"Jika memang kamu menginginkan anak dari rahim ku, maka harganya bukan cuma uang. Tapi juga nama belakang suami mu."
.... Hania Ghaishani .....
Ketika hadirnya seorang anak menjadi sebuah tuntutan dalam rumah tangga. Apakah mengambil seorang "madu" bisa menjadi jawabannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Realrf, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
50%
Senja turun perlahan, jingga mega begitu megah. Merona menghias awan dan langit, namun keindahan itu sama sekali tak menyentuh ruang dingin yang Hania tempati. Di dalam sana, Hania masih duduk meringkuk diatas ranjang dengan selimut tipis yang menghalau dingin dari pendingin udara. Tak banyak yang bisa dia lakukan. Selain berkutat dalam pikirannya yang penuh, sudah tepatkan apa yang ia katakan pada sang Nyonya besar.
Permintaan gila yang ia lontarkan begitu saja, yang sekarang menjadi bimbangnya. Menjadi yang kedua, menjadi orang ketiga dalam ikatan janji suci orang lain. Tak pernah sekalipun hal itu terlintas dalam benak Hania, meski seberapa susah dan keras hidupnya, hal seperti itu sangat jauh dari pikiran Hania. Dia bahkan benci, sangat benci dengan yang namanya perebut, pelakor. Tapi apa? Sekarang dia malah menjadi salah satu dari mereka. Hania terkekeh sumbang, menertawakan dirinya yang menggelikan.
Keadaan Hania masih sama.Rambut yang acak-acakan dan baju robek yang masih ia kenakan sejam malam dia berusaha kabur. Wanita menyandarkan kepalanya pada lutut yang ia peluk erat. Menatap kosong tembok tebal berwarna putih. Senja hari ini terasa seperti ujung dari segalanya. Batas antara hidup… atau matinya.
Langkah kaki menggema. Derit terdengar dari pintu kamar terbuka. Hania mengangkat wajah, menoleh.
Audy masuk, diiringi seorang pria paruh baya dengan setelan jas rapi dan tas kerja di tangan, Saka. Pengacara keluarga Mahendra sekaligus pion setia keluarga Audy.
Hania menyambut mereka dengan tatapan sinis, wajahnya tenang tapi penuh duri.
Audy menatap Hania dingin. Kedua wanita itu beradu pandangan sengit, ego dan harga diri mereka sama-sam terluka. Sama-sama ingin mempertahankan dengan cara yang berbeda. Tak ada lagi kesan memohon seperti kemarin, bahkan aura permusuhan menguar dari Audy dengan tajamnya.
Saka duduk di kursi samping ranjang Hania, menempatkan tasnya di pangkuan, membuka ritsleting tas perlahan. Audy berdiri di samping Saka, tangan bersedekap. Seolah menunjukan kuasa sebagai sang Nyonya Maheswara.
"Aku menyetujui tawaranmu," ucap Audy datar, tanpa ekspresi
"Tapi aku yang menentukan aturan mainnya," imbuhnya penuh penekanan.
Hania menyeringai kecil, kecut.
“Matahari belum terbit lagi dan Anda sudah mengambil keputusan Apa ini tidak terlalu cepat Nyonya Audy?" Senyum remeh tersungging di bibir Hania, menyembunyikan hati yang menolak keras.
Dia berharap Audy tidak setuju dengan syarat gilanya. Dan mencari wanita lain yang mau dibayar dengan uang, sebagai rahim pengganti. Audy hanya menatap acuh Hania, tanpa berniat menyahut ucapan calon madu-nya.
Saka mengeluarkan selembar kertas, menyerahkannya langsung ke tangan Hania.
"Baca dengan baik."
Tangan Hania sedikit gemetar, bukan karena takut—tapi karena jantungnya berdetak terlalu cepat, menahan kemarahan dan ketegangan. Seluruh dirinya menolak, tapi semesta mengatakan lain. DIa sudah menjebak dirinya sendiri, tidak ada jalan lari. Mata Hania menyipit, bergerak beruntun menurut tiap kata yang tercetak di kertas itu.
Kontrak Kerjasama
Pihak pertama: Audy Mahaputri Maheswara
Pihak kedua: Hania Ghaishani
1. Pihak kedua akan menjadi istri kedua dari suami pihak pertama, Brivan Maheswara.
2. Pernikahan akan dilakukan secara tertutup. Pihak kedua dilarang memberi tahu siapapun, termasuk keluarga Maheswara.
3. Pihak kedua setuju untuk mengandung dan melahirkan anak untuk pihak pertama.
4. Selama masa kehamilan sampai melahirkan, pihak kedua dilarang keluar dari mansion.
5. Pihak kedua akan tetap bekerja sebagai caregiver untuk Brivan Maheswara hingga usia kandungan mencapai lima bulan.
6. Sisa 50% upah akan dibayarkan setelah anak lahir.
Dahi Hania mengernyit tajam saat sampai pada poin ke-6.
“Apa maksudnya separuh? Saya bahkan belum ada uang? Kita juga belum sepakat dengan nominalnya?” cerca Hania curiga.
Audy menarik napas, melirik Saka sebentar sebelum menjawab.
“Karena Saya sudah menyerahkan lima puluh juta pada seseorang bernama Wati. Wanita yang menawarkan dirimu pada Ivana."
Hania terdiam. Matanya membelalak.
“Wati?”
Itu nama yang terlalu familiar.
Teman lama ibunya. Wanita yang sering datang ke rumah membawa kabar tentang pinjaman, utang, dan pekerjaan yang cukup aneh. Wati yang selalu di desas desuskan sebagai mucikari wanita bayaran di kampung Hania, meski belum ada yang bisa membuktikan. Tapi Hania sudah mengalaminya sendiri, gila.
