Dikhianati sahabat itu adalah hal yang paling menyakitkan. Arunika mengalaminya,ia terbangun di kamar hotel dan mendapati dirinya sudah tidak suci lagi. Dalam keadaan tidak sadar kesuciannya direnggut paksa oleh seorang pria yang arunika sendiri tak tahu siapa..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon EkaYan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kenyataan Pahit
Pagi yang cerah di Yogyakarta itu disambut dengan ketukan lembut di pintu kos Arunika. Arsen, dengan senyum cerahnya seperti biasa, sudah berdiri di depan pintu. Namun, senyumnya sedikit memudar begitu melihat Arunika membuka pintu. Wajah kekasihnya tampak pucat, lingkaran hitam samar terlihat di bawah matanya, dan geraknya tidak seceria biasanya.
"Nika, kamu tidak apa-apa?" tanya Arsen dengan nada khawatir, tangannya terulur menyentuh dahi Arunika.
"Kamu sedikit hangat. Semalam tidur nyenyak?"
Arunika mencoba tersenyum, meskipun terlihat dipaksakan. "Aku baik-baik saja, Sen. Hanya sedikit kurang tidur."
Arsen menatapnya dengan saksama, kerutan di dahinya menunjukkan kekhawatirannya. "Tapi wajahmu pucat sekali. Bagaimana kalau kita ke dokter sebentar sebelum kuliah? Aku tidak tenang melihatmu seperti ini."
Arunika menggeleng pelan. "Tidak perlu, Sen. Sungguh. Aku hanya perlu sarapan dan sedikit udara segar. Aku tidak mau telat masuk kelas pagi ini. Ada kuis penting."
"Tapi kesehatanmu lebih penting, Nika," balas Arsen lembut, namun penuh penekanan. "Kuis bisa menyusul, tapi kalau kamu sakit..."
"Aku janji, nanti kalau di kampus terasa tidak enak, aku akan langsung ke klinik," potong Arunika, berusaha meyakinkan Arsen. Ia meraih tasnya dan menggandeng tangan Arsen. "Ayo, nanti kita benar-benar telat."
Meskipun hatinya masih ragu, Arsen akhirnya mengalah melihat tekad di mata Arunika. Ia tahu betapa pentingnya kuliah baginya, apalagi setelah sempat tertunda. Mereka berjalan bersama menuju kampus, Arsen sesekali melirik Arunika dengan cemas. Ia menggenggam tangannya erat, seolah ingin menyalurkan sedikit kekuatannya.
Selama perjalanan, Arsen terus memperhatikan Arunika. Ia berusaha mengajaknya berbicara ringan, berharap bisa mengalihkan perhatiannya dari rasa tidak nyaman yang mungkin ia rasakan. Namun, Arsen bisa merasakan tangan Arunika yang sedikit dingin dan genggamannya yang tidak sekuat biasanya. Perasaan khawatir semakin mencengkeram hatinya. Ia berharap Arunika benar-benar baik-baik saja dan tidak menyembunyikan sesuatu
darinya.
Kekhawatiran Arsen akhirnya menjadi kenyataan yang pahit. Setibanya di kampus, Arunika berusaha bersikap normal, mengikuti pelajaran dengan saksama meskipun sesekali terlihat memegangi kepalanya. Saat jam istirahat tiba, Arunika mengatakan ingin ke perpustakaan untuk mencari referensi tambahan. Arsen menawarkan untuk menemaninya, tetapi Arunika menolak dengan alasan tidak ingin merepotkannya.
Beberapa waktu kemudian, kabar mengejutkan sampai ke telinga Arsen. Salah seorang teman sekelas mereka berlari menghampirinya dengan wajah panik. "Sen! Nika... Nika pingsan di perpustakaan!"
Tanpa berpikir panjang, Arsen langsung berlari menuju perpustakaan dengan jantung berdebar kencang. Pemandangan yang menyambutnya membuat dadanya terasa sesak. Arunika terbaring tak sadarkan diri di lantai, dikelilingi beberapa mahasiswa yang berusaha membantunya. Wajahnya semakin pucat dan bibirnya terlihat kering.
"Nika!" seru Arsen panik sambil berlutut di sampingnya. Ia mengguncang pelan tubuh Arunika, namun tidak ada respons. Tanpa membuang waktu, Arsen segera mengangkat tubuh Arunika dengan hati-hati.
"Tolong bantu aku!" serunya kepada teman-temannya yang masih terkejut. Dengan bantuan beberapa orang, Arsen membawa Arunika secepat mungkin menuju klinik terdekat di sekitar kampus.
Langkahnya tergesa-gesa, pikirannya dipenuhi rasa cemas dan penyesalan karena tadi pagi tidak memaksa Arunika untuk memeriksakan diri. Ia menggenggam erat tangan Arunika, berharap kekasihnya segera membuka mata dan baik-baik saja. Perjalanan singkat menuju klinik terasa begitu panjang dan penuh ketidakpastian.
Sesampainya di klinik, Arunika segera ditangani oleh dokter. Arsen dengan gelisah menunggu di luar ruang pemeriksaan. Pikirannya berkecamuk, menyalahkan diri sendiri karena tidak lebih tegas pada Arunika. Ia terus merapalkan doa dalam hati, berharap tidak terjadi sesuatu yang buruk pada kekasihnya.
