Pernikahan yang terjadi karena hamil duluan saat masih SMA, membuat usia pernikahan Ara dan Semeru tidak berjalan lama. Usia yang belum matang dan ego yang masih sama-sama tinggi di tambah kesalah pahaman, membuat Semeru menjatuhkan talak.
Setelah 7 tahun berpisah, Ara kembali bertemu dengan Semeru dan anaknya. Namun karena kesalah fahaman di masa lalu yang membuat ia diceraikan, Semeru tak mengizinkan Ara mengaku di depan Lala jika ia adalah ibu kandungnya. Namun hal itu tak membuat Ara putus asa, ia terus berusaha untuk dekat dengan Lala, bahkan secara terang-terangan, mengajak Semeru rujuk, meski hal itu terkesan memalukan dan mudahan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yutantia 10, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
JADILAH ORANG YANG LEBIH BAIK
Rahmat diam-diam memperhatikan putrinya yang masih duduk di kursi makan meski sudah dari tadi mereka selesai sarapan. Tanpa terasa, air matanya menetes, buru-buru ia seka dan masuk ke dalam kamar. Sebuah kotak warna biru, ia ambil dari dalam laci almari, membawanya ke meja makan.
"Ara nangis?" Pak Rahmat yang tiba di meja makan, tak sengaja melihat air mata di pipi sang putri.
"Eng, enggak Yah," buru-buru Ara menyeka pipinya yang basah dan menyusut hidung. "Barusan Ara menguap, jadi keluar air mata."
Rahmat menarik kursi, duduk di sebelah Ara. Dia letakkan kotak yang tadi ia bawa ke atas meja. Meraih tangan Ara lalu menggenggamnya. "Ara ada masalah? Akhir-akhir ini, Ayah lihat Ara sering melamun. Cerita sama ayah kalau ada masalah, ayah siap menjadi pendengar atau memberi solusi jika diminta."
Ara menggeleng. "Gak ada masalah, cuma akhir-akhir ini, sering kangen sama alm. Ibu."
"Kalau kangen, perbanyak doa untuk Ibu. Itu yang paling dibutuhkan ibu saat ini."
Ara mengangguk, setiap selesai sholat, tak pernah lupa ia mendoakan alm. ibunya.
Rahmat mendorong kotak yang tadi ia bawa ke depan Ara. "Untuk Ara."
"Apa ini, Yah?" Ara memperhatikan kotak warna biru tersebut, belum pernah ia melihat kotak tersebut sebelumnya. "Ara kan gak ulang tahun sekarang, kenapa dikasih kado? Justru ayah yang minggu depan ulang tahun."
Rahmat menggeleng sambil tersenyum. "Bukan hadiah ulang tahun, tapi sesuatu yang memang sudah ayah dan alm. ibu kamu siapkan untuk kamu," ia mengusap kelapa Ara. "Bukalah."
Ara membuka kotak tersebut, betapa terkejutnya ia saat melihat isinya ada logam mulia. Tak hanya 1, melainkan beberapa.
"Ibu kamu yang pertama ngajarin ayah untuk berinvestasi di logam mulia. Kata ibu kamu, emas harganya akan terus naik, semakin lama disimpan, semakin tinggi nilainya. Beda dengan uang, yang semakin lama disimpan, semakin turun nilainya, istilah lainnya, kena inflasi. Ibu kamu selalu menabung keuntungannya dari berjualan kue. Setelah uangnya cukup, mengajak ayah untuk membeli logam mulia. Dia bilang, itu untuk masa depan anak-anak, untuk biaya pendidikan mereka kelak," Rahmat tak kuasa menahan air mata, teringat kembali pada almarhum istrinya yang meninggal 4 tahun yang lalu. Meski bisa mencari uang sendiri, alm. istrinya tak pernah menggunakan uang itu untuk gaya hidup, lebih memilih menabung uangnya untuk biaya pendidikan anak mereka nanti.
"Ibu kamu bilang, anak-anak harus berpendidikan tinggi, jadi orang sukses, jangan seperti orang tuanya." Tangis yang semakin menjadi, membuat Rahmat tak bisa melanjutkan kata-katanya. Mendongak, menatap langit-langit dapur, berharap dengan seperti itu, air matanya tak terus keluar.
Tak hanya Rahmat, Ara ikutan menangis, sebelah tangannya memegang perut, merasa sangat bersalah saat ini. Masih bisakah ia mewujudkan harapan orang tuanya?
"Sejak saat itu, Ayah dan Ibu semakin semangat menabung untuk biaya pendidikan kamu dan abang kamu. Setelah ibu meninggal, ayah berusaha untuk tetap bisa menabung meski tak bisa banyak seperti saat ibu kamu masih ada dulu. Ibu kamu memang wanita yang sangat hebat," Rahmat tersenyum sambil menangis, bayangan wajah istrinya berkelebat di kepala. "Ia adalah istri dan ibu terbaik."
"Aku kangen kamu Anjani," ujar Rahmat dalam hati.
