"Bang Akbar, aku hamil!" ucap Dea di sambungan telepon beberapa Minggu lalu.
Setelah hari pengakuan itu, Akbar menghilang bagai di telan bumi. Hingga Dea harus datang ke kesatuan kekasihnya untuk meminta pertanggungjawaban.
Bukannya mendapatkan perlindungan, Dea malah mendapatkan hal yang kurang menyenangkan.
"Kalau memang kamu perempuan baik-baik, sudah pasti tidak akan hamil di luar nikah, mba Dea," ucap Devan dengan nada mengejek.
Devan adalah Komandan Batalion di mana Akbar berdinas.
Semenjak itu, Kata-kata pedas Devan selalu terngiang di telinga Dea dan menjadi tamparan keras baginya. Kini ia percaya bahwa tidak ada cinta yang benar-benar menjadikannya 'rumah', ia hanyalah sebuah 'produk' yang harus diperbaiki.
Siapa sangka, orang yang pernah melontarkan hinaan dengan kata-kata pedas, kini sangat bergantung padanya. Devan terus mengejar cinta Dealova.
Akankah Dealova menerima cinta Devan dan hidup bahagia?
Ikuti perjalanan Cinta Dealova dan Devan hanya di NovelToon.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aksara_dee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8 : Barista Kecil
Serangan rindu di pagi hari.
Diantara kesadaran yang belum sempurna, Devan duduk bersandar di kepala ranjang. Hal pertama yang sangat ingin ia lihat adalah layar ponsel. Seketika ia menepuk kening, handphonenya kehabisan daya. Ia bergerak menyingkirkan selimut yang semalam memeluknya dengan hangat, melangkah keluar kamar lalu mengambil charger.
Mulai hari itu, disetiap pembuka harinya... Ada 'dunia baru' yang ingin ia singgahi, ingin ia sapa dengan perasaan merah jambu.
Davin naik ke lantai tiga rumahnya untuk melakukan gym, rutinitas yang tidak pernah ia lewatkan. Sesekali matanya melirik ke arah layar ponsel yang sejak setengah jam lalu masih saja gelap dan sepi notifikasi.
Setelah dirasa cukup berkeringat, Ia meletakkan barbel berukuran 50 kg di besi penyanggah, lalu duduk di matras gym dan kembali menatap layar ponselnya. Memeriksa pengaturan, mana tau ia lupa membuat ponselnya dalam keadaan mode pesawat, juga memeriksa bar internet yang seringkali tidak stabil saat di lantai tiga. Tidak ada masalah. Kembali ia restart ponselnya untuk memastikan bilamana ada yang terlewat.
Ia mendengus kesal karena ponselnya dalam keadaan yang sama, tanpa pesan, tanpa notifikasi apapun. Di ponsel itu hanya ada beberapa nomer yang ia simpan. Nomer keluarga papanya, nomer mama kandungnya dan nomer Dealova Salsabila yang dia beri nama Barista Kecil.
"Dea," gumam Devan sambil mengecup photo yang sempat ia ambil secara candid.
Dea, nama yang terucap bibir Devan terdiri dari tiga hurup tapi telah membentuk menjadi sebuah rindu. Rindu yang membuncah bagai debur ombak kehilangan arah, menerjang tanpa ampun di dinding jiwanya.
Ia memeriksa kembali kolom chat yang bernama Barista Kecil. Chat semalam sudah terhapus. Perasaan gelisah memenuhi dadanya, Devan menyandarkan kepalanya di dinding. Tangan kanannya meremas ponsel lain untuk menghubungi Yusron.
"Apa kegiatan dia hari ini Yus?" tanya Devan setelah panggilan tersambung.
"Jan—! Ini jam berapa, bro! Anak buahku aja belum pada bangun, aku jadi penasaran ada apa dengan kamu, Dev?!" sungut Yusron.
"Aku sudah bilang 24 jam, apa masih kurang jelas?!" protes Devan.
"Manusiawi lah sedikit, bro! Semalam anak buahku menunggu gadis itu masuk kamar hotel sampe jam 1 malam, ini baru jam 6 kurang. Jam 7 pagi aku akan kabari lagi!"
