Kalian pernah nggak sih suka sama sahabat kalian? Yah kali ini aku sadar kalau aku suka sama sahabat dari kecil ku. Dari umur 3 tahun hingga sekarang aku umur 23 tahun baru sadar kalau aku suka bahkan cinta sama dia. Namun bagaimana mungkin aku menyatakan perasaan ini? Kami itu sahabatan. Bagaimana aku menaruh hati dengannya/ bahkan dia juga sudah punya pacar. Pacar yang selalu dia bangga-banggakan. Aku bingung bagaimana harus mengungkapkannya!
Hai namaku Dion! Umur ku saat ini 23 tahun, aku baru saja lulus kuliah. Aku suka banget dengan kedisiplinan namun aku mendapatkan sahabat yang selalu lalai terhadap waktu dan bahkan tugasnya. Bagaimana cerita kami? Lest go
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayinos SIANIPAR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
JADI MENTORNYA
Setelah cukup lama kami duduk memandangi langit yang mulai gelap, tiba-tiba Reta berdehem pelan, lalu menoleh padaku dengan ekspresi ragu-ragu. Ia tampak sedang mempertimbangkan sesuatu.
“Kalau misalnya kamu jadi mentorku, terus aku bayar kamu sejumlah uang jajan yang biasa mamamu kasih, gimana?” tanyanya berharap aku menerima tawaran itu.
Aku menatapnya sejenak, memikirkan ucapan barunya itu. Aku tidak langsung menjawab, mencoba mempertimbangkan segalanya.
“Aku bingung bagi waktunya, Ret. Jujur, saat ini aku juga lagi mikir buat bantu Mama cari uang,” jawabku setelah merenung beberapa detik. Aku memang sedang memikirkan banyak hal, dan belajar bersama Reta tentu bukan hal sepele.
Reta mengangguk pelan, lalu menatapku penuh semangat. “Kalau gitu, gimana kalau setiap pulang sekolah kamu langsung ke apartemenku aja? Kita belajar sekitar lima jam per hari. Kita kan pulang sekolah jam dua siang, jadi langsung belajar, lalu kamu pulang jam tujuh malam. Gimana?” tawarnya, mencoba menyusun kesepakatan.
Aku mulai tertarik. Tawaran itu cukup masuk akal, dan sebenarnya, aku memang butuh penghasilan tambahan. Ditambah, setelah melihat semangatnya, rasanya aku ingin membantunya lebih jauh.
“Oke, kedengarannya masuk akal. Tapi, uang jajan kamu biasanya sebulan berapa?” tanyanya, kali ini lebih serius.
“Sepuluh juta,” jawabku jujur. Aku menyebut jumlah itu tanpa berpikir panjang, karena memang itulah nominal bulanan yang biasa kudapat dari Mama.
Tanpa berkata apa-apa, Reta bangkit dan masuk ke dalam apartemennya. Beberapa menit kemudian ia kembali membawa sebuah amplop berwarna cokelat, lalu menyerahkannya kepadaku.
“Aku akan bayar kamu lima belas juta per bulan. Ini untuk bulan pertama,” ucapnya, tersenyum ringan.
Aku terpaku sesaat. Amplop itu berat. Jujur, aku tak menyangka dia akan menawarkan bayaran sebesar itu. Dalam hati aku merasa malu. Siang tadi aku sempat menganggap dia aneh dan menyebalkan. Padahal, kenyataannya dia bisa dibilang lebih ‘tajir’ dari aku.
Aku mengambil amplop itu dan mengangguk kecil. “Terima kasih, Ret. Aku… nggak nyangka.”
“Tenang aja, Dion. Aku tahu nilaimu. Aku tahu kamu bisa bantu aku,” jawabnya mantap. Mendengar itu, hatiku sedikit menghangat.
“Kalau gitu, kita mulai belajar dari sekarang aja, gimana? Besok kan ada pelajaran kimia,” ujarku, mencoba berinisiatif.
Reta langsung mengangguk setuju. Kami masuk ke ruang belajarnya yang cukup nyaman. Ia menyiapkan buku catatan dan lembar-lembar soal yang tampaknya belum ia pahami.
Ternyata, mengajarinya tidak sesulit yang kubayangkan. Reta bukan seperti Voni yang cepat menyerah. Ia lebih tekun, dan daya ingatnya juga cukup kuat. Ia hanya butuh penjelasan secara terstruktur dan disesuaikan dengan cara belajarnya sendiri. Dalam waktu satu jam saja, ia sudah mampu menjawab soal-soal dasar yang sebelumnya ia anggap sulit.
Setelah satu jam berlalu, Reta bangkit dari tempat duduknya. “Yon, kamu suka jus ceri nggak?” tanyanya tiba-tiba.
Aku menoleh sambil tersenyum. “Aku suka, tapi kalau lagi belajar aku jarang minum itu,” jawabku lembut.
