labuan Bajo. Aku udah lama banget pengen ke sana. Aku pengen ke Pulau Komodo.”

Aku menunduk sedikit, lalu mengangguk.

“Oh…”

Maarten buru-buru menatapku, ekspresinya berubah lembut dan menenangkan.

“Bukan karena aku mau ninggalin kamu. Sama sekali bukan. Aku udah rencanain ini sebelum datang ke Indonesia.”

Lalu dengan cepat dia membuka ranselnya dan mengambil sebuah kertas. Dia menunjukan isi kertas itu. Itu adalah peta dan rencana perjalanan yang dia tulis.

"Ini... Aku sudah menulis rencanaku dikertas ini. Aku menulisnya dibelgia. Kau lihat? 1 minggu aku akan berada di labuan bajo"

Aku diam.

Sambil menenangkan pikiranku sendiri.

“Aku cinta alam,” lanjutnya.

“Aku suka tempat-tempat liar. Hutan, laut, binatang. Dan Indonesia itu memiliki tempat yang aku inginkan. Komodo, laut biru, tebing, gua… aku pengen lihat semua itu dengan mata kepalaku sendiri. Aku nggak cuma ke sini buat liburan, Kelly. Aku ke sini buat merasa hidup lagi.”

Aku menatap matanya.

“Aku ngerti,” kataku pelan.

“Dan kamu berhak punya petualanganmu disini.”

Dia menunduk, menaruh cangkir kopinya di meja kecil.

“Tapi aku juga pengen kamu tahu… kamu adalah bagian terbaik dari petualanganku di sini. Bahkan sebelum aku menginjakkan kaki di Pulau Komodo.”

Aku menahan napas sesaat.

“Maarten…”

Aku menyentuh tangannya perlahan.

“Kalau kamu nggak keberatan… aku pengen tetap terhubung. Aku pengen kamu jadi bagian dari hari-hariku meski nanti aku di pulau lain. Karena, perasaan ini nggak muncul ke siapa pun. Dan aku nggak mau anggap ini kebetulan lewat.”

Aku tersenyum kecil, menatap matanya lama.

“Janji ya… meski kamu lihat binatang paling langka pun, kamu tetep inget aku.”

Dia tertawa kecil.

“Gimana mungkin aku lupa… sama seseorang yang bisa bikin aku tenang kayak malam tadi?”

Lalu dia bersandar pelan di bahuku.

“Dan kalau kamu pernah merasa ragu… ingat, kamu adalah rumah yang aku temukan di tengah perjalanan panjangku.”

Kami duduk berdua di tepi kasur, dalam diam yang hangat.

Aku tahu dia harus pergi. Tapi aku juga tidak ada hak untuk melarangnya. Dan kami adalah dua orang yang cukup dewasa.

Setelah sarapan singkat di hotel, Maarten mulai berkemas.

Ia mengangkat ranselnya ke punggung.

Gaya backpacker-nya kembali terlihat jelas. Petualang sejati.

Dia sempat bercermin sebentar, lalu menoleh ke arahku.

“Gimana?” tanyanya sambil merapikan tali ransel di dada.

“Kelihatan kayak orang yang siap melawan komodo, nggak?”

Aku tertawa kecil meski ada rasa berat di dada.

“Kelihatan kayak orang yang susah dilupakan.”

Maarten tersenyum, lalu menghampiriku dan menggenggam kedua tanganku.

“Aku nggak janji apa-apa, Kelly. Tapi aku juga nggak akan pergi tanpa hati. Kamu udah ada di bagian itu sekarang.”

Kami berjalan ke lobi hotel bersama. Langkah kami pelan.

Setiap detik seperti dihitung oleh perasaan yang diam-diam mulai takut kehilangan.

Di depan pintu hotel, mobil online-nya sudah menunggu.

Sopir membuka bagasi, dan Maarten menaruh ranselnya dengan hati-hati.

Dia menoleh lagi ke arahku.

“Jaga dirimu ya,” katanya.

“Nanti kabarin kalau kamu udah sampai rumah.”

Aku hanya mengangguk. Tak bisa berkata banyak. Tenggorokanku mulai terasa berat.

Dia memelukku pelan.

Pelukan yang nggak lama, tapi cukup untuk mengantarkan rasa yang tak bisa diucapkan dengan kata.

“Terima kasih untuk malam yang indah,” bisiknya.

Dan setelah itu, dia masuk ke mobil.

