Perjalanan hidup Kanaya dari bercerai dengan suaminya.
Lalu ia pergi karena sebuah ancaman, kemudian menikah dengan Rafa yang sudah dianggap adiknya sendiri.
Sosok Angela ternyata mempunyai misi untuk mengambil alih harta kekayaan dari orang tua angkat Kanaya.
Selain itu, ada harta tersembunyi yang diwariskan kepada Kanaya dan juga Nadira, saudara tirinya.
Namun apakah harta yang di maksud itu??
Lalu bagaimana Rafa mempertahankan hubungannya dengan Kanaya?
Dan...
Siapakah ayah dari Alya, putri dari Kanaya, karena Barata bukanlah ayah kandung Alya.
Apakah Kanaya bisa bertemu dengan ayah kandung Alya?
Lika-liku hidup Kanaya sedang diperjuangkan.
Apakah berakhir bahagia?
Ataukah luka?
Ikutilah Novel Ikatan Takdir karya si ciprut
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon si ciprut, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ambisi Angela
Di meja kerja rumah Kanaya—yang kini terasa seperti milik Angela sepenuhnya—Barata duduk terpaku. Di hadapannya tergeletak selembar berkas perceraian yang belum ditandatangani.
Tangan Barata gemetar halus.
Ia menatap kosong pada namanya sendiri, lalu pada kolom di mana nama Kanaya tertera.
Nama yang dulu ia tulis dengan penuh cinta menurutnya, saat diundang ke pernikahan.
Kini… hanya sebuah formalitas untuk memutus ikatan.
Angela berdiri di belakangnya, kedua tangan melingkar di bahu Barata seperti belenggu manis.
“Ayo, Taa…” bisiknya lembut namun tajam.
“Kamu sudah memilih aku. Kamu sudah mengusir dia. Sekarang kita selesaikan semuanya.”
Barata menelan ludah.
Ada sebagian dari dirinya yang ingin berontak—yang merasa bersalah setiap mengingat Kanaya menangis sambil memeluk bayinya.
Tapi Angela memutar kursi Barata menghadap ke arahnya.
Tatapan matanya dingin, tidak menyisakan ruang untuk penolakan.
“Kamu tidak ingin dia kembali, kan?”
“Kamu tidak mau dia mengganggu hidup baru kita?”
Kalimat itu menusuk dalam.
Hidup baru… tapi kenapa dada Barata terasa semakin sempit?
Angela meletakkan sebuah pena di tangan Barata.
Jari-jarinya yang runcing mengencang, seolah memaksa.
“Dia yang pergi. Dia yang menyembunyikan anak itu darimu.”
“Dia bukan istri yang kamu inginkan.”
Barata menutup mata sejenak.
Suaranya pecah, hampir tak terdengar.
“Tapi… dia masih ibu dari——”
Angela menepuk wajah Barata ringan, menghentikan kalimat itu.
Senyumnya seolah penuh sayang, namun sorot matanya mengancam.
“Lupa ya?” suaranya melengking pelan.
“Dia ibu dari anak orang lain.”
Jantung Barata mencelos.
Angela memeluk sisi wajah Barata dengan kedua tangannya, memaksa Barata menatap mata predatornya.
“Tulis tanda tanganmu.”
“Aku tidak ingin wanita itu ada lagi dalam hidupmu.”
“Atau hidup kita.”
Kata “kita” terdengar bagaikan jerat.
Dengan napas berat, Barata akhirnya menggoreskan namanya di atas kertas itu.
Pena bergetar, tinta sedikit bercecer.
Angela tersenyum lebar.
Ia meraih kertas itu, mencium pipi Barata pelan.
“Good boy.”
Barata menatap lembaran yang baru saja ia tandatangani.
Ada sesuatu yang mati di dalam dirinya.
Untuk pertama kalinya sejak Kanaya pergi…
Barata mulai bertanya-tanya apakah keputusan yang ia ambil semalam lalu—mengusir istri dan bayinya—akan menghantuinya seumur hidup.
Tapi Angela sudah mengambil dokumennya…
…dan yang lebih menakutkan lagi:
Angela tidak akan berhenti sampai Kanaya benar-benar hilang.
*
Siang itu rumah terasa panas seperti bara.
Angela berdiri di ruang tengah dengan wajah menegang, memegang setumpuk dokumen—SHM rumah, sertifikat tanah keluarga, rekening bank, bahkan mobil yang diparkir di garasi.
Semua… masih atas nama Kanaya.
Lembar-lembar kertas itu diremasnya tanpa ampun.
“Perempuan itu benar-benar licik!”
Suara Angela pecah, penuh amarah terselubung.
Barata yang baru turun dari lantai atas terdiam melihatnya menggebrak meja.
“Kenapa kamu tidak pernah… memindahkan ini ke namamu sendiri?”
Angela memelototi Barata dengan tatapan yang hampir membunuh.
Barata kaget, mencoba menenangkan, “Angela… ini rumah Kanaya dari orang tua angkatnya. Aku tidak bisa—”
“Tidak bisa?” Angela mendesis.
“Tidak bisa atau tidak mau?!”
Barata menunduk.
Ia tahu Kanaya selalu menjaga aset-aset itu sebagai warisan.
Ia tahu ia tak pernah menyentuh hak milik istrinya… bahkan ketika pernikahan mereka retak.
Angela melempar map tebal itu ke lantai.
Dokumen-dokumen penting itu berserakan seperti sisa pertempuran, namun bagi Angela… ini adalah deklarasi perang baru.
“Kita sudah usir dia.”
“Kita sudah buat dia pergi tanpa apa pun.”
