Febi begitu terpukul, saat tahu anak kembarnya bukan anak suaminya. Dia diceraikan paksa oleh keluarga Michael.
Di tengah keputusasaan Febi, ada hal lebih mengejutkan bahwa seorang dokter yang adalah kenalannya memberitahu kalau sang anak menderita penyakit yang sulit sekali didiagnosis.
Dunia Febi begitu gelap, dia ingin menceritakan bahwa anak geniusnya ternyata menderita penyakit langka kepada Michael agar juga membatalkan proses perceraiannya. Dia begitu sulit menghadapi hidup berat ini sendirian.
Jordan Reyes melihat dua anak Febi yang pintar. Dia mendengar cerita dari Adam mengenai kesusahan yang dihadapi Febi selama ini, termasuk soal perceraian.
Jordan mendapati Febi menangis di rumah sakit bahwa mungkin Adam takkan terselamatkan. Secara diam-diam Jordan bermaksud menjadi pendonor demi kesembuhan Adam.
Kemana cerita ini berakhir? Ayuk baca!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon As Cempreng, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 7 : DEMI EVANS
Febi dalam keadaan terpejam. Meski matanya terpejam dia seperti di luar angkasa mengambang .... dan tubuhnya merasakan sensasi berputar seperti bola. Ini kali dia merasakan gliyeran yang tidak terkendali.
Jordan duduk di pinggir tempat tidur. Jari-jari panjangnya lekas menahan tangan febi yang akan memijat kening. "Sepertinya, Anda pusing? Maaf saya lancang, kita perlu melepas ini sambil menunggu dokter."
Adam mengamati dari samping. Paman Jordan yang melepas ke empat jepit rambut mama di dekat kening. Lalu sepertinya, berusaha melepas sanggul yang terlalu rumit sampai pria dewasa itu justru kebingungan sendiri.
"Ueekkkkk!" Febi menahan tangan kekar yang meraba kepalanya. "Biarkan saja!" pekiknya karena tak tahan pusing sampai dia meneplak tangan itu dan kembali memegangi kepalanya. Oh sensasi berputar-putar itu semakin parah. "Uek!"
"Mana dokter?" Jordan berteriak pada sekretarisnya yang baru mendekat.
"Sudah di ujung kompleks, Tuan."
Jordan meringis ngeri saat Febi miring ke kanan sampai wanita itu muntah dan cairan kecut hangat mengenai baju di pergelangan tangannya. ****!
OMG. Tak percaya melihat hal barusan yang membuat tubuh Sekertaris Li menegang, melihat wajah Jordan yang pucat. Sekertaris Li yakin, tuannya akan ikut muntah! Dia buru-buru memberikan sekotak tisu dan sang tuan lalu mengelapi tangan kekar itu dengan tisu.
What the hell ....? Mulut sang sekretaris melongo, tuannya justru mengadahkan tisu ke ujung mulut Febi yang akan muntah.
Muntahan cairan seperti susu, membuat Jordan yakin, pemandangan ini akan membuatnya tidak bernafsu makan selama seminggu. Tapi, kenapa aku di sini dan mengurus istri orang!
"Tuan, biar saya saja," kata pelayan perempuan yang sigap dan baru mengambil handuk mini dari kamar mandi.
Handuk itu langsung disambar Jordan. "Ambil yang banyak!" Handuk itu ditaruh di atas bantal untuk menutupi muntahan.
"Apa aku harus memijat lehermu?" Tanya Jordan yang ikut meringis, kewalahan karena ekspresi perempuan yang bahkan belum ada tiga jam ditemuinya!
"Tuan, ini minyak kayu putih atau saya saja, yang memberikannya ke leher itu untuk menghangatkannya," ucap pelayan itu.
