NovelToon NovelToon
Reany

Reany

Status: sedang berlangsung
Genre:Identitas Tersembunyi / Wanita Karir / Menyembunyikan Identitas
Popularitas:4.4k
Nilai: 5
Nama Author: Aerishh Taher

Selama tujuh tahun, Reani mencintai Juna dalam diam...meski mereka sebenarnya sudah menikah.


Hubungan mereka disembunyikan rapi, seolah keberadaannya harus menjadi rahasia memalukan di mata dunia Juna.

Namun malam itu, di pesta ulang tahun Juna yang megah, Reani menyaksikan sesuatu yang mematahkan seluruh harapannya. Di panggung utama, di bawah cahaya gemerlap dan sorak tamu undangan, Juna berdiri dengan senyum yang paling tulus....untuk wanita lain.

Renata...
Cinta pertamanya juna
Dan di hadapan semua orang, Juna memperlakukan Renata seolah dialah satu-satunya yang layak berdiri di sampingnya.

Reani hanya bisa berdiri di antara keramaian, menyembunyikan air mata di balik senyum yang hancur.


Saat lampu pesta berkelip, ia membuat keputusan paling berani dalam hidupnya.

memutuskan tidak mencintai Juna lagi dan pergi.

Tapi siapa sangka, kepergiannya justru menjadi awal dari penyesalan panjang Juna... Bagaimana kelanjutan kisahnya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aerishh Taher, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 8 : Reany

Keheningan menegang, seolah chandelier kristal di atas kepala pun enggan bergoyang. Reani duduk dengan punggung kaku—seperti murid bandel dipanggil kepala sekolah, hanya saja kali ini kepala sekolahnya seorang Johan Wijaya yang bisa menghentikan ruang rapat besar hanya dengan mendengus.

Papa menatapnya lama.

Tatapan itu menusuk—lebih tajam daripada kata-katanya.

“Kamu ingat,” suara papa terdengar rendah, berat, “apa yang papa bilang sebelum kamu menikahi Juna?”

Reani membuka mulut, tapi hanya udara yang keluar. Ia menelan ludah, memaksa diri bicara.

“I… i… ingat, Pa.”

“Apa?” suara papa naik setingkat, bukan marah, tapi kecewa. Kecewa yang jauh lebih menyiksa.

Reani meremas ujung bajunya di pangkuan. “Papa bilang… hubungan itu nggak setara. Papa bilang aku harus pikir panjang.”

Papa mengangguk pelan, lalu mencondongkan badan.

“Kami di sini bukan mau mengatur hidupmu, Rea. Tapi lihat sekarang? Kamu tidak bisa mengendalikan suamimu. Dia membuat keluarga Wijaya malu.”

Nada kecewa itu membuat Reani mengecil, nyaris tenggelam di kursi besar itu.

“Suami yang kamu pilih itu,” lanjut papa, “tidak setara dengan keluarga kita. Kamu rela merendahkan diri, masuk ke dunianya yang serba terbatas. Memperjuangkan perusahaan kecil itu… seakan itu cinta. Kamu lupa siapa dirimu—kamu anak dari Johan Wijaya.”

Reani tidak menjawab.

Kata-kata papa mengalir deras, menohok satu per satu tempat paling rapuh dalam dirinya.

Mama menghela napas pelan, memandang putrinya dengan tatapan lembut yang disembunyikan di balik elegansi dingin.

Aunty Cassy duduk lebih tegak, penuh atensi.

Doroti bahkan tidak berani membuka mulut.

Reani memejamkan mata. Satu kalimat keluar nyaris seperti bisikan.

“Maafkan Rea, Pa… Seharusnya Rea nggak memaksa menikahi pria miskin itu.”

Hening.

Hening yang menggulung dan jatuh menimpa seluruh ruangan.

Papa menyandarkan punggungnya. “Untung saja papa dan kamu sepakat… untuk tidak membiarkan Juna mengenal keluarga kita yang sebenarnya.”

Reani mengangkat wajahnya perlahan.

Tatapan papa tidak lunak—tetapi jujur.

