Ratusan tahun lalu, umat manusia hampir punah dalam peperangan dahsyat melawan makhluk asing yang disebut Invader—penghancur dunia yang datang dari langit dengan satu tujuan: merebut Bumi.
Dalam kegelapan itu, lahirlah para High Human, manusia terpilih yang diinkarnasi oleh para dewa, diberikan kekuatan luar biasa untuk melawan ancaman tersebut. Namun kekuatan itu bukan tanpa risiko, dan perang abadi itu terus bergulir di balik bayang-bayang sejarah.
Kini, saat dunia kembali terancam, legenda lama itu mulai terbangun. Para High Human muncul kembali, membawa rahasia dan kekuatan yang bisa menyelamatkan atau menghancurkan segalanya.
Apakah manusia siap menghadapi ancaman yang akan datang kembali?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kyukasho, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 7 Remake: Runtuh
Mentari pagi baru saja muncul dari balik perbukitan, memantulkan cahaya keemasan ke atas dedaunan hutan di sebelah timur. Embun masih menggantung di ujung-ujung rumput dan suara burung terdengar sayup di kejauhan. Rumah keluarga Pixis berdiri tenang di antara pohon-pohon tinggi, jauh dari keramaian Desa Rivera. Itulah yang membuat tempat ini terasa begitu damai—atau seharusnya.
Aria duduk di beranda rumah, mengasah ujung panah kayu yang baru ia buat semalam. Udara pagi masih sejuk, dan sinar matahari menyentuh kulitnya yang hangat. Namun, di dalam dadanya, ada kegelisahan yang tidak bisa ia jelaskan.
Sejak beberapa hari terakhir, ia merasa... Aneh.
Bukan karena cuaca, bukan karena latihan membidiknya yang makin sempurna—tapi karena Sho.
Aria menatap ke arah desa, walau dari tempat ini bangunan-bangunan Rivera nyaris tak terlihat. Hanya asap dapur pagi hari yang mengepul dari kejauhan. Biasanya, asap itu memberi ketenangan.
Tapi pagi ini... Ada yang salah.
BOOOOM!
Getaran merambat hingga ke lantai rumah. Suara ledakan mengguncang bumi, disusul pekikan warga dari kejauhan yang bahkan terdengar sampai ke dalam hutan.
Jantung Aria mencelat. Ia menjatuhkan sendoknya.
“Sho!” gumamnya, seolah nama itu adalah satu-satunya hal yang menempel di pikirannya sekarang.
Tanpa pikir panjang, ia berlari ke pintu dan hendak membukanya—namun tangan besar dan kuat sudah lebih dulu mengunci pegangan pintu dari sisi lain.
Ayahnya berdiri di sana.
Matanya tajam. Sorotnya dingin. Tapi bukan karena marah—melainkan karena takut.
“Kau tidak boleh keluar.”
“Aku harus ke desa! Aku harus pastikan Sho baik-baik saja! Ayah mendengar ledakan itu, kan!?”
“Justru karena itu.” Suara Ayahnya berat. “Kau tidak lihat asap itu? Itu bukan ledakan dapur. Itu serangan, Aria. Kita tidak tahu siapa—atau apa—yang datang. Tapi satu hal pasti... Itu bukan urusanmu.”
“Bukan urusanku!? Mereka bisa membunuh orang-orang! Ayah ingin aku hanya duduk diam dan menunggu kabar kalau teman satu-satunya yang kumiliki mati?!”
“Kau masih enam belas tahun! Dan hanya membawa busur mainan!” Ayahnya menggertakkan gigi. “Kalau mereka adalah makhluk yang dulu... Bahkan prajurit dengan zirah penuh pun takkan bisa kembali hidup-hidup. Aku tidak akan membiarkan anakku jadi abu di jalanan Rivera!”
Aria terdiam sejenak. Bahunya naik turun, napasnya berat, wajahnya merah karena amarah. Tapi matanya—matanya tak pernah goyah.
“Kalau kau benar-benar takut kehilanganku, kenapa kau tidak ikut turun ke desa bersamaku?” katanya pelan.
Ayahnya membeku. Tak ada jawaban.
“Karena kau pun takut...” Aria menambahkan, suaranya rendah namun tajam. “Tapi aku... Aku tidak bisa tinggal diam.”
Tanpa peringatan, ia mundur dua langkah lalu berlari menabrak ayahnya dari samping. Tapi bukan untuk menyerang—melainkan untuk mengecoh.
Ayahnya mencoba menangkapnya, tapi Aria sudah lebih dulu melompat ke atas meja kayu, berputar ke sisi lain ruangan, lalu menyelinap keluar dari jendela terbuka seperti seekor kucing liar yang tak bisa dijinakkan.
“ARIA! JANGAN!”
Suara ayahnya menggema di belakang. Tapi Aria tak berhenti. Kakinya menapaki tanah hutan dengan ringan. Nafasnya cepat, dan matanya tak pernah lepas dari arah asap yang menjulang dari desa.
