---
📖 Deskripsi: “Di Ujung Ikhlas Ada Bahagia”
Widuri, perempuan lembut yang hidupnya tampak sempurna bersama Raka dan putra kecil mereka, Arkana. Namun di balik senyumnya yang tenang, tersimpan luka yang perlahan mengikis keteguhan hatinya.
Semuanya berubah ketika hadir seorang wanita kaya bernama Rianty — manja, cantik, dan tak tahu malu. Ia terang-terangan mengejar cinta Raka, suami orang, tanpa peduli siapa yang akan terluka.
Raka terjebak di antara dua dunia: cinta tulus yang telah ia bangun bersama Widuri, dan godaan mewah yang datang dari Rianty.
Sementara itu, keluarga besar ikut memperkeruh suasana — ibu yang memaksa, ayah yang diam, dan sahabat yang mencoba menasihati di tengah dilema moral yang makin menyesakkan.
Di antara air mata, pengkhianatan, dan keikhlasan yang diuji, Widuri belajar bahwa bahagia tidak selalu datang dari memiliki… kadang, bahagia justru lahir dari melepaskan dengan ikhlas.
“Karena di ujung ikhlas… selalu ada bahagia.”
---
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zanita nuraini, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 27-PERJANJIAN RAKA
Beberapa hari setelah kedatangan keluarga Wijaya yang pertama, suasana rumah Raka kembali dibuat tegang.
Tidak ada suara tawa, tidak ada percakapan ringan. Hanya keheningan yang terasa menekan, seperti udara yang enggan bergerak.
Pagi itu, matahari belum sepenuhnya naik, tapi suasana rumah sudah ramai oleh rasa canggung yang tak terucap.
Ibu Ratna duduk di ruang tamu dengan wajah tenang, meski di dalam dadanya jantung berdebar kencang. Ia tahu, hari ini bukan hari biasa. Ini hari di mana masa depan anaknya akan berubah — entah jadi lebih baik atau justru hancur.
Pak Adi mondar-mandir di dekat jendela, sesekali melihat keluar, menunggu kedatangan tamu yang sudah dijanjikan.
“Masih pagi, tapi aku udah deg-degan kayak mau lamaran lagi,” gumamnya pelan.
Tak lama kemudian, suara mesin mobil terdengar dari halaman. Sebuah mobil hitam berhenti perlahan.
Dari dalamnya turun Nyonya Cassandra, suaminya, dan Rianty yang tampak anggun dengan pakaian peach lembut.
Rambutnya digerai sederhana, wajahnya tenang tapi jelas terlihat gugup di balik senyum sopannya.
“Assalamu’alaikum,” sapa Nyonya Cassandra, suaranya datar tapi berwibawa.
“Wa’alaikumussalam, silakan duduk,” jawab Pak Adi dengan sopan, meski senyumnya terasa kaku.
Ibu Ratna menyambut mereka dengan teh dan kudapan, berusaha menutupi gugupnya dengan basa-basi ringan.
Namun semua tahu, tak ada yang bisa mencairkan suasana hari itu.
Sementara itu, dari balik tirai ruang makan, Widuri berdiri diam sambil menggenggam gelas air.
Tangannya gemetar, matanya tak lepas dari pemandangan di ruang tamu.
Setiap kalimat yang keluar dari sana terasa seperti ancaman bagi ketenangan hidupnya.
Ia menelan ludah, menahan air mata yang sudah menggenang sejak subuh tadi.
Tangga berderit pelan. Raka turun perlahan, mengenakan kemeja putih dan celana hitam.
Wajahnya datar, tapi dari sorot matanya terlihat jelas — ada kelelahan, ada keraguan, dan ada rasa bersalah yang menumpuk.
Langkahnya terasa berat, tapi ia tetap melangkah, seperti seseorang yang tahu dirinya sedang menuju jurang, namun tak bisa mundur.
Ia memberi salam dan duduk di hadapan keluarga Wijaya.
Hening sejenak, hanya suara detik jam dinding yang terdengar jelas, mengiringi ketegangan di udara.
Raka menatap lurus ke depan. “Baiklah,” katanya akhirnya, suaranya tenang tapi tegas.
“Saya sudah pikirkan semuanya. Demi menjaga nama baik keluarga, saya akan memenuhi permintaan kalian.”
Ia menatap Nyonya Cassandra langsung. “Saya akan menikahi Rianty.”
Kalimat itu menggema seperti palu yang memukul meja sidang.
Pak Adi spontan menarik napas dalam, sementara Ibu Ratna menunduk pelan, seolah sedang menahan sesuatu di dadanya.
Rianty yang duduk di samping ibunya menggenggam ujung rok, wajahnya menegang.
Nyonya Cassandra tersenyum tipis. “Keputusan yang bijak, Raka. Kamu membuktikan kalau kamu laki-laki yang bertanggung jawab.”
Namun sebelum ia sempat melanjutkan kata-katanya, Raka menatap tajam dan berkata,
“Tapi… ada satu hal yang harus saya sampaikan. Saya punya syarat.”
Suasana langsung berubah. Semua mata kini tertuju padanya.
Rianty menegakkan tubuhnya, menatap dengan bingung. “Perjanjian seperti apa, Mas?” suaranya lirih, nyaris bergetar.
Raka menarik napas panjang, lalu berkata dengan jelas,
“Perjanjian ini sederhana. Saya akan menikahimu secara sah, tapi… saya tidak akan menyentuhmu.
Tidak akan menganggapmu istri dalam arti hubungan suami istri. Pernikahan ini hanya untuk menjaga kehormatan dua keluarga. Tidak lebih.”
Hening.
Tak ada yang berani bersuara selama beberapa detik. Bahkan udara pun terasa membeku.