“Tapi semua ini masih atas nama dia.”
Angela menatap Barata setajam belati.
“Dan aku tidak tidur di rumah milik perempuan itu.”
Nada suaranya mendidih.
Kepalanya dipenuhi rencana.
Barata mencoba mengambil map dari lantai. “Angela, tolong. Kita bisa urus nanti. Jangan—”
Angela menampik tangannya kasar.
“Nanti? Sementara dia mungkin mencari dukungan orang kampung, atau membawa kasus ini ke pengadilan?!”
“Mau kamu kita kembali hidup miskin dan jadi bahan tertawaan?”
Barata membeku.
Sedikit demi sedikit, ia mulai melihat obsesi di balik cinta Angela.
Angela mengambil ponsel.
Matanya menyipit, bibirnya melengkung dalam senyuman yang sangat dingin.
“Aku akan cari pengacara terbaik.”
“Aku akan rebut semuanya.”
“Aku akan pastikan Kanaya tandatangan, walau dia harus menangis darah.”
Barata terdiam—gugup, takut… dan untuk pertama kalinya, menyesal telah memberinya ruang di hidupnya.
Angela mendekat, menangkup wajah Barata paksa, suaranya rendah tapi menusuk:
“Kalau kamu tetap bersamaku… kamu harus menyingkirkan semua yang aku benci.”
“Termasuk dia… dan bayinya.”
Barata menatap Angela—dan ia mulai melihat sesuatu yang mungkin terlambat ia sadari:
Angela tidak hanya ingin dirinya…
Angela ingin seluruh hidupnya.
Dan di suatu tempat yang jauh dari kota ini…
Kanaya masih memegang hak atas semuanya—
yang berarti Angela baru saja memulai perburuan yang lebih kejam.
Angela duduk di ruang tamu dengan laptop menyala dan ponsel di tangan.
Di layar, terlihat peta kota dan jaringan alamat—tempat terakhir Kanaya terlihat.
Ia sedang melakukan sesuatu yang Barata tidak tahu:
menghubungi seseorang yang spesialis melacak orang hilang.
Suara di telepon terdengar berat, dingin.
“Nama target: Kanaya Putri.
Usia 24.
Membawa bayi laki-laki, 4 bulan.
Tidak punya kendaraan.
Kemungkinan besar bersembunyi di daerah pinggiran atau kampung.”
Angela mengetukkan jemarinya di meja.
“Aku ingin informasi itu secepatnya. Tidak peduli berapa biayanya.”
“Kalau ketemu?” suara di seberang bertanya.
Angela tersenyum kecil—senyum penuh niat buruk.
“Jangan lakukan apa-apa dulu. Cukup beri aku lokasinya.
Aku yang akan datang mengambil hakku.”
Ia menutup telepon.
Nafasnya teratur… tapi mata Angela menyala seperti orang yang mencium kemenangan.
Beberapa jam kemudian, pria yang ia bayar—, seorang mantan debt collector—datang membawa berkas.
“Rekam CCTV jalanan semalam terakhir dia terlihat.
Dia naik taksi menuju terminal,” katanya sambil mengeluarkan foto.
Angela menyipitkan mata.
“Dan ini… tiket bus tujuan kabupaten dekat pegunungan. Nama penumpang disamarkan, tapi waktu dan penampilan cocok.”
Orang itu melempar foto lain—hasil kamera ponsel, agak blur, tapi jelas:
Kanaya menggendong bayinya dalam keramaian terminal malam.
Angela menahan senyum puas.
“Di kabupaten mana dia turun?”
“Belum jelas. Tapi aku sudah kontak beberapa sopir angkutan desa. Ada yang bilang semalam ada penumpang perempuan turun di jalan dekat pasar lama.”
Angela berdiri.
Langkahnya ringan, seperti ratu yang baru memenangkan satu pertempuran besar.
“Teruskan pencarian. Tanya semua warung, ojek, pos keamanan.
Perempuan dengan bayi… tidak akan sulit ditemukan.”
Orang itu mengangguk, menerima amplop tebal.
“Kalau ketemu, telepon langsung.
Jangan mencoba menyentuh mereka,” Angela memperingatkan, nadanya penuh ancaman halus.
“Kalau kamu menyakiti dia sebelum aku sampai… aku yang akan menyakiti kamu.”
Orang itu menelan ludah. “Siap.”
Setelah pria itu pergi, Angela duduk dan membuka dokumen perceraian di meja.
Ia menyandarkan tubuh, menatap tanda tangan Barata.
Matanya memantulkan ambisi yang menggelap:
“Rumah itu milik aku.”
“Mobil itu milik aku.”
“Dan hidup Barata… sepenuhnya milik aku.”
Kanaya mungkin lari tengah malam, tapi itu tidak akan menyelamatkannya.
Angela sudah mencium jejaknya.
Dan ia tidak akan berhenti
sampai perempuan itu kehilangan semuanya—
termasuk anak yang ia peluk dengan nyawa sendiri.
Di sisi lain kampung…
Kanaya mulai merasa tidak enak—seolah seseorang sedang mendekat, langkah demi langkah.
Sementara Rafa—
sudah bersiap menjadi benteng pertama sebelum ancaman itu tiba.
.
.
.
BERSAMBUNG
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
kira2 gmn akhir dari kisah ini
hahh jd anak itu anak siapa alya kok bisa kanya sma barata dan kok bisa alya hamil hadeh kepingan puzel yg bener2 rumit tingkat dewa 🤣🤣🤣🤣
jawaban dr alya anak dia bukan kira2 kasih flash back nya kapan 🤣🤣🤣
jane apa.sih iki 🤣🤣🤣