Dedaunan mencambuk kulitnya saat ia melewati semak. Sepatu botnya menginjak tanah basah, meluncur melewati akar-akar pepohonan yang menjulur liar. Dia hafal jalur ini, terlalu sering berburu bersama ayahnya sejak kecil.
Namun kini... Bukan binatang buruan yang menantinya.
Di dalam hatinya, satu suara terus bergema:
Sho ada di sana.
Aku harus temukan dia.
Apa pun risikonya.
---
Asap membumbung di udara, membawa aroma kayu terbakar, tanah gosong, dan ketakutan.
Aria terengah-engah ketika akhirnya keluar dari hutan dan tiba di pinggiran desa Rivera.
Desanya... Terbakar.
Matanya membelalak saat melihat jalan-jalan penuh reruntuhan, api menjilat dinding-dinding rumah, dan langit pagi yang biasanya cerah kini tertutup asap kelabu. Suara jeritan warga bercampur dengan raungan Invader yang menghantam tanah, menebas, membakar, menghancurkan tanpa ampun.
Tapi hanya satu hal yang membuat jantung Aria hampir berhenti berdetak—Toko bunga Sho.
Atau lebih tepatnya, rangka kayu hitam dan puing hangus dari rumah dan toko bunga milik Sho.
“Sho...” desisnya, lemah.
Kakinya bergerak sebelum pikirannya sempat memproses. Ia melompat melewati reruntuhan, menyingkirkan balok kayu dan pecahan kaca, tubuhnya gemetar oleh adrenalin dan rasa takut.
“Sho! SHO!” teriaknya panik, matanya liar mencari celah di antara puing.
Namun saat ia hendak merangkak masuk ke reruntuhan, suara berat dan dingin terdengar dari belakang.
“Sepertinya aku menemukan domba yang tersesat dari kawanan nya.”
Aria menoleh, dan matanya membelalak.
Invader.
Tingginya menjulang, kulitnya seperti logam terbakar, dan dari matanya terpancar cahaya kuning seperti obor. Di tangannya, pedang hitam besar terangkat tinggi, siap membelah tubuh Aria.
Aria tidak sempat menghindar. Tubuhnya membeku.
Namun detik berikutnya—
CLANG!!!
Sebuah tombak panjang berkilau petir menepis tebasan Invader dengan kekuatan luar biasa. Serangan itu bahkan membuat Invader terdorong beberapa langkah ke belakang.
“Mundur. Ini bukan medanmu.”
Suara itu dingin, tapi penuh keberanian.
Di hadapan Aria berdiri seorang pria muda dengan rambut pirang keemasan pendek dan mata hitam setajam petir. Ia mengenakan baju tempur ringan dan jubah bertanda lambang spiral matahari. Tombak petir di tangannya masih bergetar, menyisakan percikan kilat.
“Namaku Kean. Dan aku tak suka melihat pembantaian sepihak seperti ini.”
Tanpa membiarkan Invader menyerang balik, Kean mengangkat tombaknya dan melesat bagaikan kilat, menerjang ke depan.
“Blazing Thunder!”
Tombaknya menyentuh tanah, dan ledakan listrik menjalar, membakar empat Invader sekaligus yang mendekat. Asap menghitam dari tubuh-tubuh mereka sebelum hancur menjadi abu.
Sebelum Aria sempat berkata apapun, sebuah suara wanita terdengar dari arah atap rumah yang hampir runtuh:
“Kean, sudah kubilang jangan bertindak sendirian kan!?”
Aria menoleh dan melihat seorang wanita berdiri gagah dengan busur emas besar di tangannya. Rambut hitam panjangnya dikuncir tinggi, dan matanya setajam mata burung pemburu.
“Fanesa...” gumam Kean, sedikit jengkel.
Wanita itu, Fanesa, menarik tali busurnya dan melepaskan dua anak panah bercahaya. Anak panah itu menembus udara dan menghancurkan dua Invader di kejauhan dengan ledakan cahaya.
Fanesa melompat turun dari atap dan mendarat dengan ringan di samping Aria.
“Kau baik-baik saja?” tanyanya singkat, tanpa membuang waktu.
Aria hanya mengangguk cepat, suaranya tercekat.
“Bagus. Tetap di belakang kami.” ujar Fanesa.
Dan seolah datang dari perut bumi, bunyi dentuman langkah berat terdengar dari jalan utara. Aria menoleh dan melihat seorang pria besar datang dari balik asap, membawa perisai raksasa di bahunya. Perisai itu tampak seperti tembok berjalan.
Van.
Rambut hitam dan sorot mata tajam membuat kehadirannya mengintimidasi. Ia berdiri di antara reruntuhan, menatap Invader di sekeliling mereka.
“Terlalu banyak. Bagus. Aku benci pertarungan singkat.” katanya datar.
