"Aku sudah lama tidak pernah merindukan siapapun. Karena aku tahu, rindu itu cukup berat bagiku. Tapi sekarang, aku sudah mulai merindukan seseorang lagi. Dan itu kamu..!"
Maarten tahu, hidupnya tak pernah diam. Dia bekerja di kapal, dan dunia selalu berubah setiap kali ia berlabuh. Dia takut mencintai, karena rindu tak bisa dia bawa ke tengah laut.
"Jangan khawatir, kupu-kupumu akan tetap terbang.
Meski angin membawa kami ke arah yang berbeda,
jejak namamu tetap tertulis di sayapnya"
Apakah pria dari Belgia itu akan kembali?
Atau pertemuan kami hanya sebatas perjalanan tanpa tujuan lebih?
(Kisah nyata)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kelly Hasya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BILYARD
Kami tiba di tempat bilyar sekitar lima belas menit kemudian.
Dari luar, bangunannya tampak masih baru. Lampu neon yang menyala terang, dan suara dentingan bola-bola bilyar terdengar samar dari dalam. Tapi ketika kami melangkah masuk, suasananya langsung berbeda.
Musik dari speaker menggema pelan, bercampur dengan suara tawa, langkah kaki, dan benturan pelan bola yang saling bertabrakan.
Aroma kopi sachet dan asap rokok menggantung di udara. Beberapa meja bilyar berderet rapi, dan hampir semua dipenuhi oleh orang-orang yang tampaknya sudah terbiasa berada di sana.
Begitu kami masuk, beberapa pasang mata langsung melihat ke arah kami. Mungkin karena kehadiran Maarten yang jelas terlihat bukan orang lokal. Kulitnya yang lebih terang, tinggi badannya, serta logat asingnya membuatnya tampak menonjol.
Aku merasa sedikit canggung. Tapi Maarten tetap santai, seolah dia sudah terbiasa dengan perhatian seperti itu. Dia hanya tersenyum dan berjalan ke meja resepsionis kecil di sudut ruangan.
“Satu jam, please,” katanya sambil menunjuk ke salah satu meja kosong.
Petugas di balik meja mengangguk, mencatat sesuatu di kertas, lalu menyerahkan dua stik bilyar ke arah kami. Maarten menggenggamnya seperti seseorang yang sudah siap bertanding, lalu menyerahkan satu stik ke tanganku.
“Ini untukmu, Kelly. Jangan takut, aku tidak akan membiarkanmu sendirian di medan perang,” katanya sambil tersenyum nakal.
Aku memegang stik itu dengan gugup. Tempat ini bukan duniaku. Tapi ada sesuatu dari caranya menatapku yang membuatku tetap berdiri di sana.
Kami berjalan menuju meja yang sudah disiapkan. Lampu bundar menggantung rendah di atas meja hijau itu, menciptakan lingkaran cahaya yang menyorot permainan seperti panggung kecil di tengah keramaian.
Di sekeliling kami, orang-orang kembali sibuk dengan permainan masing-masing. Perhatian tadi memudar, berganti dengan suara tawa dan fokus pada bola-bola yang terus bergulir. Maarten menaruh bola satu per satu di segitiga pengatur, lalu menatanya rapi.
“Are you ready kelly?"
Aku menarik napas dalam-dalam, lalu mengangguk.
“Oke... I'm ready” jawabku jujur. Walaupun aku tahu, aku tak cukup percaya diri.
Maarten mulai menjelaskan aturan dasarnya. Bagaimana cara memegang stik, sudut yang tepat, posisi kaki, arah pandang. Tapi aku hanya setengah mendengarkan. Bukan karena tak tertarik, tapi karena sejak tadi aku bisa merasakan tatapannya lebih dari sekadar mengajarkan sesuatu. Dia benar-benar ingin aku belajar. Bukan agar aku bisa menang, tapi agar aku tidak merasa sendirian di dunia yang asing ini.
“Coba, pegang stik-nya seperti ini,” katanya sambil perlahan menyentuh tanganku dari belakang.
