Wallace Huang, dikenal sebagai Mafia Iblis yang tanpa memberi ampun kepada musuh atau orang yang telah menyinggungnya. Celine Lin, yang diam-diam telah mencintai Wallace selama beberapa tahun. Namun ia tidak pernah mengungkapnya.
Persahabatannya dengan Mark Huang, yang adalah keponakan Wallace, membuatnya bertemu kembali dengan pria yang dia cintai setelah lima tahun berlalu. Akan tetapi, Wallace tidak mengenal gadis itu sama sekali.
Wallace yang membenci Celina akibat kejadian yang menimpa Mark sehingga berniat membunuh gadis malang tersebut.
Namun, karena sebuah alasan Wallace menikahi Celine. pernikahan tersebut membuat Celine semakin menderita dan terjebak semakin dalam akibat ulah pihak keluarga suaminya.
Akankah Wallace mencintai Celine yang telah menyimpan perasaan selama lima tahun?
Berada di antara pihak keluarga besar dan istri, Siapa yang akan menjadi pilihan Wallace?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon linda huang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7
Malam Hari
Celine perlahan membuka matanya. Pandangannya masih kabur, namun samar-samar ia dapat melihat langit-langit kamar rumah sakit yang putih dan sepi. Sunyi. Bau obat-obatan dan cairan infus menusuk hidungnya.
"Ternyata... aku masih hidup? Kenapa mati saja begitu sulit?" batinnya lirih, sudut matanya berkaca-kaca.
Dengan gemetar, ia bangkit. Jarum infus yang tertancap di tangannya ia cabut paksa. Cairan menetes, darah ikut keluar dari lubang bekas tusukan. Tapi Celine tak peduli. Dengan tubuh lemah, ia turun dari ranjang, berjalan perlahan ke arah pintu, menyeret kakinya yang masih lemas.
Langkahnya menuntunnya ke ujung koridor, tempat ruang perawatan khusus. Di sana, dua anggota keluarga Huang berdiri menjaga pintu kamar Mark.
Celine berhenti. Ia menunduk, menggigit bibirnya menahan rasa yang mencabik-cabik dadanya.
"Aku dilarang bertemu dengannya lagi... Mungkin memang lebih baik seperti ini," batinnya.
Ia menggenggam kalung giok yang tergantung di lehernya. Jemarinya menggenggam erat, seolah benda itu adalah satu-satunya kekuatan yang tersisa.
"Mark, kamu sahabat terbaikku. Tapi aku harus pergi. Aku tidak layak menjadi sahabat dekatmu, tidak pantas menjalin hubungan apa pun dengan keluarga Huang."
Matanya menatap giok itu dalam diam. Air mata menggenang namun tak sempat jatuh.
"Giok ini... satu-satunya kenangan dari Wallace. Tapi ini adalah milik keluarganya. Haruskah aku mengembalikannya? Tidak... jika aku mengembalikannya sekarang, dia hanya akan semakin membenciku. Karena dia akan tahu kalau kalungnya di tanganku. Mungkin aku akan mengembalikannya dengan cara lain."
Setelah berdiri terpaku cukup lama, Celine berbalik dan mulai melangkah menjauh dari rumah sakit. Wajahnya pucat, matanya kosong, seolah nyawanya tertinggal di ranjang rumah sakit itu.
"Selamat tinggal, Mark... Dan selamat tinggal, Wallace... Biar aku saja yang mencintaimu hingga akhir hayatku," gumamnya lirih, lalu menghilang dalam gelapnya malam kota.
Sisi Lain – Tanah Kosong
Sementara itu, di sebuah tanah lapang tak berpenghuni di pinggiran kota, suasana malam terasa jauh lebih mengerikan.
Beberapa orang terlihat dikubur hidup-hidup, hanya kepala mereka yang menyembul dari tanah. Di antara mereka adalah Mike dan beberapa rekannya yang kini dalam kondisi panik dan ketakutan.
"Apa yang kalian lakukan, ha?! Cepat keluarkan kami!!" teriak Mike histeris, wajahnya kotor penuh lumpur dan peluh.
Di sisi lain, dua pria berjenggot dalam kondisi terikat tangan ke belakang. Tubuh mereka duduk bersandar pada batang pohon, wajah lebam dan berdarah.
Di hadapan mereka berdiri Wallace Huang, ketua mafia dengan mata tajam dan aura mengancam. Ia menyarungkan sarung tangan hitam ke tangannya dengan gerakan tenang tapi penuh tekanan.
"Mereka berdua temanmu?" tanya Wallace datar, menatap Mike dengan sorotan tajam.
"Siapa kau sebenarnya?!" bentak Mike balik, tak menyadari bahaya yang sedang ia hadapi.
Brak! Sebuah tendangan keras mendarat tepat di wajah Mike.
"Kurang ajar!" hardik Nico, tangan kanan Wallace, penuh amarah.
"Aaaahh!!" jeritan Mike terdengar memilukan. Darah mengalir dari mulutnya, matanya nyaris tak bisa terbuka.