Dengan satu gerakan, Van menghantamkan perisainya ke tanah, menciptakan gelombang kejut yang menjatuhkan Invader terdekat.
“Fanesa, Kean. Formasi tujuh. Kita bersihkan area ini.”
Fanesa bergerak ke sisi kanan, Kean ke kiri, dan Van maju lurus dengan perisainya. Mereka seperti badai petarung—cepat, presisi, dan nyaris tak terbendung.
Aria hanya bisa berdiri membeku, menyaksikan ketiganya bertarung.
Mereka bukan manusia biasa. Mereka adalah High Human.
Manusia pilihan, inkarnasi dari para dewa.
Dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Aria menyadari betapa kecil dirinya di tengah kekuatan seperti itu. Tapi di hatinya, satu suara tetap berteriak:
Sho. Di mana kau?
---
BOOM!!
Ledakan kecil dari sisi kiri menghantam tanah, membuat tubuh Aria terpental ke belakang dan jatuh di antara pecahan kayu. Serpihan logam menyayat lengannya. Ia mengerang pelan dan mencoba berdiri, namun lututnya gemetar, napasnya terengah. Matanya menyapu sekeliling, mencari Kean, Fanesa, atau Van—namun mereka semua sibuk di medan depan, menghadapi puluhan Invader sekaligus.
Sendirian.
Dan tepat saat kesadaran itu menyerangnya, bayangan hitam menjulang dari balik reruntuhan.
Salah satu Invader—lebih kecil dari yang lain, tapi lebih cepat, licin, dan mematikan—telah menyelinap dari sisi belakang.
Taring besarnya mencuat, dan pedangnya sudah terangkat. Tatapannya menatap Aria seakan ia adalah mangsa sempurna yang tersesat dari kawanan.
Waktu seolah melambat. Aria terdiam. Tak ada waktu untuk berlari. Tak ada waktu untuk berteriak.
Dan saat pedang itu turun—
WUSS!
Pedang itu melesat, mengarah lurus ke lehernya.
Tapi—
Seorang pria menerjang masuk dari samping. Tubuhnya menahan serangan itu sepenuhnya. Mata Aria membelalak.
“Ayah...?”
Waktu seolah berhenti.
Pedang hitam itu menembus tubuh Ayahnya dari belakang, menancap dalam. Darah memercik mengenai wajah Aria.
Ayahnya tidak menjawab, hanya mengerang pelan... Lalu dengan seluruh kekuatan terakhirnya, ia menggenggam lengan Invader itu, menahannya agar tak bisa menghindar.
“Sekarang, Aria... Lari...”
Suara itu berat, napasnya parau.
“Lakukan... Apa pun untuk tetap hidup...”
Aria tak bisa bergerak. Kakinya membeku. Mulutnya terbuka, namun suara tak keluar.
“LARI!!” bentaknya, keras dan tajam seperti terakhir kalinya ia akan bicara.
Aria akhirnya tersentak. Tapi sebelum ia sempat menarik panah atau membalas, ayahnya menggertakkan giginya dan menarik Invader itu lebih dekat—menancapkan pisau perburuan kecil ke leher makhluk itu.
Seketika tubuh Invader itu meledak menjadi debu.
Namun tubuh ayahnya juga terdorong keras dan roboh, darahnya mengalir cepat, meresap ke tanah kotor Rivera.
“AYAH!!” jerit Aria, berlari mendekat, lututnya menghantam tanah.
Tangannya yang gemetar memeluk tubuh besar itu, mengguncang perlahan, namun tak ada respons.
Tak ada lagi hembusan napas.
Tak ada lagi tatapan khawatir atau amarah.
Hanya keheningan yang menyayat.
Fanesa yang melihat kejadian itu dari kejauhan hanya bisa terdiam, sementara Kean dan Van tetap menahan gelombang serangan agar tidak semakin dekat ke posisi Aria.
Aria tidak menangis keras. Tidak berteriak.
Matanya hanya kosong.
Tak ada lagi hembusan napas.
Tak ada lagi tatapan khawatir atau amarah
Seakan-akan seluruh warna di dunia telah dicuri dari hidupnya.
Dan saat itu, dunia Aria berubah selamanya.
Penyesalan menusuk lebih dalam daripada luka fisik mana pun.
Penyesalan karena membangkang.
Penyesalan karena terlalu yakin akan bisa melindungi diri.
Penyesalan karena membiarkan orang yang paling mencintainya mengorbankan nyawa demi menyelamatkannya.
Dan di balik semua itu—di dalam dada Aria—perlahan muncul bara kecil.
Bara yang akan tumbuh menjadi api. Api yang tidak akan pernah padam, bahkan setelah perang berakhir.
Hari itu, Aria kehilangan rumah.
Tapi dunia... Baru saja menunjukkan siapa dirinya yang sebenarnya.
semogaa hp nya author bisa sehat kembali, dan semoga di lancarkan kuliahnya, sehat sehat yaa author kesayangan kuu/Kiss//Kiss/