Jordan menyambar botol mini yang telah dibuka tanpa menjawab pelayan. Aroma semeriwing minyak kayu putih itu menguar, sedikit menekan aroma kecut dari muntahan barusan. Jordan membalurkan minyak kayu putih ke tengkuk yang terasa dingin dan basah oleh keringat. Kemudian kening dan ujung hidung febi.
"Mama pasti sangat kangen papa," rengekan Mia makin menjadi-jadi. Dia menggerakkan badan, ingin turun dari gendong pelayan perempuan.
"Cup-cup, Nona. Mama Nona tidak apa-apa. Kita keluar kamar, ya?" kata pelayan dengan wajah pucat karena tuannya tidak suka keributan.
Febi mendengar tangisan anaknya, tapi menggeser kepala sedikit saja membuat pusing. Dia pasrah, termasuk sekadar untuk membuka mata, dia belum mampu.
Dokter datang dan langsung memeriksa Febi. Jordan pergi ke kamar mandi untuk membersihkan tangan dan sebagian bajunya. Lalu keluar mendekati Mia. "Kamu mau digendong Paman, Girl?"
Mia mengangguk, lalu dirinya melayang dan berpindah ke gendongan pria dewasa. Dia terdiam terpanah pada kehangatan yang menempel dari tubuh kokoh ini. Jauh terasa lebih luas dari pada gendongan Papa Mike. Terasa nyaman, kepala pun pasrah disandarkan di bahu kekar itu setelah mendapat usapan tangan besar. Rasanya, menyenangkan. Namun, begitu melihat mamanya yang tengah ditanya-tanya oleh dokter, dia kembali sesenggukan.
"Paman, tolong telepon papanya Mia?" Mia dengan wajah sendu dan mampu menggelitik hati Jordan.
"Ya bisa." Tanpa banyak berpikir Jordan beralih ke Sekretaris Li. "Cepat kau dengar apa maunya?"
Sekertaris Li mengangguk. Dia keluar dari kamar lalu menelpon nomor kantor Mike. Panggilan itu terhubung dengan sekretaris perempuan dari kantor milik Mike, lalu disalurkan ke ruangan kerjanya.
"Halo, Tuan Mike, saya Li Shaw dari Aurora Medika Corporation. Istri anda yang sedang mengajar di tempat kami, tiba-tiba jatuh sakit dan kini sedang ditangani oleh dokter."
"Apa .... ?" suara Mike terkejut. "Katakan cepat, di mana dia sekarang!" Kini nadanya berubah khawatir.
"Tapi, Mia menangis ingin mendengarkan suara anda. Tolong beri pengertian agar dia tidak terlalu sedih." Sekertaris Li terkejut karena tuannya sudah di belakang.
Batu selesai Jordan mengatur panggilan dalam mode speaker. Mia langsung menyambar ponsel dengan tangan mungil dan mengadu dengan bibir yang begitu mengerucut. Saat melihat bulu lentik anak itu basah dan dilewati lelehan cairan bening, Jordan mendadak lemas.
"Papa, Papa, tolong mama-sakit! Papa jemput mama, Mia takut, mama sakit!" Mia merengek, membuat Jordan dan Sekertaris Li saling tatap.
"Tenang, Papa akan ke situ sekarang, ya Nak. Mia jangan nangis lagi, Papa ini mau jemput kalian. Anak yang sabar disayang Allah. Jadi, Mia sabar ya, sekarang berikan teleponnya pada paman tadi, ya?"
Mia memeluk leher pria dewasa yang menggendongnya setelah ponsel diambil alih oleh si pemilik ponsel. Dia merasa nyaman di dalam gendongan pakan yang baik hati.
Jordan entah takjub atau bingung saat merasakan hangatnya tubuh mungil di dalam gendongnya. Ringan sekali. Ini menyenangkan. Hatiku ikut hangat. Apa seperti ini memiliki anak perempuan?
Sementara itu, anak febi lainnya, yang berdiri di dekat pintu melihat Mia digendong. Adam juga ingin tahu seperti apa rasanya digendong oleh Paman Jordan. Namun, dia hanya bisa diam.
