~Menikah karena cinta itu indah. Tapi bagaimana jika menikah karena wasiat?~
Raga Putra Mahesa tak pernah menyangka, amanat terakhir dari almarhum ayahnya akan menuntunnya ke pelaminan—bukan dengan wanita pilihannya, melainkan dengan Miky Cahya Murni. Gadis 19 tahun yang terlalu cerewet, terlalu polos, dan terlalu jauh dari bayangannya tentang seorang istri.
Apalagi … dia masih belum selesai berduka. Masih hidup dalam bayang-bayang mendiang istrinya yang sempurna.
Miky tahu, sejak awal dia bukan pilihan. Dia hanya gadis culun dengan suara cempreng, langkah kikuk, dan hati yang terlalu mudah jatuh cinta pada sosok lelaki dingin yang tak pernah memberinya tempat.
“Dia mencintai mendiang istrinya. Aku hanya bayang-bayang.” – Miky
“Menikahimu adalah kesialan bagi saya!” – Raga.
Di tengah usaha Miky dalam mengejar cinta Raga, sebuah rahasia terungkap. Rahasia yang selama ini disembunyikan oleh Raga.
Mampukah Miky bertahan dalam pernikahan tanpa cinta ini? Atau akankah ia menyerah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kacan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Enyahlah!
..."Saat sakit, Miky hanya butuh perhatian dan pelukan. Sederhana, namun sulit didapatkannya setelah menikah dengan pria arogan seperti Raga."...
...💥💥💥...
Di bangku rumah sakit, Raga duduk memangku Fika yang masih setia menangis sampai-sampai matanya menjadi sembab.
Bocah berambut pendek itu terus mengatakan 'takut' seakan Miky dalam keadaan sekarat, membuat Raga kewalahan menenangkan Fika.
"Papi, kenapa bu doktel lama cekali peliksa mimi?" Dalam dekapan Raga, Fika mengangkat kepalanya, melihat wajah tenang papinya.
Tangan Raga mengusap air mata anaknya. "Sabar," ucapnya seraya mengelus puncak kepala sang anak.
Tak ada gurat khawatir di wajah dingin Raga. Ia terlihat seperti biasanya, dingin tak tersentuh.
Tak berselang lama, seorang dokter wanita keluar dari sebuah ruangan setelah melakukan pemeriksaan terhadap Miky.
"Bu doktel, bu doktel." Fika menoleh ke belakang, ia menunjuk wanita ber-snelli itu dengan tak sabaran.
Raga membawa Fika ke dalam gendongannya, kemudian menghampiri dokter yang tersenyum ramah pada mereka.
"Mimi Fika baik-baik saja kan, Bu Doktel?" Fika menatap dokter itu dengan mata bulat berkaca-kaca.
Lagi-lagi dokter itu menampilkan senyum menenangkan. "Mimi kamu baik-baik saja," ucapnya lembut.
Mata dokter itu beralih menatap Raga, seakan paham akan kode tersebut, kepala Raga pun mengangguk.
"Fika duduk dulu di sini ya, Papi mau bicara dengan bu dokter," ucap Raga seraya menurunkan anaknya di bangku tempat mereka tadi duduk.
"Iya, Papi. Fika cudah tidak cabal mau ketemu cama mimi," jawab Fika dengan aksen cadelnya.
Raga hanya mengangguk sambil menepuk pelan kepala anaknya, lalu kembali menghampiri dokter wanita itu.
Wajah Raga tampak dingin, matanya menyorot wanita di hadapannya dengan datar. "Ada apa?" tanyanya tanpa minat.
Dokter ber-name tag Lolita itu memutar bola mata malas. "Baiklah tuan Raga yang arogan, istri Anda terkena gejala tipes, dan ... luka yang membengkak di telapak tangan serta kedua lututnya sudah saya tangani," ucap Lolita terdengar kesal, pasalnya sahabat semasa SMA-nya ini semakin dingin dan arogan.