“Sejak awal,” lanjut papa, “papa sudah bisa menilai. Suami kamu itu memang tidak bisa dipercaya. Tapi yang papa tidak habis pikir…” pandangannya menusuk, “…kenapa kamu baru sadar setelah tujuh tahun?”

Satu kata menggantung di udara:

Tujuh tahun.

Reani menggigit bibirnya, sampai terasa asin. Ia menatap lantai marmer yang memantulkan bayangan dirinya sendiri—berantakan, lelah, dan bodoh.

Tidak ada satu pun dari keluarga di ruangan itu yang berbicara. Bahkan Doroti diam, jemarinya berhenti memainkan rambut.

Papa bersandar ke depan lagi.

“Jadi apa rencanamu?”

Reani mengangkat wajah. Ada api kecil di matanya—dingin, terukur, dan jauh lebih tajam dari biasanya.

“Rea… akan mengambil semua hak Rea.”

Napasnya berat tapi mantap.

“Dan menghancurkan apa pun yang Juna miliki. Apa Rea salah, Pa? Semua ini… perusahaan, proyek, koneksi… Rea yang mengerjakan. Dia yang sombong, kemana-mana menggembar-gemborkan seakan dialah yang bekerja keras.”

Papa terdiam sesaat.

Lalu, untuk pertama kalinya pagi itu, ia mengangguk mantap.

“Kamu sudah dewasa. Papa percaya kamu mampu menangani semua itu.”

Reani menunduk dalam-dalam. “Pa…” suaranya tercekat. “Apa… apa papa tahu? Kalau Rea dan Juna… nggak pernah punya surat nikah asli.”

Ruangan membeku.

Mama memandang papa dengan kaget kecil yang sangat halus—nyaris tidak terlihat.

Paman Aryan berhenti menggoyang kakinya.

Aunty Cassy menegakkan punggung.

Doroti membuka mulut sedikit.

Papa memejamkan mata sejenak, lalu berkata dengan tenang:

“Papa tahu. Dari awal.”

Reani terlonjak. “Pa! Kenapa papa nggak bilang?! Kenapa papa diam aja?!”

Papa menjawab dengan suara pelan namun tajam—seperti seseorang yang sudah memprediksi akhir cerita sebelum semua orang membacanya.

“Apa kamu akan percaya kata-kata papa waktu itu? Rea… kamu terlalu mencintainya. Terlalu buta. Saat papa bilang dia tidak cocok untukmu, apa jawabanmu?”

Reani terdiam.

Ia tahu betul jawabannya.

Kami saling mencintai, Pa.

Papa melanjutkan, tatapannya menusuk tanpa ampun.

“Kamu bilang kamu yang paling tahu tentang dia. Kamu bilang cinta kalian kuat. Tapi papa lihat jelas… Juna hanya memilihmu karena dia takut sendiri setelah ditinggalkan Renata tujuh tahun lalu.”

Nama itu—Renata—jatuh seperti palu.

Reani membeku.

Jantungnya serasa berhenti berdetak.

Semua orang di ruangan itu menahan napas.

Bahkan Doroti yang julid pun menunduk sedikit, seolah itu terlalu kejam untuk disaksikan.

Papa bersandar. Suaranya melembut, tapi tetap dingin.

“Banyak hal yang kamu tidak tahu tentang suamimu itu, Rea. Dan sudah waktunya kamu tahu. Jangan lupa temui kakamu Breinzo… setelah dia pulang dari luar negeri.”

Reani mengangguk pelan, seperti anak kecil yang baru disadarkan bahwa dunia tidak seindah dongeng yang ia percaya.

“Ya… Pa.”

Suasana ruang keluarga yang tadi tegang perlahan berubah seperti bara yang disentuh angin—masih panas, tapi mulai bergerak ke arah lain.

Mama—Sisilia Brata—yang sejak tadi diam dengan elegansinya, akhirnya membuka suara. Nada lembutnya memotong hening, tapi dengan ketegasan yang hanya dimiliki wanita yang terbiasa memimpin ruang.

“Pa,” ujarnya menatap Johan, “papa nggak pernah bilang sedikit pun tentang Rea ke mama.”