Nyonya Cassandra mengangkat wajahnya, menatap Raka dalam-dalam. “Kamu sadar konsekuensi dari ucapanmu?” tanyanya pelan tapi tajam.
Raka mengangguk. “Saya sadar. Dan saya sudah bicara dengan Widuri. Dia tahu dan sudah siap.”
Rianty menunduk, menatap lantai. Wajahnya memucat, bibirnya bergetar tapi tak ada kata yang keluar.
Ia mencoba tersenyum, tapi yang terlihat hanya ekspresi getir yang dipaksakan.
“Aku mengerti, Mas,” akhirnya ia berkata pelan. “Kalau itu syaratnya, aku terima.”
Suaranya lemah, tapi cukup untuk membuat Ibu Ratna menatap iba.
Pak Adi yang dari tadi diam akhirnya bicara, nadanya rendah tapi tegas.
“Raka, kamu yakin ini bukan keputusan karena tekanan?”
Raka menoleh ke arah ayahnya. “Aku yakin, Pak. Aku nggak mau mempermalukan keluarga kita. Aku juga nggak mau Widuri dan Arkana jadi korban kalau aku terus menolak.”
Nyonya Cassandra menyilangkan tangan, lalu menatap suaminya. “Kalau begitu, kita setuju dengan syarat itu.
Yang penting, pernikahan ini tetap sah secara hukum dan agama. Tidak ada yang dirugikan secara nama baik.”
“Baik,” jawab Raka datar. Ia lalu mengeluarkan berkas yang sudah ia siapkan — lembaran perjanjian tertulis dengan tanda tangan dan saksi.
Ia menyerahkan kertas itu kepada pihak keluarga Wijaya.
Suara pena menggores kertas terdengar jelas. Satu per satu menandatangani — dan setiap goresan terasa seperti memotong sesuatu di dalam dada Widuri yang masih berdiri di balik dinding.
Tangannya gemetar, air matanya akhirnya jatuh tanpa bisa ditahan.
Ia tahu ini akan terjadi, tapi mendengarnya langsung tetap membuat dadanya sesak seperti dihimpit batu besar.
Begitu perjanjian itu selesai, Nyonya Cassandra berdiri dan berkata dengan senyum tipis,
“Kalau begitu, kita tunggu hari baiknya. Terima kasih, Raka. Kamu sudah membuat keputusan yang benar.”
Ia menggenggam tangan Rianty, lalu melangkah keluar rumah tanpa menoleh lagi.
Pintu tertutup perlahan.
Begitu suara mobil menjauh, rumah itu langsung terasa kosong.
Hanya ada Raka yang duduk di sofa, menatap kosong ke arah meja.
Tangan kanannya masih menggenggam pena yang barusan ia gunakan untuk menandatangani perjanjian hidupnya sendiri.
Pak Adi berdeham pelan, lalu pergi ke belakang rumah tanpa bicara.
Ibu Ratna menatap anaknya lama, tapi tidak berkata apa-apa. Ia tahu, apa pun yang ia ucapkan hanya akan memperburuk luka yang sudah ada.
Ia berjalan pelan menuju dapur, menyeka matanya diam-diam.
Raka masih diam. Pandangannya kosong.
“Masih pantaskah aku disebut suami?” pikirnya dalam hati.
Tiba-tiba terdengar langkah pelan dari arah dapur. Widuri muncul dengan wajah tenang, meski matanya sembab.
Ia membawa segelas air putih, lalu meletakkannya di meja depan Raka.
“Mas… minum dulu,” katanya lembut.
Raka menatap wajah istrinya lama. Ada seribu kata yang ingin ia ucapkan, tapi tak satu pun keluar.
Ia hanya mengangguk dan mengambil gelas itu, meneguk sedikit sebelum meletakkannya kembali.
Widuri menatapnya dengan tatapan yang sulit dijelaskan — bukan marah, bukan juga pasrah. Lebih ke lelah.
“Mas nggak perlu jelasin apa-apa,” katanya pelan. “Aku sudah tahu semuanya.”
Raka menarik napas panjang. “Wid… aku—”
Widuri memotong cepat, “Aku cuma minta satu hal.”
Raka menatapnya. “Apa itu?”
Widuri menatap lurus ke matanya. “Jangan lupa kamu punya aku dan Arkana yang selalu nunggu di rumah.
Jangan biarkan perjanjian itu bikin kamu lupa siapa yang benar-benar sayang sama kamu.”
Hening.
Raka menunduk. Tangannya mengepal, rahangnya mengeras. Ia ingin bicara, tapi lidahnya terasa kelu.
Akhirnya ia hanya menggenggam tangan Widuri.
Genggaman itu kuat, tapi dingin — seperti janji yang masih menggantung di udara, belum tahu apakah akan ditepati atau dilanggar.
Widuri perlahan menarik tangannya. “Aku ke kamar dulu. Arkana pasti nyari.”
Ia berbalik, melangkah tanpa menoleh lagi.
Raka menatap punggungnya sampai menghilang di balik pintu.
Di meja, lembaran perjanjian masih terbuka, tanda tangannya terlihat jelas di atas kertas putih.
Ia menatap tulisan itu lama, lalu berbisik pelan,
“Mulai hari ini, hidupku bukan lagi milikku sendiri.”
Di luar, angin bertiup pelan lewat jendela, mengibaskan tirai.
Dan di tengah keheningan itu, rumah mereka terasa semakin asing dari sebelumnya.
---
Waduh… akhirnya Raka resmi setuju menikah lagi kira kira gimana ya kelanjutan
Stay tune terus ya readers, jangan lupa like, komen, dan vote kirsan-nya!
---