Kini Adam marah pada Papa Mike, tapi hatinya mendadak ragu karena mendengar papa akan datang. Mungkin, kalau papa menggendongku, aku bisa memaafkan papa dan tidak akan marah lagi.
Dokter keluar dari kamar dan berbicara dengan Paman Jordan. Adam perlahan naik ke tempat tidur dan duduk di samping mamanya. "Mama, Papa Mike akan menjemput kita. Mama jangan sakit lagi, ya."
"Apa-" Mata Febi langsung membuka dengan tidak percaya. Tanpa berani menggerakkan kepala, dia memutar bola mata dan membelai rambut Adam, yang wajahnya kebingungan.
Benarkah, yang dikatakan Adam? Mike beneran mengangkat telepon? Ya .... Aku juga ... masih percaya bahwa dia peduli dengan kami! Batin Febi dengan bibir bergetar dan perlahan membentuk senyuman.
Kerinduan mendera hati, ingin Febi langsung melihat wajah Mike, mendekapnya erat-erat. Berharap bisa kumpul lagi, karena dua minggu ini sudah sangat menyiksa.
"Mama mana yang sakit? Adam pijatin, ya?" Adam menyentuh kening mama dengan tangan mungilnya.
"Yang sakit hati Mama, Sayang. Tapi tidak lagi sakit, karena Papa Mike akan menjemput kita, Ya Nak," batin Feby. Dia harus cepat pulih, jangan sampai nanti Mike sedih melihatnya seperti ini.
"Mama hanya perlu terpejam sebentar, Nak. Jangan khawatir" Febi melirik ke sekitar tanpa menggerakkan kepala. "Di mana adek?"
"Adek lagi digendong Paman Jordan."
"Mrs. Febi, papa akan bawakan obat untuk Mrs.Febi," kata Evan dengan raut cemas dan berdiri di samping ranjang m "Mrs. Febi cepat sembuh, ya, lalu bermain bersama Evans lagi."
"Terimakasih banyak, Evan." Febi mengelus kepala Evan dengan lembut.
"Apa-apaan ini?" suara seorang perempuan yang lantang datang dari arah pintu. Dia memelototi dua pelayan perempuan dan berbicara keras. "Keluar!"
"Mami, Mrs. Febi sakit." Evan mendekati mamanya yang sudah berdiri dua meter di depannya.
"Evan, kemari!"
Belum sempat Wvan bergeser, dua pelayan perempuan dan satu pelayan pria yang sudah di dekat pintu, juga Adam dan Evan terkejut pada siraman air bening dari gelas yang baru diraih perempuan dewasa itu yang membuat baju bagian atas Febi dan Adam menjadi basah.
"Berani sekali berlagak sakit? Apa kau mau menggoda papanya Evan, ha? Jangan mimpi!" Jesslyn dengan suara sinis dan membuat Febi duduk lalu memeluk bocah berambut keriting.
"Saya bukan seperti yang Anda pikirkan, Nyonya Jesslyn-" Febi mengabaikan sensasi bumi yang terasa bergoyang, makin merengkuh adam yang gemetar.
"Berani sekali, kalau bukan begitu, lalu apa ini!" Jesslyn melempar gelas kaca karena wanita itu bergeser ke pinggir tempat tidur. Suara gaduh gelas pecah tak menghentikan kegeramannya.
Takut mendapat hukuman, pelayan pria mundur perlahan dan mencari tuannya yang sudah tidak ada di situ. Pelayan itu melapor atas apa yang barusan dilihatnya melalui ear piece.
"Aku mengundangmu kesini hanya untuk membantunya belajar. Begini saja tak tahu!" Jeslyn yang memakai sepatu hak, melewati pecahan beling dan menarik lengan Febi sampai berdiri. "Kau hanya tenaga pengajar rendahan!"