Sentuhan itu ringan. Tapi cukup untuk membuat jantungku bergerak sedikit lebih cepat. Ia membenarkan posisi jariku dengan sabar, lalu memutar tubuhku pelan agar menghadap bola dari sudut yang benar. Tangannya tetap di atas tanganku. Terasa hangat, tenang, dan tidak memaksa.
Aku tidak berani menoleh. Tapi aku bisa merasakannya sangat dekat, napasnya nyaris menyentuh kulit pipiku. Dan untuk pertama kalinya, aku lupa bahwa kami sedang berada di ruangan yang penuh dengan orang orang.
Dari sudut mataku, aku menyadari ada beberapa orang yang mulai memperhatikan kami. Mungkin karena kedekatan kami yang mulai terlihat lebih dari sekadar dua orang yang bermain bilyar.
Aku mulai merasa canggung. Tapi Maarten seolah tidak peduli dengan mereka. Dia tetap fokus padaku. Pada cara tanganku bergerak, pada bola yang akan dipukul, pada senyum kecil yang tak bisa kusembunyikan.
“Tenang, Kelly,” bisiknya pelan. “Tidak ada yang penting di ruangan ini, selain kamu yang sedang belajar sesuatu yang baru.”
Aku menelan ludah pelan. Ada getaran halus dalam kata-katanya. Dan akhirnya aku mendorong stik itu dan bola putih bergerak, meski gagal, aku tertawa. Dan saat aku menoleh, Maarten tersenyum sangat lebar.
“Lihat? Kamu sudah mulai bisa” katanya dengan nada antusias
Aku mencoba beberapa kali, mencoba memukul bola seperti yang dia ajarkan. Tapi tetap saja, stik itu terasa aneh di tanganku. Setiap kali aku mencoba, bola tidak bergerak seperti yang kuinginkan.
Aku tertawa, bukan karena lucu. Tapi pasrah...
Lalu perlahan, tawaku meredup. Semakin banyak orang di ruangan itu mulai melirik ke arah kami lagi. Mungkin karena ekspresi gugupku yang tak bisa kusembunyikan.
Dan pada akhirnya… Aku menyerah....
Dengan diam, aku meletakkan stik itu di pinggiran meja, lalu berjalan perlahan menjauh. Aku duduk di bangku kecil di sudut ruangan. Dari sana, aku hanya menatapnya. Maarten memanggilku dengan isyarat tangan.
“Ayo, satu kali lagi,” katanya lembut dari kejauhan.
Aku tersenyum kecil dan menggeleng. Aku merasa malu. Bukan karena gagal. Tapi karena merasa tidak cukup baik untuk terus mencoba di depan semua mata itu. Tapi yang membuatku terdiam bukan rasa maluku, melainkan caranya merespon semua ini.
Dia tidak marah, tidak memaksa, tidak juga terlihat kecewa.
Sebaliknya, Maarten hanya menatapku dengan senyum tipis, lalu kembali ke meja bilyar dan mulai bermain sendiri.
Sesekali ia menoleh padaku. Memberiku senyum kecil yang hangat, seolah ingin berkata : "Jangan khawatir, Aku tetap senang kamu ada di sini.”
Dan saat itu, aku merasa bodoh karena menarik diri. Tapi di saat yang sama, aku juga merasa dihargai. Karena dia membiarkanku memilih.
Dia tidak menarik tanganku dengan paksa. Dia tidak membuatku merasa bersalah karena tidak bisa.
Dia hanya mengerti......!
Belum sampai satu jam bermain. Tapi tiba-tiba, Maarten meletakkan stiknya dan berjalan ke arahku.
“Sudah cukup,” katanya pelan sambil duduk di sebelahku.
Aku meliriknya, heran.
“Kita belum selesai. Kamu masih punya waktu.”
Dia hanya mengangkat bahu dan tersenyum.
“Waktuku masih panjang. Tapi aku tidak ingin menghabiskannya tanpamu.”