Johan mendelik sekilas, lalu menjawab seadanya, “Sisi, aku sengaja tidak memberitahumu. Karena kamu pasti akan membuat keributan dengan orang miskin itu.”

Reani menutup mulut menahan tawa kepahitan.

Mama mendengus keras.

“Hah… Sudahlah! Papa selalu saja seperti itu—menganggapku orang yang suka keributan.”

Dan seolah Tuhan sengaja melempar bensin ke api kecil…

Doroti berludah kalimat dari mulut tajamnya.

“Ya kan emang, tan.”

Ruangan itu membeku sepersekian detik.

Reani nyaris meledak tertawa, tapi menahannya karena mama sudah menatap Doroti seperti macan betina hendak menerkam.

“Cassy!” suara Sisilia naik setingkat. “Kendalikan anakmu!”

Aunty Cassy mengangkat alis, seakan tak terpengaruh. “Ya memang kenyataannya kakak ipar pemarah dan suka ribut. Ini buktinya sekarang.”

Mama mendecak panjang.

Tangan Reani otomatis menutup mulut. Ini terlalu lucu untuk sebuah pertemuan yang seharusnya tegang.

Lalu Aryan—si paman bungsu yang jarang bicara—akhirnya bersuara.

“Sudahlah, Cas! Doroti!” katanya sambil mengibas tangan ke udara. “Papa sudah bilang, jangan terlalu jujur!”

Reani benar-benar kewalahan menahan tawa kali ini.

Mulutnya sampai bergetar.

Doroti menghentak kaki, sebal, tapi diam.

Mama menarik napas panjang, menatap putrinya yang masih berusaha menjaga ekspresi.

Kemudian, dengan gerakan yang lembut namun penuh otoritas, ia meraih tangan Reani.

“Rea, anak mama…”

Tatapan matanya berubah lembut—beda jauh dari sikapnya terhadap yang lain.

“Kamu pasti lapar, kan sayang? Dari tadi mama lihat kamu pucat. Yuk, kita makan. Nggak usah pedulikan mereka,” katanya sambil melirik tajam satu keluarga itu. “Biarkan mereka ngoceh sendiri.”

Papa hanya menghela napas seperti sudah terbiasa.

Aunty Cassy mencibir halus.

Doroti memutar bola mata.

Aryan cekikikan kecil, menahan tawa.

Sedangkan Reani…

ia berdiri mengikuti mama, sambil menahan senyum geli yang hampir meledak.

Untuk pertama kalinya hari itu, ia merasa sedikit lebih ringan—meskipun badai besar sedang menunggu di luar sana.

bersambung....

1
Noor hidayati
wah saingan juna ga kaleng kaleng
Noor hidayati
ayahnya juna tinggal diluar kota kan,waktu ayahnya meninggal juna balik kampung,ibunya juna itu tinggal dikampung juga atau dikota sama dengan juna,ibunya juna kok bisa ikut campur tentang perusahaan dan gayanya bak sosialita,aku kira ibunya juna tinggal dikampung dan hidup bersahaja
drpiupou: balik Lampung bukan kampung beneran kak, maksudnya kita kecil gitu.
ibunya Juna itu sok kaya kak 🤣
total 1 replies
Noor hidayati
mereka berdua,juna dan renata belum mendapatkan syok terapi,mungkin kalau juna sudah tahu reani anak konglomerat dia akan berbalik mengejar reani dan meninggalkan renata
drpiupou: bener kak
total 1 replies
Noor hidayati
lanjuuuuuuuut
Aulia
rekomended
drpiupou
🌹🕊️🕊️👍👍👍👍
Noor hidayati
apa rambut yang sudah disanggul bisa disibak kan thor🙏🙏
drpiupou: makasih reader, udah diperbaiki/Smile/
total 2 replies
Noor hidayati
juna berarti ga kenal keluarga reani
drpiupou: bener kak, nanti akan ada di eps selanjutnya.
total 2 replies
Noor hidayati
definisi orang tidak tahu diri banget,ditolong malah menggigit orang yang menolongnya,juna dan renata siap siap saja kehancuran sudah didepan mata
Noor hidayati
lanjuuuuuuut
Noor hidayati
kok belum up juga
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!