Raga memasukan kedua tangan ke dalam saku celananya sambil memasang ekspresi malas. "Sudah?" Raga bertanya tanpa beban.
Wajah Lolita memerah menahan kesal, untung saja ia dapat bekerja secara profesional. Dalam satu tarikan napas Lolita kembali memasang senyum terpaksa. "Saya sudah menuliskan resep obatnya, silahkan tebus di dekat lobi."
"Pulang atau dirawat inap?"
Dahi Lolita menekuk membentuk garis kerut halus. Beginilah nasibnya jika berbicara dengan manusia irit bicara. Kalau bicara tidak ada panjang kali lebar, singkat sesingkat-singkatnya. Untung otak cerdasnya dapat menangkap arti dari pertanyaan itu setelah beberapa detik.
"Pasien boleh dirawat di rumah," terang Lolita.
***
Hari semakin larut, namun Miky tidak dapat tidur dengan benar. Ia merasa tenggorokannya terasa kering, dan kini ia membutuhkan air untuk melepas dahaganya.
Dengan kepala terasa pusing ia turun dari ranjangnya secara perlahan sambil berpegangan dengan sisi ranjang.
"Ahsst." Miky meringis saat merasakan ngilu di kedua lututnya. Ia sangat ingin pulang ke rumah ayah bundanya, disaat sakit seperti ini biasanya bunda dan ayahnya merawatnya dengan penuh cinta.
Mengingat kedua orang tuanya membuat air mata menggenang di pelupuk mata Miky. Dalam langkah tertatih ia berjalan sambil menangis seperti anak kecil— mengusap-usap matanya dengan lengan baju tidurnya.
Tanpa disadari oleh Miky yang sedang menuang air dari teko ke gelas di meja makan. Seorang pria tengah bersandar pada pintu kulkas, mengamatinya dalam diam.
Dalam kondisi masih menangis Miky meminum air dalam satu tegukan. Ia meletakkan gelas kosong itu ke atas meja, kemudian berbalik.
Detik itu pula tangis Miky semakin kencang karena sosok pria tinggi tengah menatap tajam ke arahnya.
Miky berlari menuju Raga tanpa memperdulikan kondisi lutut dan kepalanya yang pusing. "Huaaaa, Mas ganteng."
Bruk!
Seketika tubuh Raga menegang kaku saat tiba-tiba Miky memeluknya dengan teramat erat. Matanya bergerak ke bawah, melihat kepala Miky yang mengusak-ngusak di dadanya.
Sontak mata Raga mendelik lebar. "Ingusmu?!" hardiknya pada Miky yang seenak jidat mengelap ingus itu dengan kausnya.
Tanpa rasa bersalah Miky mendongakkan kepala demi bisa melihat ekspresi marah suaminya tanpa melepaskan belitan tangannya pada pinggang Raga.
Dengan mata dipenuhi genangan air mata ia membalas tatapan penuh permusuhan suaminya dengan tatapan polos.
"Kepala Miky pusing mikirin Mas ganteng, lutut Miky nyut-nyutan karena Mas ganteng, Miky nangis juga karena Mas ganteng. Jadi ... itu hukuman buat mas ganteng, ingus doang," ucap Miky enteng, lalu setelah itu ia kembali menelusupkan wajahnya di dada sang suami.
"Menyingkirlah dari tubuh saya!" Raga berucap dengan sinis.
Miky menangkap kebencian dari intonasi suara pria itu. Namun, Miky tidak peduli. Baginya larangan pria itu adalah perintah. Semakin dilarang semakin ia melakukannya.
Miky melepaskan belitan tangannya pada pinggang Raga, membuat pria itu mendesah lega. Namun, tak berapa lama kemudian mata Raga bergerak gusar saat tiba-tiba Miky menerjang tubuhnya.
Hap!
Bagai bayi koala Miky memeluk leher serta melingkarkan kaki di perut suaminya.
"Buat Miky bobok nyenyak ya, Mas Ganteng," perintah Miky yang sontak saja membuat Raga menggeram penuh amarah.