Aku menunduk, menahan senyum yang nyaris pecah. Ada sesuatu dalam kalimat itu yang tidak perlu dijelaskan lebih jauh. Sederhana, tapi menyentuh..
Maarten berdiri dan meraih tanganku.
“Ayo kita pulang. Aku tahu kapan harus berhenti. Dan malam ini, aku hanya ingin membuatmu nyaman”
Dan kami pun melangkah keluar dari tempat itu.
Setelah membayar semuanya, kami berjalan ke area parkir yang tepat berada dipintu bilyar.
Udara malam masih terasa hangat di kulit. Dia menoleh padaku. Tatapannya lembut, senyumnya masih sama seperti saat pertama kali menyapaku.
“Hei…”
Katanya pelan, suaranya rendah tapi penuh perhatian.
“Kamu nggak apa-apa kan kelly?”
Aku terdiam sejenak. Pertanyaan itu sederhana. Tapi caranya menanyakannya membuatku merasa dilihat, benar-benar dilihat!!
Aku mengangguk, mencoba tersenyum.
“Maaf, tadi aku jadi nggak semangat…”
Maarten menggeleng pelan, lalu berdiri lebih dekat.
“Jangan minta maaf. Aku senang kita tetap pergi bersama malam ini. Dan… aku juga senang melihatmu dan jujur dengan perasaanmu.”
Aku menarik napas pelan. Rasanya dunia sedikit lebih ringan saat seseorang tidak menuntutku untuk kuat sepanjang waktu.
Lalu, tanpa banyak kata, Maarten menoleh ke arah tukang parkir yang berdiri tak jauh dari kami. Lelaki tua itu tampak sedang duduk di kursi plastik kecil, memegang botol air mineral setengah kosong.
“Sebentar ya,” kata Maarten, sambil berjalan ke arah pria itu.
Aku hanya mengangguk, lalu mengamati dari tempatku berdiri. Maarten menyapa pria itu dengan hangat. Tangan kanannya terulur untuk berjabat tangan.
“Selamat malam, Pak. Apa kabar?”
Suaranya terdengar jelas, tulus. Pria itu tampak sedikit terkejut. Biasanya, orang hanya lewat. Paling-paling sekadar mengangguk atau menghindari pandangan.
“Baik, Mister… Baik,” jawabnya pelan dan penuh antusias.
Maarten mengangguk, lalu duduk di pinggiran trotoar, sejajar dengan pria itu. Dia tidak berdiri, tidak meninggi, seolah ingin berkata bahwa semua orang sama nilainya.
Mereka mengobrol beberapa menit. Aku tidak mendengar semua isinya, tapi melihat bahasa tubuh mereka, aku tahu ini bukan sekedar basa-basi biasa.
Maarten tertawa kecil, mengangguk beberapa kali, dan akhirnya, mendekatkan tubuhnya dan memeluk pria itu perlahan.
Seketika, pria itu terdiam. Tangannya menggantung di udara, lalu perlahan membalas pelukan itu. Wajahnya berubah. Matanya berkaca-kaca. Ada semacam keterkejutan… Tapi juga rasa terima kasih yang sulit dijelaskan.
“Terima kasih, Mister,” ucap pria tua itu. “Jarang ada orang yang ingin duduk bersamaku, apalagi memelukku seperti ini"
Maarten menepuk bahunya sangat lembut.
“Kadang kita cuma butuh didengar, kan? Semoga malam ini terasa lebih baik, ya Pak.”
Aku berdiri agak jauh, menyaksikan semuanya. Dan entah kenapa, dada ini terasa hangat.
Dia memperlakukan siapa pun dengan hormat. Bahkan orang yang tidak dia kenal. Dan itu...... Sesuatu yang indah!
Sesuatu yang sulit dicari di dunia yang terlalu sibuk.
Saat dia kembali ke arahku, aku masih menunduk, mencoba menyembunyikan senyum kecil yang tak bisa kutahan.
“Aku suka kamu,” ucapku dalam hati.
Tapi hanya dalam hati.......
Karena malam ini… Cukup hatiku yang tahu!