NovelToon NovelToon
TITIK NOL TAKDIR

TITIK NOL TAKDIR

Status: sedang berlangsung
Genre:Berbaikan / Spiritual / Penyesalan Suami / Duniahiburan / Matabatin / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati
Popularitas:643
Nilai: 5
Nama Author: Tiga Alif

Bara, pelaut rasional, terdampar tanpa koordinat setelah badai brutal. Menjadi Musafir yang Terdampar, ia diuji oleh Syeikh Tua yang misterius: "Kau simpan laut di dadamu."

Bara menulis Janji Terpahit di Buku Doa Musafir, memprioritaskan penyembuhan Luka Sunyi keluarganya. Ribuan kilometer jauhnya, Rina merasakan Divine Echo, termasuk Mukjizat Kata "Ayah" dari putranya.

Bara pulang trauma. Tubuh ditemukan, jiwa terdampar. Dapatkah Buku Doa, yang mengungkap kecocokan kronologi doa dengan keajaiban di rumah, menyembuhkan mereka?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tiga Alif, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 3: BISIKAN LAUT DAN RASA PANGGILAN YANG SAMAR

Ikhtiar di Cadas Sunyi dan Doa Musafir

Bara berada di Cadas Sunyi, sebuah area batu kapur datar yang menghadap langsung ke lautan lepas. Sudah tiga hari ia di pulau itu, dan setiap hari terasa seperti satu dekade. Dingin menusuk kulitnya, menembus pakaian basah yang tidak pernah benar-benar kering. Ia sangat lemah. Kekuatan fisiknya kini berada di titik kritis.

Ia duduk bersila, punggungnya bersandar pada batu kapur yang permukaannya halus karena kikisan angin. Gigih melawan paranoia, ia mencoba meyakinkan diri bahwa suara bisikan di laut yang ia dengar setelah sujud pertamanya bukanlah kegilaan.

Ia membuka Buku Doa Musafirnya. Tulisan doanya yang sebelumnya, ia tulis saat pertama kali terdampar, kini mulai kabur terkena air laut. Ia harus mengulang, namun ia menyadari ia harus menambahkan fokus spiritual yang lebih dalam.

Bara menggunakan pensil pendek Mala yang semakin menipis. Pensil itu adalah satu-satunya koneksi fisik yang ia miliki dengan rumah.

Ikhtiar fisikku nol. Aku tidak bisa berenang kembali. Aku tidak bisa berteriak cukup keras untuk didengar kapal yang melintas. Hanya Rina yang bisa menahan tiang rumah. Aku hanya bisa bersandar pada keimanan Rina. Dia yang harus kuat.

Ia menuliskan doanya dengan lugas, puitis, dan berpusat pada Tawakal Murni.

"Ya Allah, jangan biarkan Rina percaya pada logika kerugian, biarkan ia percaya pada janji-Mu, walaupun aku harus menghilang. Kuatkan hati Rina agar tidak menjual rumah ini. Jangan biarkan ia kesepian di tengah keramaian. Teguhkan keyakinannya pada Yang Maha Gaib."

Ia menyelesaikan doanya dan menunggu. Tidak ada keajaiban. Laut di depannya tetap dingin dan sunyi.

Ujian Tanpa Bukti Fisik

Bara menutup bukunya, menelan kekecewaan. Ia harus menghadapi kenyataan bahwa doanya adalah doa musafir: tanpa bukti fisik, tanpa janji. Ia harus beriman pada prosesnya, bukan hasilnya.

Bukan untuk diselamatkan, Bara. Untuk keikhlasan.

Sesaat setelah menutup buku, Bara merasakan kehangatan sebentar di tangan yang memegang buku itu. Kehangatan itu menjalar dengan cepat, menghangatkan telapak tangannya yang beku. Ia mencoba meyakinkan diri bahwa itu hanyalah suhu tubuhnya sendiri, namun kehangatan itu terlalu cepat menghilang.

Ia menatap laut, berharap ada perahu samar, tetapi hanya ada lautan lepas yang biru kelam dan dingin. Ia tahu ia harus segera mencari air tawar sebelum dehidrasi merenggutnya.

Panggilan Samar dan Godaan

Rina berada di dapur. Pacing di rumah terasa cepat, penuh angka dan kecemasan, kontras dengan meditasi Bara di pulau. Ia kelelahan total sambil menghitung sisa tabungan dan memilah tumpukan tagihan yang menumpuk.