Ara memeluk ayahnya, menumpahkan air mata di balik punggung sang ayah. Bagaimana perasaan ayahnya jika tahu ia hamil? Sekecewa apa laki-laki itu nantinya.
Ara nanti harus kuliah, harus jadi orang yang sukses, jangan seperti ayah dan ibu, yang hanya pegawai pabrik dan penjual kue.
Ara teringat kata-kata ibunya saat ia membantu membuat kue dulu.
"Ara," Rahmat melepas pelukan Ara, menggenggam kedua tangannya. "Nanti malam, kita main truth or dare yuk."
"Hah, truth or dare? Ayah tahu permainan itu?"
"Hahaha," Rahmat tergelak sambil menyeka air mata. "Umur boleh tua, tapi jiwa masih muda. Teman-teman ayah ngojek, anak muda semua, anak gaul."
Ara ikutan tertawa mendengar ucapan ayahnya. Meski setiap pulang kerja terlihat lelah, namun ia bisa melihat jika ayahnya mencintai pekerjaannya tersebut.
"Nanti, ayah akan pulang agak sorean. Ayah bawakan seblak kesukaan kamu. Kali ini jangan yang terlalu pedas ya, level 1 saja."
"Ayah ingin kado apa dari Ara saat ulang tahun nanti?"
Rahmat menggeleng, "Ayah gak mau apa-apa, cuma pengen, Ara menjadi orang yang lebih baik," mengusap kepala Ara. "Nak," kembali menggenggam tangan Ara dan menatap kedua matanya. "Setiap orang pernah melakukan kesalahan. Tapi alangkah lebih baiknya, jika berbuat salah, adalah memperbaiki kesalahan tersebut. Jangan malah menambah dengan kesalahan baru, yang bisa saja, akan berakibat fatal. Percayalah, menjadi orang yang bertanggung jawab, akan lebih menenangkan hati, dari pada menjadi pecundang. Pecundang hanya akan merasa tenang sesaat, namun setelahnya, akan menanggung penyesalan seumur hidup."
Rahmat melihat jam dinding di dapur. "Sudah siang, ayo berangkat, nanti kamu telat. Simpan baik-baik pemberian ayah dan ibu, gunakan saat kemu membutuhkan.
...----------------...
Meru mondar-mandir di dekat gerbang, menanti kedatangan Ara. Berkali-kali ia melihat jam tangan sambil berdecak. Tak biasanya Ara sesiang ini datang ke sekolah.
"Ngapain lo disini? Masuk yuk," ajak Ricko yang melihat Meru ada di dekat gerbang.
"Lo duluan aja, gue masih nungguin Ara."
"Ck, Ara terus lo. Cewek lo itu gak akan kesasar jalan ke kelasnya meski gak sama lo. Masuk yuk, kita lewat depan kelas X. Tepe tepe sama adik kelas. Lo tahu Margaret kan, katanya dia naksir lo. Dia lebih cantik kemana-mana lagi, timbang Ara, kaya juga, gak kayak Ara, anak ojol."
"Diem lo! Udah masuk sana," Meru mendorong punggung Ricko. Kepalanya sudah pusing, malah ditambah ocehan Ricko yang gak mutu.
Meski di sekolah ini ada yang lebih cantik dari Ara, ia tak akan terpikat. Baginya, Ara punya nilai lebih, gadis itu tak hanya cantik, tapi juga pekerja keras. Ara tak seperti gadis lainnya yang manja, yang suka bergaya hedon, Ara gadis sederhana yang tak pernah mengambil keuntungan darinya meski tahu ia kaya. Tak pernah sekalipun, Ara minta dibelikan sesuatu padanya selama pacaran. Tapi justru ia yang sering memberi Ara uang, tak mau kekasihnya itu tidak makan siang demi menghemat uang saku.
"Ra," panggil Meru saat melihat Ara yang baru memasuki gerbang. Langsung saja ia menarik lengan Ara menuju parkiran, mengajaknya masuk ke dalam mobil.
"Kamu bawa mobil, Ru?" Ara memperhatikan interior mobil tersebut.
"Itu gak penting." Meru merogoh saku seragamnya, mengambil sesuatu dari sana. "Ini," meletakkan di tangan Ara.
"Apa ini?" Ara memperhatikan sebutir pil yang ada di tangannya.
"Ck, masih nanya," Meru terlihat kesal. "Kan udah aku kasih tahu semalam."
"Kasih tahu apa?" Ara malah terlihat seperti orang bingung.
"Ternyata efek hamil gak hanya bikin mual muntah dan pusing doang, bikin amnesia juga."
"Kamu ngomong apaan sih, Ru?"
"Semalam kan udah aku WA, aku udah dapat obat buat gugurin kandungan. Udah kamu read juga pesan dariku."
Deg
Jantung Ara seperti berhenti berdetak. Pesan dari Meru tersebut, tak ada dalam ponselnya. Semalam, ponselnya sempat dipinjam sang ayah.
Pantas aja Meru langsung berpikiran buruk pas lihat ada cowok di kamar kost Ara.🙄