Adam terlepas dari tangan Febi dan terjerembab ke kasur, sedangkan Febi jatuh ke lantai karena kehilangan keseimbangan, lalu menimpa pecahan beling.
"Agrr!" Febi menahan perih di kaki. Merasakan pergerakan putranya turun ke lantai, Febi menyilangkan tangan. "Jangan bergerak, Adam."
Pandangan Febi mulai gelap, tetapi masih mendengar cercaan wanita yang kini menjambak rambutnya. Dia menyayangkan diri sendiri, mengapa disaat seperti ini dia lemah di depan putranya.
"Kau mau berakting lagi? Sengaja banget mencari perhatian suamiku!"
"Mama, jangan marah dengan Mrs.Febi!" pinta Evan mulai sesenggukan.
"Cukup!" suara Jordan yang tegas walau tidak terlalu keras. Dia menurunkan Mia dari gendongan. Semua orang rumah berubah pucat melihat Jordan yang baru masuk dengan aura paling mendominasi.
Feby bertumpu di lantai demi menjaga keseimbangan, sementara tangan lain masih menahan Adam.
"Kau tidak apa-apa?" Jordan sudah berjongkok di depan Evan dan merengkuh tubuh putranya yang ketakutan. Tangannya terkepal, karena Jesylin tak menjaga sikap di depan putranya sampai membuat tubuh Evan gemetaran. "Papa di sini. It's oke, semua baik-baik saja, tidak ada yang menyakitimu."
Jordan terkejut melihat darah di kaki Febi. Hati nurani tergerak untuk menolong tetapi dia enggan memperkeruh suasana. Pandangannya meredup begitu sadar mata Adam sudah merah dan berair, tengah menatapnya dengan pandangan sulit dimengerti.
"Sayang, dia berlebihan dan pura-pura jatuh dengan sendirinya. Ya, kan, Evans?" suara Jesylin dengan tekanan di akhir, seolah meminta jawaban Evan.
Jordan menatap tajam mata Jeslyn, mencoba menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskan dari mulut. Lalu mengayunkan kepala ke arah pintu, dan berbisik. "Keluar."
Hawa dingin menyelimuti tubuh Jeslyn. Tapi, dia tidak mau melawan. Dia ingin menendang wajah febi, tetapi mendengar suara gigi-gigi Jordan yang bergemerutuk dan geram membuat dia menahan kaki di udara dan mau tak mau menyusul Jordan.
"Antar mereka sampai rumah," kata Jordan saat melewati Sekertaris Li.
"Baik, Tuan." Jordan menunggu majikannya pergi. Dia mengundang masuk dua pelayan perempuan. "Cepat bersihkan darah Mrs. Febi."
Pintu kamar tamu ditutup dan Sekertaris Li di luar kamar, mencoba menelpon ke kantor Mike untuk menanyakan nomer ponsel. Namun, dia justru terkejut mendengar penuturan dari seorang perempuan dibalik telepon.
"Maaf, Tuan Li Shaw. Tuan Mike berpesan bahwa beliau batal menjemput Nyonya Febi. Sekiranya, Anda berbaik hati, Anda bisa langsung menghubungi orang tua dari Nyonya Febi agar menjemput sendiri. Begitu saja pesan dari Tuan Mike, Terimakasih."
Sekretaris Li membeku. Bukannya tadi Tuan Mike terdengar khawatir, tetapi kenapa jadi seperti ini?Tidak lama setelah itu Febi dan Adam keluar dengan pakaian seragam yang basah, tetapi pergelangan kaki Febi telah diperban.
Febi mengangguk hormat, di mana dia diapit si kembar. "Saya akan pulang saja, tidak perlu berganti pakaian. Kebetulan di mobil ada pakaian Adam. Terimakasih untuk obatnya ini akan saya bawa pulang, Sekertaris Li." Febi tersenyum dengan wajah pucat, dan mulai jalan.