“Bagaimana, Rina? Sudah kau hubungi bank? Sudah kau jual perhiasanmu?”

Bunda Ida hadir, mendesak Rina untuk mengambil tindakan 'waras' sebelum krisis semakin parah.

“Belum, Bu. Saya masih mencari solusi lain. Saya tidak mau menjualnya.”

Bunda Ida menekan meja dengan frustrasi. “Solusi apa lagi? Kau sudah lihat tagihan Arka, kan? Kau tidak bisa hidup dengan keyakinan buta, Rina. Bara sudah hilang, statusnya tidak jelas. Jual saja aset itu, atau kau akan kehilangan segalanya.”

Tiba-tiba, saat Bunda Ida menyebut kata 'kehilangan', Rina merasakan dorongan spiritual yang kuat. Itu adalah rasa panggilan yang menghangatkan, seolah ada suara tak terdengar yang membisikkan kata 'Tahan'. Rasa dingin yang ia rasakan saat ia pertama kali mendapat Gema "Tenang", kini diikuti dengan rasa hangat yang asing di punggungnya.

Rina menatap Bunda Ida dengan pandangan yang kosong. “Saya tidak akan menjualnya, Bu.”

“Kenapa? Kau yakin Bara akan pulang? Kau yakin dengan bisikan-bisikan gila yang kau dengar itu? Kau harus realistis!”

Godaan Martabat dan Penolakan Keras

Bunda Ida memanfaatkan keheningan Rina untuk memberikan solusi yang menguji martabat Rina.

“Dengar, Ibu tahu kau keras kepala. Ada teman ayahmu, Pak Jaka. Dia butuh asisten di kantornya dan bisa memberimu pinjaman tanpa bunga. Dia juga bisa mengurus statusmu dan masalahmu dengan Harjo,” kata Bunda Ida, menekan kata 'mengurus'.

Rina terdiam sejenak. Pak Jaka adalah pria yang baik, tetapi niat Bunda Ida terasa ambigu dan membawa konotasi godaan non-finansial.

Rina menggeleng keras, penolakannya eksplisit. “Aku tidak butuh diurus, Bu. Aku hanya butuh keyakinan, bukan uang kasihan. Bara adalah suamiku. Statusnya akan jelas saat ia pulang.”

“Oh, ya ampun, Rina! Kau sudah mulai gila! Itu uang yang menyelamatkan kita dari Harjo! Itu uang yang membuat Arka tenang!”

“Bukan uang, Bu. Ini martabat saya, dan martabat Bara. Saya bisa bekerja, saya bisa mencari uang, tanpa harus meminta kasihan atau diurus oleh pria lain.”

Penolakan keras Rina memicu konflik lebih lanjut dengan Bunda Ida, yang menuduh Rina menjadi gila dan terlalu memercayai “angin surga” karena panggilan samar yang ia rasakan.

“Baik. Kalau begitu, silakan kau hadapi tagihan itu sendiri. Jangan libatkan Ibu. Dan jangan biarkan Mala mendengar kegilaanmu!” kata Bunda Ida, berdiri dengan marah.

Rina berdiri di dapur yang kini terasa dingin setelah Bunda Ida meninggalkannya. Rasa hangat yang aneh di punggungnya perlahan menghilang, digantikan oleh kelelahan yang mematikan.

Ia berjalan ke kamar Arka, mencari tempat untuk bernapas. Ia memeluk Arka, mencari ketenangan yang hanya bisa diberikan oleh anaknya yang sunyi itu. Arka tenang, menyerap ketegangan Rina.

Memilih Keyakinan vs. Logika

Mala berdiri di pintu, menonton kelelahan ibunya. Wajah Mala menunjukkan kekhawatiran yang mendalam, mencerminkan luka inti bahwa ia merasa tidak didengar.

Ia harus memilih. Mempercayai logika Bunda Ida dan Herman (yang realistis, yang menyuruhnya menjual aset dan menerima bantuan Jaka) atau mempercayai panggilan samar yang baru ia rasakan, panggilan yang membuatnya takut dicap gila. Jika ia memilih yang kedua, ia akan menghadapi keruntuhan finansial dan sosial. Tetapi jika ia memilih logika, ia merasa mengkhianati Bara.