Aku berdiri di depan hotel cukup lama. Menatap mobil yang menjauh, hingga akhirnya benar-benar hilang di tikungan.

Aku naik kereta sore ke Jakarta.

Kursiku dekat jendela. Langit senja berubah perlahan, dari oranye ke abu-abu, dari hangat ke sunyi.

Di luar jendela, pepohonan dan rumah-rumah kecil berlarian. Tapi pikiranku tetap tinggal di hotel tadi pagi.

Tinggal di tatapan mata Maarten yang tenang, di cara dia merebahkan kepala di pahaku, di senyumnya saat bilang, “kamu rumah.”

Aku mulai bertanya-tanya.

Apa dia akan mengingatku?

Apa malam itu berarti untuknya?

Atau mungkin... di pulau itu, dia ketemu cewek lain. Cewek petualang. Yang bisa diajak jalan jauh, naik gunung, selam bareng, dan lupa semuanya termasuk aku.

Aku menunduk.

Seketika pikiranku mulai berisik.

Tapi aku tahan. Aku coba redam.

Setelah hampir satu jam, akhirnya aku tiba di rumah nenekku.Malam sudah turun. Langit gelap, tapi udara Jakarta jauh lebih tenang.

Aku duduk di kamar, menatap layar ponsel lama.

Lalu akhirnya aku mengetik:

“Aku udah sampai rumah, Maarten. Terima kasih untuk semuanya.”

Beberapa menit kemudian, ponselku bergetar.

“Aku senang kamu udah sampai dengan selamat. Aku masih di jalan ke bandara, macet sedikit. Tapi semua baik-baik aja.”

Aku membacanya pelan, senyum tipis muncul di bibirku.

Dan hari itu, meskipun kami sudah berjauhan…

Aku tahu, semuanya belum benar-benar berakhir.

Aku sudah di rumah, tapi perasaanku belum sampai.

Aku masih merasa seperti duduk di tepi kasur hotel tadi pagi.

Masih bisa merasakan berat kepalanya di pahaku, tangan hangatnya menggenggam jemariku, dan cara dia memandangku, bukan dengan tatapan penuh ambisi, tapi penuh ketulusan.

Ponselku tergeletak di meja, layarnya mati, tapi jantungku tetap berdetak setiap kali aku melirik ke arahnya.

Aku menarik napas dalam. Di kepalaku, pertanyaan-pertanyaan mulai berbaris :

Apakah aku terlalu berharap?

Apa Maarten serius waktu bilang aku bagian terbaik dari perjalanannya?

Atau… itu hanya kata-kata yang keluar karena suasana?

Tiba-tiba ponselku bergetar pelan.

Layarnya menyala. Sebuah pesan masuk lagi.

“Aku baru aja tiba dibandara. Aku duduk di pojok, minum kopi instan yang rasanya aneh. Tapi aku senyum sendiri karena terus kepikiran kamu.”

Aku membaca pesannya pelan-pelan, seperti menyimpan setiap katanya di dalam dada.

Aku menutup mulutku, menahan senyum dan sesuatu yang hampir jatuh dari sudut mataku.

“Tapi aku tau, kamu punya duniamu sendiri. Aku cuma pengen kamu tau satu hal : bahkan di tengah alam liar nanti, aku akan tetap mikirin kamu. Kamu... rumah di tengah perjalanan.”

Aku nggak langsung balas.

Aku hanya menatap layar itu lama, membiarkan kata-katanya mengisi ruang kosong yang sejak tadi makin besar.

Dan malam itu, untuk pertama kalinya sejak berpisah…

Aku merasa tenang.

Karena ternyata, aku masih dibawa bersamanya. Meski jarak mulai membentang.

Aku naik ke tempat tidur, menarik selimut hingga ke dada.

Sebelum tidur, aku balas pesannya.

“Aku senang kamu baik-baik saja. Jangan lupa kirim foto kalau kamu lihat komodo ya. Dan hati-hati… jangan terlalu dekat. Aku masih mau lihat kamu pulang nanti.”

Pesanku terkirim.

Beberapa detik kemudian, tanda centang dua berubah biru. Tapi tak ada balasan.

Mungkin dia udah boarding. Mungkin sinyalnya jelek.

Tapi entah kenapa, aku merasa nggak perlu jawaban cepat malam ini.

Yang penting aku tahu…

meski langkah kami menuju arah yang berbeda,

tapi hati kami belum sepenuhnya berpisah.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!