Ia menghentikan langkahnya, tampak bingung. “Emang kenapa, Yon? Nggak boleh, ya?”
Aku tertawa kecil, lalu mulai menjelaskan. “Sebenarnya boleh saja. Tapi, kalau kamu niat belajar lama atau bahkan begadang, aku saranin jangan minum jus ceri. Jus ceri, terutama yang asam, mengandung triptofan dan melatonin. Dua zat itu bisa membuatmu mengantuk karena membantu mengatur siklus tidur. Jadi, bukannya makin semangat belajar, kamu malah bisa ketiduran.”
Reta terdiam sejenak, lalu matanya melebar. “Ooooh... pantesan aja aku sering tepar abis minum jus itu! Hahaha!” serunya tertawa.
Aku ikut tertawa kecil melihat reaksinya yang polos.
“Terus, minuman yang cocok untuk belajar itu apa dong?” tanyanya lagi dengan wajah ingin tahu.
Aku menatapnya sejenak, mencoba menganalisis dari raut wajah dan tubuhnya. “Entah kenapa aku melihat kamu kayak kurang darah. Jadi, menurutku kamu bisa minum jus pisang atau jus bit.”
“Kenapa jus itu?” tanyanya lagi.
Aku menarik napas, lalu mulai menjelaskan, “Jus pisang mengandung kalium dan asam folat yang bisa meningkatkan tekanan darah serta menjaga kestabilan detak jantung. Selain itu, vitamin B6 di dalamnya juga bagus untuk mengontrol tekanan darah. Kalau bit, itu juga bagus. Bit kaya akan zat besi dan nutrisi lainnya yang bantu menjaga fungsi jantung dan ginjal. Cocok banget buat kamu.”
Reta tampak terkesan. “Ehh... kok kamu tahu sih sebanyak itu?”
“Aku baca dan pernah ikut pelatihan gizi dasar waktu SMP dulu. Terus, aku juga tertarik soal makanan yang berdampak ke konsentrasi. Apalagi aku sering bantu Mama jualan camilan sehat.”
“Kalau kamu sendiri biasanya minum jus apa, Yon?” tanyanya lagi, makin penasaran.
Aku tersenyum. “Aku suka jus beri. Bisa stroberi, blueberry, atau raspberry. Rasanya segar dan bikin otak fresh.”
Tanpa menunggu lama, Reta langsung menuju dapur kecil di apartemennya. Ia mulai mengeluarkan beberapa buah dari kulkas. Tak lama kemudian, aroma buah segar mulai tercium dari blender.
Aku memperhatikannya diam-diam. Ternyata, dia mandiri juga. Mungkin selama ini dia hanya kekurangan bimbingan, bukan semata-mata malas atau bodoh seperti yang dikira orang tuanya. Aku jadi berpikir, kalau saja mamanya tahu bagaimana kerasnya usaha Reta, mungkin ia akan sedikit lebih lembut dalam menuntut.
“Ini jusnya,” katanya sambil menyodorkan gelas ke arahku.
“Wah, segar banget baunya. Makasih, Ret.”
Kami kembali duduk dan melanjutkan sesi belajar. Kali ini, suasananya jadi lebih cair. Sesekali kami tertawa saat membahas soal konyol, atau saat Reta mulai berandai-andai soal masa depannya.
“Kadang aku pengin kuliah psikologi,” katanya tiba-tiba, “Tapi Mama pasti marah.”
“Kenapa pengin psikologi?”
“Soalnya aku pengin tahu kenapa orang bisa sejahat itu, bahkan ke anak sendiri. Dan... aku pengin bantu orang-orang yang terluka, kayak aku.”
Aku terdiam. Kata-katanya terlalu jujur, terlalu tulus. Dan tiba-tiba aku merasa ada yang menampar sisi dalam hatiku.
“Kalau kamu sungguh-sungguh pengin itu, kamu harus kejar. Buktikan ke diri kamu dulu, baru ke orang tua,” ucapku sambil menatap matanya. “Kadang kita memang harus jadi versi terbaik dari diri sendiri, bukan untuk diakui orang lain, tapi supaya kita tahu kita layak bahagia.”
Reta tersenyum. “Gue suka kalau kamu ngomong kayak gitu, Dion. Bikin semangat.”
Hari mulai larut. Jam menunjukkan hampir pukul tujuh malam. Kami menutup buku dan membereskan semuanya.
“Sampai ketemu besok ya, mentor,” ucap Reta sambil tersenyum.
Aku tertawa kecil. “Siap, murid.”
Saat aku berjalan meninggalkan apartemen Reta, aku merasa sesuatu dalam diriku berubah. Aku tidak hanya menemukan murid baru, tapi juga seseorang yang mungkin bisa membuat hari-hariku lebih berarti.
Dan anehnya… aku tak merasa canggung lagi dengan semua itu.