"Tuan Huang adalah paman dari Tuan muda Mark—keponakan yang kalian pukuli tanpa tahu diri. Dan kalian masih berani membuka mulut seenaknya?" ucap Nico dengan nada menghina.
Mike melotot dengan pandangan tak percaya. "Pa... paman?!" Suaranya bergetar, kesadaran akan situasi perlahan menghantamnya.
"Tolong... lepaskan kami... kami tidak tahu!" rengek salah satu temannya.
Di sisi lain, dua pria yang terikat akhirnya angkat bicara.
"Hei! Kalian ini siapa? Kenapa mengikat kami?!" bentak pria berjenggot dengan nada panik.
Nico mendekat, menatap keduanya tajam. "Kau yang melecehkan Celine Lin, bukan?"
Salah satu dari mereka mendengus. "Lantas kenapa?! Mike Lin sendiri yang menjual adiknya kepada kami! Suruh kami nikmati. Apa salah kami?!"
"Dasar bajingan!" Nico mendesis tajam, matanya berkilat penuh amarah.
"Kalian menyiksa gadis yang bahkan tak bisa melawan... Kalian bukan manusia," lanjutnya.
Pria itu tertawa miring. "Jangan salahkan kami. Kami sudah bayar! Mike Lin dan ibunya yang menjualnya karena tergila-gila pada uang! Kami cuma pelanggan. Menikmati perawan? Itu kebanggaan kami!"
Dor! Dor!
Tiba-tiba suara tembakan meletus.
Wallace, dengan wajah murka, menembakkan pistolnya. Peluru menembus bagian bawah tubuh dua pria itu—tepat di selangkangan.
"Aaaarghhh!!!" Jeritan memilukan terdengar, mengiris malam yang mencekam.
Wallace maju perlahan, menatap pria itu seperti menatap sampah busuk. "Bukan hanya kau akan kehilangan alat kejantanamu... Kau juga akan kehilangan hidupmu."
Mike menelan ludahnya, mencoba menahan rasa sakit di sekujur tubuh. Dengan suara lirih dan nada memohon, ia menatap Wallace yang berdiri tegak dengan aura dingin membungkus tubuhnya.
"Tuan Huang... Tolong... lepaskan kami. Aku mengaku bersalah... Aku telah menyakiti keponakanmu. Kami benar-benar menyesal... Kami minta maaf..."
Namun Wallace tidak menunjukkan belas kasihan sedikit pun. Pandangannya menukik tajam, suaranya datar namun mengandung kemarahan yang mendalam.
"Tidak ada kata maaf bagi orang yang menyinggung keluarga Huang."
Ia melangkah mendekat, setiap tapaknya seperti dentang kematian.
"Kau menyakiti Mark tanpa alasan. Kau mempermalukan dan menghancurkan kehormatannya di depan orang banyak. Tapi bukan hanya itu… Adikmu sendiri—Celine—juga menjadi korban dari kerakusan dan keserakahanmu."
"Karena perbuatanmu, adikmu tak ingin hidup lagi. Dia memilih mengakhiri hidupnya berulang kali. menjalani kehidupan yang penuh trauma. Apa kau tahu... betapa hancurnya dia?"
Wallace menoleh sejenak ke arah dua pria bejat yang tergeletak bersimbah darah, terikat dan mengerang kesakitan di tanah. Lalu kembali menatap Mike.
"Malam ini... aku tidak akan langsung membunuh kalian. Aku akan membiarkan kalian tersiksa... sebelum mati."
Nico mendekat, menatap mereka satu per satu, lalu tertawa kecil.
"Nikmati saja sisa hidup kalian yang tinggal beberapa jam. Kalian akan mati perlahan, mengenang semua dosa kalian sebelum nyawa kalian benar-benar hilang."
Wallace tak berkata apa-apa lagi. Ia hanya melirik singkat, lalu berbalik dan meninggalkan tempat itu, diikuti Nico dan beberapa anak buahnya.
Tak lama setelah mereka pergi, tanah kosong itu hanya menyisakan jeritan kesakitan dan tangisan minta tolong. Mike dan rekan-rekannya masih terkubur dalam posisi berdiri, hanya kepala mereka yang terlihat. Mereka meronta, mencoba menggerakkan tubuh, namun tanah terlalu keras dan dalam.
"Tolong! Tolong kami!! Kami tidak ingin mati!!"
Jerit mereka semakin histeris, namun tidak ada siapa pun yang mendengar. Hanya angin malam yang menjadi saksi penderitaan mereka.
Sementara itu, dua pria yang melecehkan Celine menggeliat dalam luka menganga. Darah terus mengalir dari selangkangan mereka. Wajah mereka memucat, keringat bercucuran, dan jeritan mereka menggema memantul di antara pepohonan.
"Aaaaarghh! Tolong! Sakit!!"
Namun tak ada belas kasihan malam itu. Tidak dari Wallace, sang mafia iblis.