"Tidak perlu! Aku ganti detektif lain saja!" jawabnya penuh otoritas dan sedikit merajuk.
"Dev! Kita sahabat bukan? Setega itu kamu padaku. Baiklah... Baiklah, untuk kamu apa sih yang engga!"
Panggilan di tutup Devan secara sepihak. Ia menuruni anak tangga dengan wajah kusut. "Kenapa aku jadi seperti ini?" gumamnya, desahan kasar lolos dari bibirnya.
"Papaaa... " teriak Zivanna, putri Devan. Gadis kecil berumur lima tahun itu berlari menyambutnya di bawah tangga.
"Eh, anak papa sudah rapih. Mau sekolah sayang?" tanya Devan. Wajah kusutnya kini berubah cerah melihat putrinya sudah selesai berdandan.
"Papa gendong!" pinta Zie.
"Papa masih bau keringat, papa mandi dulu ya... " Zivanna memanyunkan bibirnya ke depan hingga membentuk kerucut.
"Sebentar saja, boleh?" pinta Devan, wajah memohon. "Mba Siti suapin Zie dulu nanti selesai mandi baru papa yang suapin, oke?!" bujuk Devan.
"Zie tunggu papa selesai mandi, baru mau makan. Zie ngga mau di suapin mba Siti terus!" Zie mengultimatum papanya, sebuah protes kecil yang tidak bisa Devan abaikan. Devan mengangguk patuh demi senyum cerah di wajah putrinya.
Hanya butuh waktu sepuluh menit, Devan sudah di depan meja makan dengan memakai pakaian dinas. Ia tersenyum saat mendapati putrinya sudah menyiapkan minuman untuknya.
"Papa, kopi ini Zie buatkan untuk Papa. Mba Siti yang bantu tuangkan air panasnya." Celoteh Zie dengan ceria, meski cara mengaduknya masih berantakan, banyak serbuk kopi yang mengotori bibir gelas, hati Devan menghangat dengan perhatian dan usaha kecil putri satu-satunya.
"Anak pinter... Hmmm, enak kopi buatan Zie! Terima kasih sayang papa" puji Devan dengan tulus.
"Kembali kasih papa," seru Zie menampilkan deretan gigi atasnya yang sudah tanggal dua buah.
"Apa menu sarapan Zie hari ini?" tanya Devan melirik Siti.
"Zie minta dibuatkan nasi goreng, Tuan. Tapi karena buatan saya tidak enak, jadi Zie minta ganti cereal," jawab Siti.
Devan melirik wajah putrinya yang sedang menatapnya dengan tatapan berharap, kelopak mata Zie berkedip dengan lucu. Devan melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya. "Papa buatin nasi goreng untuk bekal, tapi Zie makan cereal sendiri ya, mau?" tanya Devan.
"Mauuu... Tidak ada nasi goreng terenak selain buatan papa!" seru Zivanna.
"Siapkan nasinya, Sit." Devan melangkah ke arah dapur.
Dengan cepat Devan membuatkan nasi goreng spesial untuk putri tercinta, setelahnya ia tata dengan cantik di Omie lunch box.
"Papa, hari ini bekal lunch milik Evelyn akan kalah saing denganku."
"Kenapa begitu, sayang?"
"Karena papa menghias bekal lunch ku dengan penuh cinta," puji Zie.
"Emh, papa jadi tersanjung. Kalau begitu besok papa buatkan lagi bekal untuk Zie."
"Aku ingin bekal sushi seperti miliki Eve, Papa. Mama Eve setiap hari selalu mengganti menu untuk bekalnya," pinta Zie sambil menggembungkan pipinya.
"Hmm, sushi... Akan papa coba!" janji Devan.
"Siitiiii... Sittiiii... !" teriak Kasandra dari lantai dua.
Siti lari tergopoh-gopoh menemui Nyonya rumahnya yang tidak ramah, "Iya nyonya."
"Buatin gue air jahe, kepala gue kleyengan nih!" perintahnya dengan nada tinggi sambil berjalan terhuyung menuruni anak tangga.
