NovelToon NovelToon
Pada Ibu Pertiwi Kutitipkan Cintaku

Pada Ibu Pertiwi Kutitipkan Cintaku

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Crazy Rich/Konglomerat / Obsesi / Diam-Diam Cinta
Popularitas:237
Nilai: 5
Nama Author: Caeli20

Cintanya itu harusnya menyatukan bukan memisahkan, kan? Cinta itu harusnya memberi bahagia bukan duka seumur hidup, kan? Tapi yang terjadi pada kisah Dhyaswara Setta dan Reynald de Bruyne berbeda dengan makna cinta tersebut. Dua orang yang jatuh cinta sepenuh jiwa dan telah bersumpah di atas darah harus saling membunuh di bawah tuntutan. Siapakah yang menang? Tuntutan itu atau cinta mereka berdua?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Caeli20, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Ep. 7 : Misi Penyamaran

Senja mulai turun ketika suara derap kuda terdengar mendekati padepokan. Panglima Wira datang dengan rombongannya, membawa beberapa keranjang berisi buah tangan untuk para murid dan sesajen untuk padepokan. Beliau memberi sejumlah dana untuk merenovasi bagian bangunan yang mulai rapuh dimakan usia.

Di ruang utama, Panglima Wira berbicara panjang dengan Mbah Lodra.

"Terima kasih banyak atas bantuan anggota padepokan panjenengan akhirnya markas Belanda di pesisir timur bisa kita runtuhkan," ucap panglima Wira.

"Jangan sungkan. Itu sudah menjadi tugas kami. Pada hakikatnya, padepokan ini didirikan oleh pendahulu adalah untuk membantu perjuangan negara ini bebas dari jeratan penjajahan," Mbah Lodra bertutur dengan tenang.

“Oh ya, Aku datang membawa satu permintaan lagi, jika panjenengan tidak keberatan untuk menolong saya lagi," ujar panglima Wira,"

"Selagi saya bisa, saya akan bantu. Katakanlah,"

Panglima Wira berdehem, lalu menjelaskan,

"Orang tua Jendral Surya harus dibawa berobat ke kota seberang. Perjalanan ini rawan jika menarik perhatian Belanda. Maka aku butuh dua orang dari padepokan ini. Satu laki-laki dan satu perempuan, untuk mengawal hingga batas kota. Di batas kota nanti ada kelompok tentara yang bertugas mengantar hingga ke kota seberang,"

Mbah Lodra mengangguk pelan, matanya dalam penuh pertimbangan.

“Permintaanmu akan kami penuhi, panglima. Dan aku telah tahu siapa yang akan kuutus.”

Suasana hening. Angin sore menggoyang kelopak bunga kenanga di halaman.

**

Lampu gantung bergoyang pelan di ruang kerja Meneer Lorens van Dirk. Bayangan cahaya memantul pada wajahnya yang merah padam menahan marah. Di depannya, Lukman berdiri gemetar, kedua tangannya saling meremas, pipinya memucat.

“Kau tidak berguna!," bentak Meneer Lorens, menggebrak meja hingga tinta tumpah ke lantai. “Sudah kuberi tugas sederhana, mengusir penduduk dari tanah itu, tapi kau malah kembali dengan tangan kosong!,"

Lukman menunduk dalam-dalam, tubuhnya hampir membungkuk.

“Ampun, Meneer… saya… saya tidak menyangka ada perempuan pribumi yang begitu liar...,"

“Diam!” Lorens menunjuk wajahnya dengan telunjuk bergetar, “Pribumi! Kau juga pribumi! Tapi berlagak lebih tinggi dari mereka! Tetap saja kau tidak mampu menghadapi seorang perempuan kampung!,” logat Belanda nya terdengar begitu kental.

Lukman menggigit bibir, tak berani menjawab.

“Lusa,” ujar Meneer Lorens dengan suara dingin. “Kau kembali ke sana. Jika perlu, bawa lebih banyak orang. Aku tak peduli apa yang kau lakukan. Usir mereka. Hancurkan rumah mereka. Buat mereka takut. Aku ingin tanah itu kosong sebelum proyekku dimulai.”

Lukman mengangguk cepat, suaranya bergetar,

“Baik, Meneer… saya patuh… saya akan kembali,"

Lorens mengibaskan tangannya, mengusirnya seperti mengusir anjing,

“Keluar,"

Lukman buru-buru menunduk lebih dalam dan pergi tanpa menoleh.

Di balik pintu, ia mengusap keringat dingin di pelipisnya. Pandangannya gelap, antara takut pada Meneer dan dendam pada Dhyas yang telah mempermalukannya.

**

Di pendopo padepokan, lampu minyak menggantung di antara tiang-tiang kayu. Cakra sedang memeriksa kelengkapan yang harus dibawa untuk perjalanan penyamaran. Sementara itu, Dhyas sedang mengikat rambutnya sederhana, menyembunyikan luka yang masih nyeri di bawah selendang.

