kehilangan bukan lah kesalahan ku, tetapi alasan kehilangan aku membutuhkan itu, apa alasan mu membunuh ayah ku? kenapa begitu banyak konspirasi dan rahasia di dalam dirimu?, hidup ku hampa karena semua masalah yang datang pada ku, sampai aku memutuskan untuk balas dendam atas kematian ayah ku, tetapi semua rahasia mu terbongkar, tujuan ku hanya satu, yaitu balas dendam, bukan jatuh cinta.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nurliana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
moment
Pagi hari di rumah keluarga Zelena, pukul 09.00 WIB.
Zelena terbangun perlahan di kamarnya. Mata sayunya menatap kosong ke arah dinding. Pukul sembilan. Ia tidak pergi ke sekolah hari ini, masih terguncang oleh kejadian kemarin. Tubuhnya terasa berat, tapi ia tahu ia harus bangkit.
Dengan langkah pelan, ia turun ke lantai bawah. Aroma harum masakan menyambutnya dari dapur. Di sana, Leon sudah berdiri dengan apron, sibuk menyusun berbagai hidangan sarapan di meja makan. Ini bukan sekadar sarapan biasa—ini adalah bagian dari strateginya untuk menarik hati Zelena, dengan caranya sendiri.
“Sarapan?” tanya Leon pelan sambil menoleh, senyumnya ramah namun tatapannya menyimpan rasa.
Zelena diam sejenak, lalu melangkah mendekat. Ia duduk di meja makan, sedikit ragu. Ia ingin berterima kasih karena Leon sudah membantunya kemarin... tapi suasananya terasa canggung. Penyakitnya—yang selama ini ia sembunyikan rapat-rapat—tidak pernah diketahui siapa pun selain keluarganya.
Leon memperhatikannya, lalu dengan lembut menuangkan susu hangat ke dalam cangkir. “Kenapa hanya diam? Atau… Aomaja tidak mau makan?” godanya dengan suara pelan, namun penuh perhatian.
Zelena menarik napas, mengambil piring, dan mulai membuat roti isi untuk dirinya sendiri. “Kenapa aku tidak ke sekolah hari ini?” tanyanya, berusaha mengalihkan topik agar Leon tidak terus menatapnya begitu dalam.
Leon duduk di sebelahnya. Dengan lembut, ia menyibakkan rambut panjang Zelena ke belakang telinganya, lalu merapikannya. Jemarinya pelan dan penuh kasih, membuat suasana mendadak begitu intim.
“Karena sejak tadi kau belum bangun. Aku tak ingin mengganggu tidurmu,” ucapnya pelan, suaranya nyaris berbisik.
Zelena tersenyum pahit. “Baiklah. Aku dengar ayah akan pulang hari ini... bisa kau antar aku ke bandara? Aku ingin...” Suaranya terhenti. Ada keraguan yang tak mampu ia ungkapkan.
Leon menatapnya dengan lembut, walau ada sesuatu di matanya—rasa penasaran, atau mungkin lebih dari itu. “Aku tahu… kau dan Arman.” Ia menyebut nama itu begitu hati-hati, seolah tak ingin menyakitinya tapi juga tak bisa menyembunyikan rasa.
Zelena memalingkan wajah. “Ya. Semua orang yang melihat kami… pasti akan mengatakan hal yang sama.”
Leon menyandarkan tubuh ke kursi, pandangannya masih tak lepas dari gadis di hadapannya. “Kalau begitu, ceritakan semuanya padaku. Apa saja. Aku siap mendengarkan.”
Zelena menoleh padanya. Di mata Leon, ia tidak melihat penilaian. Hanya ketulusan. Hanya Leon—seseorang yang tak pernah ia sangka akan menjadi tempat berbagi rahasia.
“Aku menyukai Mas Arman. Ayah dan Kak Kenzo tidak tahu. Perasaan ini sudah lama kupendam...” katanya dengan lirih, polos, dan jujur. Hatinya bergetar saat mengatakannya, namun ia tahu ia perlu membebaskan diri.
Leon menyimpan setiap kata itu di dalam ingatannya. Dalam hati, ada perasaan aneh yang mulai tumbuh. Ia tidak menyangka akan cemburu—tapi itulah yang ia rasakan.
“Lalu, bagaimana jika kau dijodohkan dengan orang lain? Dengan seseorang yang baru kau kenal?” tanya Leon, seolah sekadar bertanya... padahal itu adalah jebakan yang ia siapkan bersama Alex.
Zelena menunduk, suaranya bergetar namun pasti. “Aku tidak suka perjodohan. Tapi kalau ayah dan Kak Kenzo yang meminta… aku tak akan menolak. Mereka adalah segalanya bagiku.”