Napas Raga terengah karena amarah tertahan. Ia hendak menyingkirkan lengan Miky dari lehernya. Namun, secepat kilat Miky menggigit pundaknya dengan kuat.
"Sial!" Raga mengerang. Wajahnya memerah, ia tak lagi dapat menahan emosi yang berkecamuk dalam dirinya.
Dengan telapak tangan yang dua kali lebih besar dari milik Miky, ia menekan kuat pinggang itu hingga Miky menegakkan kepala disertai suara ringisan.
"Gadis gila!" umpat Raga saat Miky tak kunjung turun juga walau ia sudah menyakitinya.
Miky melepas satu tangannya dari leher Raga, lalu mengusap pipi pria itu dengan gerakan lembut. "Kalau Miky udah bobok, baringin aja di tempat tidur, baru deh Mas ganteng boleh pergi," tutur Miky, lalu setelahnya menguap lebar.
Raga mendengus kasar, ia tak mengacuhkan perkataan Miky dan berusaha melepaskan belitan Miky.
Namun, belitan di pinggang dan lehernya semakin kuat, bahkan sulit untuk dilepas seperti ada lem setan yang mengikat mereka.
Di tengah usaha Raga, Miky malah dengan tenang menyenderkan kepala di bahu kokoh itu sambil memejamkan mata.
Raga menghembuskan napas panjang, rasa jengahnya sudah berada di ubun-ubun. Matanya bergerak menyapu setiap sudut ruang makan yang terasa sunyi.
Tanpa berkata sepatah kata pun, ia akhirnya menarik kursi di dekat meja makan dengan bantuan kakinya, lalu duduk dengan enggan sambil memangku Miky si bayi koala.
Cukup lama dalam posisi memuakkan bagi Raga, sampai terdengar suara napas teratur Miky. Leher Raga pun tak lagi berkalungkan tangan Miky karena kini tangan itu terkulai bebas. Sementara itu, Raga hanya bisa duduk diam, tubuhnya kaku, wajahnya menegang menahan kesal.
Raga menoleh sedikit, memandangi wajah Miky yang tampak pulas, Miky terlihat begitu tenang, sangat tenang.
Sial! Dirinya benar-benar terjebak dalam situasi yang tak pernah diinginkannya.
"Ck menyusahkan!" Raga berdecak geram, pasalnya ia mau tak mau menahan bokong rata milik Miky agar gadis gila dalam gendongannya ini tidak merosot ke ubin lantai. Bukan karena peduli, tapi karena jika gadis ini terjatuh maka urusannya akan menjadi panjang. Dan ia benci segala sesuatu yang bertele-tele.
Tak sudi berlama-lama dekat dengan sang istri, Raga memutuskan untuk berdiri, membawa gadis gila dalam gendongannya ke dalam kamar.
Begitu sampai di kamar sempit nan panas dan berudara pengap milik Miky, ia langsung meletakkan tubuh Miky dengan asal, tak peduli apakah posisi tidur gadis itu nyaman atau tidak. Bahkan, ia tak peduli saat melihat kaki gadis itu tertekuk asal. Ia bukan pelayan. Dan Miky bukan siapa-siapa.
Ia hanya ingin keluar secepatnya.
Namun, sebelum ia pergi, langkahnya sempat terhenti. Ia menunduk menatap Miky.
"Enyahlah dari hidup saya!" bisik Raga sebelum akhirnya ia pergi ke kamarnya sendiri.
Bersambung ....
Etdah mas Raga stelan cuek kejam apa stelan cuek malu-malu? 🥱🥱🥱🥱🥱
Dari pada pusing lihat kelakuan mas Raga, mending kita goyang stecu dulu yuk zeyeng. Stecu, stecu, stelan cuek malu-malu 💃💃💃💃💃💃 azekkk
jedeeerrrrrr
sambungin lagu thor
zigizaga zigi to zaga zigzig to zagzag
welcome to our family