Mbah Lodra berdiri di hadapan mereka berdua, tongkatnya menghentak tanah pelan.

“Ini tugas yang tidak bisa dipandang sebelah mata,” ujar beliau. “Kalian hanya mengawal hingga batas kota, tapi perjalanan itu penuh pengawasan penjajah. Kendalikan diri kalian. Jangan bertindak gegabah,"

Dhyas dan Cakra serempak menjawab,

“Baik, guru,"

"Setelah ini kalian sudah bisa pergi ke rumah keluarga Jendral Surya,"

"Baik, guru,"

Mbah Lodra beranjak kembali ke pendoponya.

Cakra menyelesaikan semua persiapannya.

Dia menoleh pada Dhyas, suaranya rendah,

“Kamu yakin ikut misi ini?,"

“Aku baik-baik saja. Bahkan keadaan ku lebih baik dari kemarin,"

Dhyas tersenyum kecil.

Cakra begitu mengagumi senyuman itu. Perlahan dia mendekati Dhyas. Rambut Dhyas yang hanya diikat sembarang justru menambah pesonanya. Leher jenjangnya yang terpampang nyata nampak menggoda naluri kelaki-laki-an Cakra.

Perlahan Cakra mendekati Dhyas.

Tatapan mereka bertaut. Hening. Jarak di antara mereka tinggal sejengkal. Cakra menelan ludah, langkahnya sedikit maju. Wajahnya dekat, napasnya terasa. Hanya tinggal secuil jarak sebelum bibir mereka bersentuhan.

Dhyas sudah terdiam. Tidak menolak. Tidak bergerak. Seakan tatapan Cakra menguncinya rapat-rapat.

Namun Cakra tiba-tiba menutup mata, mengambil napas dalam. Dia mundur satu langkah.

“Aku tidak boleh,” ujarnya pelan, "Belum saatnya,"

Dhyas membuka matanya yang sempat terpejam. Dia berdehem dan memperbaiki posisi berdirinya.

Ada langkah yang tiba-tiba terdengar. Cakra dan Dhyas sama-sama menoleh.

Arya langsung membalikan tubuhnya dan pergi dengan tergesa-gesa.

Dhyas dan Cakra serempak menunduk malu.

**

Mobil hitam tua milik keluarga Jendral sudah bersiap untuk dijalankan. Mesin berdengung pelan. Cakra duduk di kursi depan sebagai sopir menyamar; baju panjang lusuh dan caping membuatnya terlihat seperti warga biasa.

Di sampingnya duduk Pak Muh, lelaki setengah baya yang menjadi pengurus rumah tangga keluarga Jendral.

Dhyas duduk di belakang bersama Intan, gadis belia keponakan Jendral, dan Eyang Kakung yang sakit-sakitan.

Sebelum mobil bergerak, Dhyas memberi instruksi,

“Apa pun yang terjadi nanti…kita harus tetap tenang.”

Semua mengangguk.

“Aku akan menjaga kalian. Apa pun risikonya," tegas Dhyas.

Mobil melaju menuju jalan timur.

Pos penjagaan pertama tampak lengang. Dua penjaga pribumi duduk sembari minum arak. Bau alkohol menyeruak ke udara.

Mereka melambaikan tangan, menyuruh mobil itu berhenti hanya sebentar.

“Apa isinya?," tanya salah satu penjaga dengan suara sengau dan matanya yang sayu karena alkohol.

“Orang sakit,” jawab Pak Muh singkat.

Penjaga itu mengintip ke dalam mobil. Melihat Eyang Kakung yang pucat, ia hanya mengangguk samar.

“Lewat,"

Mobil pun melaju kembali.

Cakra menarik napas lega. Dhyas dan yang lainnya juga.

Pos pertama aman.

Tapi mereka belum bisa tenang. Dua pos terburuk masih menunggu.

Di pos kedua, dua serdadu Belanda berjaga. Pakaian mereka rapi, wajah mereka genit, mata mereka seperti mencari masalah.

Mobil itu diberhentikan keras.

“Hei! Turun semua identitas!,” salah satu dari mereka berseru.

Cakra memberikan dokumen yang sudah disiapkan. Serdadu itu melihat sekilas lalu menggumam:

“Wanita di belakang… turun. Dua-duanya,"

Intan langsung memeluk Eyang, wajahnya pucat.

Cakra menegang. Rahangnya mengeras.

Cakra melihat Dhyas dari kaca depan.

Dhyas menatap Cakra tajam, memberi kode agar ia tetap tenang.

“Aku saja yang turun,” ujar Dhyas pada serdadu itu, “Anak kecil tidak perlu,"

Serdadu itu menegakkan tubuh, senyumnya miring,

“Oh? Kau menawarkan diri? Baiklah. Ikut aku ke belakang," logatnya begitu kental.