Devan menggelengkan kepalanya dengan wajah mengeras, setiap pulang dalam keadaan mabuk, Kasandra selalu memarahi pegawainya tidak terkecuali pengemudi dari militer yang melayani Devan sebagai pimpinan kesatuan.
"Devan, gue minta anak buah lo dua orang buat bantuin gue di Jakarta besok. Juwita ngadain acara arisan di Kepulauan seribu," pinta Kasandra dengan gayanya yang selalu seenaknya.
"Tidak bisa! Itu bukan acara kedinasan, anak buahku bukan pesuruh kamu, Ca. Mereka bertugas untuk di kantor bukan untuk urusan pribadi atasan," tolak Devan, nadanya tegas tidak ingin dibantah.
Bruaak!!
"Pelit banget sih kamu! Banyak kok perwira di bawah kamu bisa nyuruh bawahannya untuk urusan pribadi!" bentak Kasandra.
"Papa... " Zivanna langsung merosot dari tempat duduknya dan berlari memeluk kaki Devan.
"Kamu lihat! Anakmu sampai ketakutan, Ca! Baiknya kamu mandi dulu baru turun ke lantai satu, bau mu sudah seperti gelandangan yang nggak mandi-mandi!" Devan balas membentak Kasandra sambil berlalu meninggal ruang makan bersama Zivanna dalam gendongannya.
"Siti, ambilkan tas kerja saya. Dan saya tunggu kamu di mobil."
"Tapi, Tuan... Nyonya... " Siti menoleh ke kiri dan ke kanan ke arah kedua majikannya.
"Gaji kamu setiap bulan saya yang bayar, bukan dia! kamu tidak perlu takut dengan dia!" perintah Devan.
"Jan— Kamu Van! Siitiiii... Air jahe gue mana!" teriak Kasandra lagi.
Siti segera menyiapkan satu cangkir teh jahe dengan terburu-buru, lalu berlari keluar rumah untuk mengantar Zivanna ke Kindergarten Internasional School yang lokasinya satu arah dengan kantor Devan.
Praangg...
Suara benda pecah belah di lempar dari dalam rumah. Devan meremas kemudinya dengan erat, sifat Kasandra yang seenaknya membuat Devan selalu kesal dan muak setiap hari. Dengan wajah mengeras dan tatapan lurus jauh ke depan dia membawa kendaraannya melaju dengan kecepatan tinggi meninggalkan kediamannya.
Di backstage
Di ujung pagi yang tidak benar-benar selesai, Dea sudah rapih dengan dandanan yang cetar dan baju tarian tradisional khas dari Jogjakarta. Duduknya terlihat gelisah dengan sesekali melirik layar ponselnya yang senyap, hatinya berbisik.
'siapa yang aku harapkan? Apa terlalu naif jika aku mengharapkan sapaan seperti semalam?'
Dea menghela napas dengan berat. Ia menaikan wajahnya menatap langit-langit ruang ganti. Dia belum pernah segelisah ini sebelumnya. Rasa gelisah dan penuh harap yang mampu menggantikan perasaan takut akan trauma yang beberapa hari ini membelenggu jiwanya.
Dea membuka lagi kolom chat dengan nama Mr. Macchiato, ia membaca ulang sapaan di awal percakapan melalui pesan singkat. Ujung jarinya menyentuh photo profil yang dipakai Mr. Macchiato. Kedua sudut bibirnya tertarik ke atas, sebuah senyuman manis mengembang dengan indahnya.
"Dia memakai hasil karyaku di photo profilnya," gumam Dea.
Sebuah foto secangkir kopi dengan art latte bergambar wajah seorang ibu. "Jika Tuhan mempertemukan kita kembali, aku akan menggambar wajah mamamu di sebuah kanvas dengan banyak warna dan lebih baik lagi."
Tanpa sengaja Dea menyentuh emoticon berbentuk wajah bulat dengan warna merah. Simbol marah. Dan, terkirim.
Kok Kasandra jadi side character di cerita cintanya Devan sama wallpaper 😭
kasihan juga pada Kasandra, tapi mau gimana lagi? udah telat.
semoga zie tidak jadi korban