Ia menambahkan, “Walau… kadang aku merasa mereka bukan keluargaku yang sebenarnya… tapi aku berharap itu cuma perasaanku.”
Leon menatapnya lebih lama, hatinya mulai tersayat.
“Ibumu? Kenapa kau tak pernah menyebutkannya?” tanyanya pelan.
Zelena menghindar. “Aku akan mandi. Kita langsung ke bandara setelah ini. Aku ingin bertemu Mas Arman...” ucapnya cepat, lalu meninggalkan meja makan dan naik ke kamarnya, meninggalkan Leon yang termenung sendiri.
*
*
*
Beberapa menit kemudian – Di dalam mobil yang terparkir di depan rumah.
Leon menunggu di kursi kemudi, masih memikirkan semua perkataan Zelena. Ia membuka ponselnya, mencatat setiap informasi. Ia mulai penasaran… terutama tentang ibu Zelena yang seolah hilang dari cerita.
Zelena keluar rumah dan masuk ke mobil. “Kau menunggu lama?”
Leon menoleh. Matanya membesar saat melihat Zelena—ia mengenakan blus putih sederhana, wajah segar setelah mandi, rambutnya dikuncir setengah.
Seperti biasa, Leon merasa dadanya sesak. Ia tak pernah melihat gadis seindah itu sebelumnya.
“Ada yang salah?” tanya Zelena, merasa gugup dengan tatapan Leon yang terlalu dalam.
Leon cepat-cepat mengalihkan pandangan. “Tidak… ayo, kita ke bandara.”
" katakan saja jika ada yang salah, aku tidak mau mas Arman melihat ku dalam keadaan berantakan hanya karena kejadian tadi malam " ucap Zelena sambil merapikan gaun nya,
Leon membuat eskpresi wajah yang sulit untuk di katakan " kenapa kau sangat ingin tampil sempurna di hadapan nya? " mendekati Zelena,
Zelena mundur " jangan mendekati ku, aku tidak mau sisi jelek ku terlihat, dari jauh saja " ucap Zelena malu-malu
" kau, kau ini benar-benar " Leon tidak bisa berkata apapun sekarang,
" apa katakan saja, apa ada masalah, tolong jangan buat aku malu "
" cantik " ucap Leon singkat, jelas dan segera pergi dari sana, dia menuju ke mobil
*
*
*
Bandara Pekanbaru – 15 menit kemudian.
Mobil mereka berhenti di area kedatangan. Cuaca cerah, langit biru membentang luas. Zelena turun dari mobil, lalu matanya langsung menangkap sosok pria berdiri dengan rapi di pinggir pintu keluar.
“Mas!” serunya, lalu berlari kecil ke arah pria itu—Arman.
Arman menoleh. Pandangannya tajam, namun saat melihat Zelena, sorot matanya berubah. Hangat. Lembut. Dalam seolah hanya ada dia di dunia ini.
“Zelena... kau datang bersama siapa?” tanyanya sambil melirik ke belakang. Matanya menangkap Leon, dan detik itu juga, wajah Arman mengeras.
“Aku bersama Leon. Mas… Ayah di mana?”
Arman menggeleng pelan. “Ayahmu belum pulang. Aku hanya disuruh mengambil beberapa dokumen. Jadi… kenapa kau ke sini?”
Zelena menatap Arman. Dadanya sesak. Inilah momen yang tepat untuk mengungkapkan perasaannya. Tapi… Leon ada di sana. Dan tatapan Leon kini seperti menghujam punggungnya.
“Zelena, kita tak boleh terlalu lama di sini. Kita harus pulang,” kata Leon tiba-tiba, nadanya tidak seperti biasanya—ada kekerasan halus di sana. Ia bahkan tak sadar kenapa ia merasa tak nyaman melihat Zelena bersama Arman.
Zelena memegang tangan Arman, menggenggamnya dengan ragu. “Mas...”
Leon maju. Ia menyentuh lengan Zelena, menariknya perlahan. “Zelena, ayo.”
Arman dan Leon saling menatap. Dua pria. Dua dunia. Dan satu hati yang sama-sama ingin mereka jaga.
Hai teman-teman, selamat membaca karya aku ya, semoga kalian suka dan enjoy, jangan lupa like kalau kalian suka sama cerita nya, share juga ke teman-teman kalian yang suka membaca novel, dan nantikan setiap bab yang bakal terus update,
salam hangat author, Untuk lebih lanjut lagi, kalian bisa ke Ig viola.13.22.26