Cakra semakin menegang. Dia ingin mencegah tapi dia mengingat instruksi Dhyas untuk dirinya tetap tenang. Mata Cakra terus mengikuti langkah orang-orang yang membawa Dhyas itu. Jantungnya berdegup kencang. Sorot matanya tajam. Kalau bukan sedang menyamar, dia sudah bunuh para serdadu itu.

Di dalam sana,

Mereka menuntun Dhyas masuk ke rumah kecil di belakang pos. Pintu ditutup keras.

Salah satunya mengarahkan bayonet ke meja.

“Letakkan semua barangmu,"

Dhyas pura-pura menurut, menaruh selendang pelan-pelan… sambil memperhitungkan jarak.

Begitu salah satu dari mereka lengah, Dhyas melompat, menendang senjatanya. Bayonet jatuh. Serdadu kedua mencoba menerjang, tapi Dhyas menghantam dagunya dengan siku.

Satu jatuh. Satu tertubruk dinding.

Dhyas menendang tengkuk yang pertama hingga dia tidak sadarkan diri.

Tanpa membuang waktu, Dhyas keluar dari ruangan itu.

Cakra sudah bersiap hendak turun dari mobil dengan belatinya untuk menyusul ke dalam ketika dia melihat Dhyas berlari ke arah mobil.

“Kamu tidak apa-apa?," tanya Cakra begitu pintu mobil ditutup. Bayangan Dhyas sudah dilecehkan di dalam sana membuatnya panik.

“Aku baik,” jawab Dhyas singkat. “Ayo jalan. Sekarang"

Mobil pun kembali melaju.

Menjelang subuh, mereka tiba di pos ketiga. Di sinilah penjagaan paling ketat. Tiga serdadu Belanda berdiri di tengah jalan, wajah mereka keras dan bengis.

“Turun! Sopir dan lelaki di depan!”

Cakra dan Pak Muh turun. Serdadu itu merampas kunci mobil.

Intan mulai menangis kecil tertahan.

Eyang Kakung menggenggam tangan Dhyas, gemetar.

“Dhyas,” bisik Intan, “apa kita akan mati?”

“Tentu tidak,” jawab Dhyas pelan. “Selama kami ada di sini, kalian selamat,"

Serdadu yang memeriksa Cakra mulai menunjukkan perilaku kasar. Ia mendorong dada Cakra, menatapnya dengan ejekan.

“Kau ini apa? Supir kampungan?," bentaknya.

Cakra mengepalkan tangan, hampir tak mampu menahan diri.

Serdadu itu mengangkat tangan hendak menamparnya.

Buuukkk!

Dhyas membuka pintu mobil dari belakang dan menghajar serdadu itu dengan tendangan keras. Ia terpental empat langkah ke belakang.

Temannya menerjang.

Namun Cakra telah siap, gerakannya cepat, pukulannya menghantam perut lawan hingga lawan jatuh tersungkur.

Dua serdadu tumbang.

Satu lagi hendak lari mengambil senjata, tapi Dhyas mencekal kerahnya dan menidurkannya dengan satu pukulan ke pelipis.

Pak Muh kaget setengah mati,

“Gusti Allah… ini seperti di filem filem,"

“Cepat, Pak,” ujar Cakra sambil mengambil kembali kunci mobil. “Kita harus pergi sebelum mereka bangun,"

Mereka bertiga bergegas masuk ke dalam mobil.

Mobil kembali melaju kencang, melewati batas pos terakhir.

Ketika ayam mulai berkokok dan matahari belum tampak, mereka tiba di batas kota. Cahaya lampu petromaks menyala dari kejauhan, pasukan besar milik Jendral sudah menunggu.

Mobil berhenti. Para tentara menyambut, menggotong Eyang Kakung dengan penuh hormat.

Seorang perwira memberi hormat kepada Cakra dan Dhyas.

“Kalian telah mengantar mereka dengan selamat. Terima kasih. Tanpa kalian, perjalanan ini tidak mungkin berhasil,"

Dhyas menunduk, Cakra juga.

“Jagalah mereka,” ujar Cakra.

“Tentu.”

Mereka saling bersalaman, mengucap salam pamit.

Saat mobil keluarga Jendral melaju ke arah kota, Dhyas berdiri di tepi jalan bersama Cakra. Angin pagi bertiup, membawa rasa dingin dan lega yang menyatu.

“Kamu hebat sekali,” Dhyas menoleh pada Cakra.

Cakra membalas menatap, senyum kecil tersungging.

“Kita hebat… selama kita bersama. Kita akan selalu menjaga,"

Cakra merangkul lembut pundak Dhyas.

1
Wiwi Mulkay
kpn di up lagi
Wiwi Mulkay
Caeli ini kapan di up lagi
Caeli: on my way dear kak wiwi😍
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!