"Ayo, Sayang, pulang."
Adam dan Mia terus melihat mata mamanya yang tampak tak fokus satu ke kanan-satu ke kiri. Mana sedikit terhuyung, tetapi tetap melangkah. Mereka menurut setelah mendengar kabar bahwa papa akan menunggu di depan rumah ini.
"Mrs.Febi!"
Febi menoleh pada saat membuka pintu mobil di pelataran, di mana si kembar sudah di dalam mobil. Dia melihat Jordan sedikit berlari ke arahnya. Eh, tubuhnya mendadak limbung dan sedikit tidak siap.
Tubuh Febi melayang ke belakang dan wajah casanova entah begitu cepat sudah di atasnya. Suara ngos-ngosan nafas Jordan dan satu bulir keringat itu jatuh dari ujung hidung Jordan ke pipinya.
Tangan Jeslyn terkepal melihat pemandangan Jordan memegangi pinggang dari ahli pengajar itu. Dia mendapat peringatan Jordan, sedangkan Febi baginya, enak-enakan melancarkan pendekatan secara licik. Sungguh, tidak bisa dibiarkan, pikirnya menyesali ide sendiri untuk memanggil guru favorit Evan agar datang ke rumah.
"Tolong, jangan sentuh saya, biarkan saja saya jatuh," ucap Febi sambil menepis tangan kekar darinya.
"Keras kepala, berdiri saja tak becus, apa kau mau menyetir kendaraanmu sendiri dan membahayakan nyawa anak-anakmu?" bisik Jordan di atas telinga Febi saat mata wanita itu seperti mau pingsan. Dirangkul perut Febi, sambil digeser, sementara tangan lain membuka pintu mobil bagian belakang.
Di dudukan wanita itu, yang mana kepala itu terlempar ke belakang sudah tidak berdaya. Jordan mengedipkan satu mata ke Adam yang menatapnya dengan serius.
"Jadi, apa kalian hafal letak rumah kalian?" tanya Jordan sambil menyalakan mesin mobil. Mia yang sudah duduk di sisi kirinya langsung menunjuk ke map mobil bertuliskan home.
"Mama bilang kalau papa akan datang, jadi kami tunggu di depan, ya Adam?" ujar Mia dengan wajah antusias.
Adam mendongak, tak menjawab. Dia menelpon nomer papa yang masih tidak aktif.
"Paman akan mengantarkan kalian pulang, ya?"Jordan melihat ke spion pada dua mobil anak buahnya yang mengikuti dari belakang.
"Tolong berhenti di depan saja, saya akan menelpon seseorang." Febi menolak Jordan yang adalah bos dari segala bos mengantarnya. Dia enggan berhutang budi, tapi mobil itu terasa berjalan dan membuatnya makin mual.
Bukannya di antar ke rumah, Febi justru dipindahkan ke ranjang rumah sakit. Bahkan Jordan yang menggendong sendiri saat Febi masih terus menolak.
Kini Jordan duduk di kursi tunggu. Mia terantuk ke depan dan ditangkap Jordan. Setelah tubuh mungil itu ditarik ke belakang, Mia membuka mata tetapi tertidur lagi, saking mengantuknya.
"Paman, terimakasih telah membawa mama saya, ke sini." Adam memandang pria dewasa itu dengan wajah sendu. Dia bahkan telah berganti baju milik Evan, dia memakai sendiri dalam perjalanan ke rumah sakit saat mobil lain menyusulkan baju kering ini di tengah perjalanan.
Jadi ini suara Adam? Jordan mengusap rambut belakang Adam. "Sama-sama, Adam. Apa papamu selalu sibuk seperti ini?"
"Papa Mike tidak pulang-pulang dan mama selalu menunggu. Mama sakit begini pasti karena kangen papa."