Tak berapa lama, dokter keluar dari ruang pemeriksaan. Wajahnya terlihat sedikit lega, namun tetap menyimpan sedikit kekhawatiran. Arsen segera menghampirinya dengan tatapan penuh harap.
"Bagaimana kondisi Nika, Dok?" tanya Arsen cemas.
"Pasien mengalami dehidrasi berat dan tekanan darahnya rendah. Sepertinya dia juga kurang tidur dan kelelahan," jelas dokter. "Kami sudah memberikan cairan infus dan kondisinya sudah mulai stabil. Namun, kami sarankan untuk melakukan pemeriksaan lebih lanjut ke bagian Obgyn karena sepertinya pasien sedang hamil muda."
Mendengar penuturan dokter, bagai petir menyambar di siang bolong, Arsen terperangah. Hamil? Bagaimana mungkin? Mereka berpacaran sehat, tidak pernah sekalipun terlintas di benaknya untuk melakukan hubungan intim di luar nikah. Pikiran Arsen langsung berkecamuk. Jika bukan dirinya, lalu siapa? Siapa yang telah menghamili Arunika, kekasih yang selama ini ia percaya dan cintai?
Rasa kaget bercampur aduk dengan kecewa, marah, dan sedih yang mendalam. Ia merasa dikhianati, dibohongi. Selama ini, senyum ceria dan tatapan mata lembut Arunika terasa begitu tulus. Namun, di balik itu semua, mungkinkah ada rahasia besar yang selama ini disembunyikan darinya?
Setelah beberapa saat berusaha menenangkan diri, Arsen memberanikan diri masuk ke ruang pemeriksaan. Dilihatnya Arunika terbaring lemah di ranjang, selang infus terpasang di tangannya. Wajahnya masih pucat, namun matanya terlihat sedikit terbuka.
Dengan langkah berat, Arsen mendekati ranjang Arunika. Ia menarik kursi dan duduk di sampingnya, menggenggam perlahan tangan yang terasa dingin itu. Arunika menoleh perlahan, tatapannya sayu bertemu dengan mata Arsen yang penuh dengan pertanyaan dan kekecewaan.
"Nika," lirih Arsen, suaranya bergetar. Ia berusaha menahan emosi yang bergejolak di dadanya. "Apa... apa benar kata dokter? Kamu... hamil?"
Arunika terdiam, air mata mulai mengalir dari sudut matanya. Ia tidak berani menatap Arsen, pandangannya tertunduk lemah.
Melihat reaksi Arunika, hati Arsen semakin hancur. Kenyataan pahit itu seolah mengkonfirmasi segala kecurigaannya. Perasaan marah dan kecewa semakin memuncak, namun di sisi lain, ia juga merasakan sakit yang luar biasa melihat kekasihnya dalam kondisi seperti ini.
"Siapa, Nika?" tanya Arsen lagi, kali ini suaranya lebih tegas, namun tetap berusaha ia kendalikan. "Siapa yang sudah melakukan ini padamu? Apa... apa selama ini kamu... selingkuh di belakangku?"
Arunika menggeleng lemah, air matanya semakin deras. Ia berusaha meraih tangan Arsen yang menggenggam tangannya, namun tenaganya terlalu lemah.
"Jawab aku, Nika!" desak Arsen, nada suaranya meninggi tanpa bisa ia cegah. "Aku berhak tahu! Selama ini, apa arti hubungan kita bagimu?"
Suasana di ruangan itu terasa tegang dan menyakitkan. Pertanyaan Arsen menggantung di udara, menunggu jawaban dari bibir Arunika yang tampak begitu rapuh. Arsen menatap kekasihnya dengan tatapan terluka, menanti sebuah penjelasan yang mungkin akan menghancurkan hatinya lebih dalam lagi.
Arunika terisak pelan, mencoba mengatur napasnya yang tersengal. Dengan suara lirih yang hampir tak terdengar, ia akhirnya membuka suara. "Tidak, Sen... tidak seperti yang kamu pikirkan."
Arsen menatapnya tajam, sorot matanya menunjukkan ketidakpercayaan. "Lalu bagaimana, Nika? Jelaskan padaku. Aku berhak tahu kebenarannya."
Dengan susah payah, di tengah rasa lemas dan pusing yang masih menderanya, Arunika mulai bercerita. Air matanya terus mengalir saat ia mengungkapkan kejadian pahit yang selama ini ia simpan rapat. Ia menceritakan tentang sebuah pesta perpisahan teman kuliah beberapa bulan lalu, di mana ia tanpa sadar meminum minuman yang telah dicampur sesuatu. Malam itu, dalam keadaan tidak sadar, ia menjadi korban pelecehan seksual.
Arsen mendengarkan cerita Arunika dengan wajah pucat pasi. Tangannya yang menggenggam tangan Arunika terasa semakin erat, namun kali ini bukan karena marah, melainkan karena rasa sakit dan kepedihan yang mendalam. Ia tidak menyangka kekasihnya mengalami kejadian seburuk itu. Rasa marah yang tadi sempat menguasai dirinya perlahan sirna, berganti dengan rasa iba dan kasihan yang teramat besar.