"Berikan ponsel saya. Saya harus menghubungi seseorang," suara Hania bergetar.
"Kami akan memberikan benda itu setelah kamu menandatangi kontrak," suara tegas Saka membuat Hania terkekeh.
Hania mengambil pena yang Saka sodorkan.
Tapi sebelum menandatangani, ia menambahkan satu kalimat pendek:
“Selama masa tinggalku di mansion, aku berhak untuk beristirahat, dihormati, dan diperlakukan dengan manusiawi.” Hania menatap Audy tegas.
Audy hanya mengangguk.
"Sepakat."
Hania pun menggoreskan pena kertas itu, kertas yang mengubah seluruh hidupnya. Dari seorang Hania Gaishani menjadi Hania Gaishani Maheswara. Seorang wanita jalang yang mengandung pria asing secara sah, ironi sekali. Tanda tangan sudah tercetak di atas kertas. Kontrak itu sah secara hukum
Setelah semuanya selesai, ruangan hening.
Saka pergi lebih dulu. Tinggal Audy dan Hania. Dua wanita dengan luka yang berbeda… tapi sama-sama menyala dalam diam.
“Jangan merasa menang dulu,” ucap Audy sebelum berbalik.
“Ini hanya permulaan.”
Hania tak menjawab.
Kepalanya menunduk, matanya kosong. Tak lama setelah Audy pergi, Ivana datang dan memberikan ponsel milik Hania yang disita. Peraturan awal dia masuk di mansion itu, dilarang memegang ponsel saat bekerja. Semua ponsel pekerja dikumpulkan pada Ivana, dan akan dibagikan tiap hari minggu.
"Jangan macam-macam."
"Aku ingin telepon ibuku."
Ivana mengangguk tanpa ekspresi, memberikan ponsel itu dengan kasar pada Hania.
"Kami akan tahu setiap gerakmu Hania," ketus Ivana memperingatkan, lalu melangkah pergi.
Hania tidak membalas ucapan ketus Ivana. Pikirannya hanya penuh akan satu tanya, dan Hania harus segera mendapatkan jawaban atas pertanyaan itu. Jemari Hania gemetar saat menekan angka demi angka. Telepon tersambung setelah dua kali nada.
“Halo Ibu, ini Ha-"
"Ada apa Han, bukannya kamu kerja kenapa bisa telepon Ibu. Kamu nggak bikin masalah kan sama majikan kamu. Kerja yang bener, kalau kamu di pecat Ibu sama adik kamu mau makan apa?" potong suara diseberang.
Hati Hania mencelos mendengar cercaan wanita yang telah melahirkannya. Bukan kabar yang ditanyakan, melainkan uang. Selalu saja itu.Sesak, sakit. Tapi itu sudah biasa baginya.
"Hania cuma mau tanya… apa pekerjaan Hania ini Bu Wati yang kasih tau sama Ibu?"
"Iya, Wati yang cari orang buat kerja di orang kaya itu. Lumayan kan gajinya, daripada waktu kamu di pabrik. Lembur juga nggak akan sebesar gaji di situ."
Hania mengigit bibirnya kuat. Mengambil nafas pendek, menelan gejolak yang mulai meluap. Dia hanya berharap dugaannya salah, ibunya tidak mungkin setega itu.
"Ibu terima uang berapa dari Bu wati?"
Hening.
"Ibu dapat bagain berapa? Berapa yang Bu wati kasih ke Ibu?" Suara Hania mulai bergetar.
“Ibu... butuh uang itu. Kamu tahu Rafi... dia ditangkap. Polisi bilang bisa diselesaikan kalau ada uang."
"Berapa Bu ..... Berapa yang ibu terima?" Ulang Hania menahan marah.
"40 .... Ibu dapat bagian 40 juta, sudah habis buat tebus adikmu 25 juta."
Kata-kata itu seperti pisau menghujam dada Hania. Napasnya tercekat. Tangannya merosot, ponsel nyaris terlepas. Air mata Hania jatuh tanpa suara.
"Kasian adikmu, masa depannya masih panjang Han. Kamu telefon cuma buat tanya uang itu? Ck .... Ibu kira kamu mau kirim uang. Sudah Han, Ibu repot. Kamu baik-baik kerjanya."
Sambungan telepon terputus begitu saja. Tubuh Hania merosot, ponsel yang ia genggam jatuh begitu saja. Kurang apa Hania selama ini? Selama bertahun-tahun dia bekerja siang malam demi keluarganya.
Tapi tetap saja dia dijual. Dijual oleh ibunya. Demi anak laki-laki kesayangan mereka.
Tubuh Hania melemas di atas ranjang. Mata mata turun tanpa isak. Wanita itu tertawa pelan—mirip bisikan orang yang nyaris gila. Tatapan matanya kosong, dengan tangis tanpa suara.
“Ternyata aku dijual, ya? Oleh ibuku sendiri…”
Hania menutup wajahnya dengan kedua tangan. Meraung dalam hening, senja dilangit menyaksikan. Terbunuhnya jiwa seorang anak perempuan.
nah loh ibunya brivan mau ke indo jenguk brivan gimana ya nanti reaksinya kalau tau Audy udah ga mengandung lagi
dan untuk mu ibu briv semoga segera menengok ya. putra mu tidak berdaya
Suster Fira memang bukan pengecut,tapi aq fikir dia lebih bisa memikirkan untuk tetap aman dalam Istana Raksasa itu,,,
bisa gak Hania jangan cari² masalah,, karena ini bukan hanya tentang Brivan z,tapi nyawa Hania juga terancam jika dia macam²,,,