"Tidak pulang?" Jordan terkejut sampai ponselnya hampir terlepas, tapi ditangkap kembali. Padahal , tadi di rumah mendengar suara suami Febi yang cemas ketika bilang akan datang- sebelum akhirnya justru mendapat kabar batalnya kedatangan Mike.
Suami seperti apa yang tidak peduli dengan kabar bila istrinya sakit. Mengapa justru dilempar tanggung jawab itu ke mertua? Jordan pikir ada yang tidak beres.
Hari telah gelap ketika mobil Jordan berhenti di rumah besar yang katanya ditinggali Febi dengan Mike. Jordan memarkirkan mobil Febi di lobi, setelah pamitan, dia masuk ke mobil Toyota Camry.
Pria itu menatap serius ke jalanan yang dilewati, lalu berkata pada Li Shaw yang tengah mengemudi. "Cari tahu kedepannya apa Mrs. Febi bisa tetap profesional? Sekiranya masalah pribadi itu akan mempengaruhi kinerjanya dalam mengajar Evan, maka cari tenaga pengajar lain yang lebih handal."
"Apa Anda serius, Tuan?"
"Aku tidak peduli walaupun dia rekomendasi khusus dari pendidikan sekolah khusus Dr Montessori California, tapi kalau dia tidak profesional, untuk apa?"
"Baik, Tuan. Namun, darimana anda tahu dia ada masalah, padahal saya masih mengumpulkan kebenarannya?"
"Seorang suami yang tidak pulang selama berhari-hari, sedangkan jarak kantor dan rumah masih dapat dijangkau. Kalau bukan hanya karena masalah dalam kehidupan mereka, lalu apa lagi?"
"Tuan, hari ini Anda terlalu peduli pada orang asing." Li Shaw mengangkat satu sudut bibirnya.
"Apa maksudmu bilang begini, hs?"
"Tidak ada. Tapi, ini seperti bukan Anda saja."
"Itu demi Evans. Evans selalu menyebut wanita itu sampai membuat kupingku sakit." Jordan mengembuskan napas kasar. "Pantau si kembar, jika terjadi perubahan perilaku ke arah negatif, segera jauhkan dari putraku. Langsung pisahkan segera ya, atau memindahkan si kembar ke sekolah lain."
"Saya rasa itu tidak akan, Tuan? Bukannya, Anda sendiri pun menyadari Evan kita mulai banyak berinsiatif, banyak bicara, walau masih dalam lingkup orang terdekat, tapi itu sejak mengenal Adam dan Mia, ya kan. Saya rasa gadis kecil nan cerewet itu mampu memancing Evans sampai mau tak mau menjawab pertanyaan Mia yang selalu ingin tahu soal Evan."
Jordan mengembus napas kasar dan satu sudut bibirnya terangkat, dengan menahan tawa. "Benar, putraku telah banyak mengalami perubahan."
Evans mengalami penculikan di usia tiga tahun
Jordan berhasil menebusnya dengan sejumlah uang, tetapi tidak bisa menangkap pelakunya. Lalu, putranya menjadi sering menarik diri dan ketakutan melihat orang asing. Setelah menyelediki lewat semacam terapi, dapat ditarik kesimpulan, kalau putranya itu melihat penyiksaan keji yang bukan untuk konsumsi anak-anak. Bahkan, apa yang digambar anaknya itu sangat mengerikan.
Lambat laun, tenaga ahli terapi berhasil mengurangi menghapus memori menakutkan di dalam pikiran putranya. Meski, tetap saja beberapa kali Evans menjerit histeris akibat mimpi buruk dan berujung demam.
Kemudian Evans mulai menunjukkan perilaku normal setelah akhir-akhir ini sering bermain dengan si kembar. Maka dari itu, dia langsung setuju saat Jesylin meminta mendatangkan guru favorit Evans ke rumah. Bukan lain, hanya demi mengembalikan kepercayaan diri putranya.
setiap kalimat mudah di pahami sukses ya kak