Ia menggenggam tangan Arka. Tangan Arka terasa dingin dan kecil.

“Arka,” bisik Rina. “Apa yang harus Ibu lakukan? Apakah Ayah baik-baik saja?”

Arka hanya memeluk baju Bara yang selalu ia bawa, dan menoleh ke sudut ruangan sejenak, seolah merasakan kehadiran spiritual yang tidak kasat mata.

Rina kembali ke ruang tamu, di mana Bunda Ida sedang merapikan tasnya, siap pulang.

“Kau yakin dengan keputusanmu, Rina? Kau akan menyesal. Ingat, status Bara tidak jelas secara hukum. Kau harus mengambil tindakan nyata. Jangan biarkan harapan buta menghancurkan masa depan anak-anakmu.”

Rina menatap lurus ke mata ibunya. “Saya yakin, Bu. Saya tidak akan menjual rumah ini, dan saya tidak akan mengambil pinjaman dari Pak Jaka. Saya akan bekerja. Saya akan berusaha sendiri.”

Bunda Ida menghela napas panjang, kekecewaan tergambar jelas di wajahnya. “Terserah. Tapi kalau kau mulai bercerita hal-hal yang tidak waras, aku tidak akan mendengarkanmu lagi.”

“Saya mengerti, Bu.”

Rina mengantar ibunya hingga pintu. Setelah Bunda Ida pergi, keheningan rumah terasa lebih berat, tetapi Rina merasakan sedikit kelegaan karena ia telah memilih jalannya.

Ia tidak lagi membicarakan tentang perasaan dan panggilan yang ia rasakan. Ia tidak mau lagi disebut gila oleh siapa pun. Ia harus menyimpan keyakinan yang tidak rasional itu untuk dirinya sendiri.

Rina berjalan ke kamar Arka dan melihat putranya. Arka, yang baru saja memeluk baju Ayahnya, kini menatap lurus ke sudut ruangan yang kosong, seolah membenarkan kata-kata Rina, tanpa bersuara. Matanya yang biasanya rewel, kini memancarkan ketenangan yang aneh.

1
Kartika Candrabuwana
bab 26 keren
Kartika Candrabuwana
bsb 25 keten
Kartika Candrabuwana
bab 24 keren😍
Kartika Candrabuwana
bab 23 keren😍👍
Kartika Candrabuwana
bab 22 ok👍
Tulisan_nic
Belum baca keseluruhan isi novel ini,tapi dari awal baca sudah mendapat banyak pelajaran tentang tawakal sesungguhnya,semangat berkarya Author.Aku kasih rate 5 biar semakin bersemangat /Rose//Rose//Rose//Rose//Rose/
Kartika Candrabuwana: terima kasih. 😍👍
total 1 replies
Kartika Candrabuwana
iya betul😍
Tulisan_nic
Definisi ikatan batin suami istri
Kartika Candrabuwana: betul sekali
total 1 replies
Tulisan_nic
Ketika ujian hidup terasa sangat sulit😭
Kartika Candrabuwana: anak autis sungguh ujian yang berat/Sob/
total 1 replies
Kartika Candrabuwana
bab 21 luar biasa.
Kartika Candrabuwana
istri yang tegar😍👍
Kartika Candrabuwana
kasihan sekali. semangat bara💪
Tulisan_nic
semakin seru,semangat Thor🫶
Kartika Candrabuwana: ok..semangat👍
total 1 replies
Tulisan_nic
semoga mustajab Do'a seorang Bapak
Kartika Candrabuwana: amiin👍
total 1 replies
Tulisan_nic
Titik pencapaian paling sakral
Kartika Candrabuwana: tawakal total
total 1 replies
Tulisan_nic
Benar adanya,setiap orang yang merasa ajal di depan mata yang terfikirkan adalah bagaimana ia memperlakukan orang-orang yang di cintainya. Semangat Bara...kau akan menemukan daratan!
Kartika Candrabuwana: saya coba menyentuh hati tiap pembaca🙏
total 1 replies
Kartika Candrabuwana
luar biasa teguh👍😍🤣
Kartika Candrabuwana
kalinat yang sangat menyenuh hati/Sob//Sob/😍👍
Kartika Candrabuwana
bab 20 ok👍
Kartika Candrabuwana
bab 19 ok
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!