#Mertua Julid
Amelia, putri seorang konglomerat, memilih mengikuti kata hatinya dengan menekuni pertanian, hal yang sangat ditentang sang ayah.
Penolakan Amelia terhadap perjodohan yang diatur ayahnya memicu kemarahan sang ayah hingga menantangnya untuk hidup mandiri tanpa embel-embel kekayaan keluarga.
Amelia menerima tantangan itu dan memilih meninggalkan gemerlap dunia mewahnya. Terlunta-lunta tanpa arah, Amelia akhirnya mencari perlindungan pada mantan pengasuhnya di sebuah desa.
Di tengah kesederhanaan desa, Amelia menemukan cinta pada seorang pemuda yang menjadi kepala desa. Namun, kebahagiaannya terancam karena keluarga sang kepala desa yang menganggapnya rendah karena mengira dirinya hanya anak seorang pembantu.
Bagaimanakah Amelia menyikapi semua itu?
Ataukah dia akhirnya melepas impian untuk bersama sang kekasih?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mama Mia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
05. Penolakan para sahabat. #Awal sebuah harapan
.
Pagi datang dengan sinar matahari yang menyusup masuk melalui celah jendela kamar hotel. Amelia merentangkan tangannya, kemudian membuka perlahan matanya, dan sinar matahari menyilaukan sedikit menyinari wajahnya. Ia segera menyadari dirinya sedang berada di dalam kamar yang asing.
“Ternyata yang kemarin itu benar-benar nyata, bukan hanya mimpi buruk,” gumamnya.
Ia menghembuskan nafas perlahan, wajahnya memerah penuh dengan tekad kuat. “Tapi tidak… aku tak akan menyerah. Aku akan buktikan pada Papa kalau aku bisa hidup tanpa nama Bramasta.”
Gadis itu mulai bangkit, membersihkan diri ke kamar mandi, dan mengenakan baju yang sederhana. Setelah itu, ia turun ke lantai dasar untuk mencari makan di restoran milik hotel.
Sambil memakan nasi goreng yang ia pesan, ia mengirim pesan pada Lina, Novi dan Aulia. Para sahabat yang selama ini selalu dekat dengannya, untuk datang menemuinya di hotel tersebut. Mereka pasti bisa membantu, entah mencari tempat tinggal atau pekerjaan.
Tak lama, Lina tiba dengan wajah yang terkejut melihat Amelia.
“Amel? Kamu kenapa kenapa minta kami datang ke sini?” tanya Lina sambil duduk. Gadis itu memperhatikan sekeliling. Tak biasanya Amelia minta bertemu di tempat seperti ini. Biasanya mereka bertemu di restoran mewah atau hotel bintang lima. Lina juga memperhatikan pakaian yang saat ini dikenakan oleh Amelia, benar-benar berbeda dari biasanya membuat gadis itu mengerutkan kening.
Belum sempat Amel menjawab, Novi datang bersama dengan Aulia dengan ekspresi yang sama terkejutnya dengan Lina.
Setelah mengambil nafas dalam-dalam, Amelia menceritakan semua yang terjadi kemarin, perdebatan antara dirinya dengan sang ayah dan juga rencana perjodohan yang dia tolak, hingga akhirnya dirinya diusir dari rumah bahkan tanpa membawa apapun.
“Aku butuh bantuan kalian,” ucap Amelia di akhir cerita, seraya menatap ketiganya penuh harap
Lina dan dua teman lainnya terdiam dan saling pandang. Wajah ketiganya tampak cemas. Ia menggaruk kepala, mata tidak berani menatap Amelia. “Amel… maaf ya,” katanya dengan suara lembut. “Aku sendiri sedang dalam kesulitan—ayahku sakit, dan aku harus bayar biaya perawatan. Aku tidak bisa membantu apapun, benar-benar.”
“Aku juga," sahut Novi. “Adikku sedang butuh biaya kuliah."
“Aku…"
“Oke, tak masalah. Tidak apa-apa.” Amelia memotong sebelum Aulia mengeluarkan suara. Ia mengangguk tegas, menyembunyikan rasa kecewa di dalam hati.
Amelia ingat hari-hari yang telah mereka lalui bersama. Dulu, ketika mereka butuh bantuan berupa apa saja, Amelia selalu ada untuk mereka. Tapi sekarang, ketika ia membutuhkan bantuan, mereka seolah berlomba-lomba untuk melarikan diri.
Tanpa basa-basi, Amelia memanggil pelayan untuk membayar tagihan makan dan minumnya lalu berdiri. “Ya sudah aku pergi dulu."
“Amelia… bukan seperti itu!" teriak Lina. “Kami benar-benar…”
Tapi Amelia sudah tak peduli, juga tak ingin lagi mendengar alasan mereka. Ia melangkah meninggalkan mereka bertiga tanpa menoleh kembali, meskipun hatinya terasa seperti tertusuk duri. Sekarang, dia semakin menyadari bahwa dia hanya bisa bergantung pada dirinya sendiri.
.
Amelia telah kembali berada di dalam kamar hotelnya, duduk di tepi ranjang sambil menatap lantai dengan pikiran yang bergejolak. Dia sedang menimbang apa yang hendak dia lakukan sekarang. Untuk saat ini dirinya memang masih memiliki tabungan, tapi itu juga tidak mungkin bertahan lama jika dia tidak segera mencari pekerjaan. Apalagi dia juga tidak mungkin selamanya tinggal di hotel.
Ketika dirinya masih kalut, tiba-tiba, ponselnya berdring, ada nama mamanya yang muncul di layar. Dia segera menggeser ikon hijau untuk menjawab. “Assalamualaikum, Ma?” sapanya dengan suara yang berusaha riang.
“Amel, sayangku! Kamu baik-baik saja? Kamu sudah makan apa belum? Kamu tidur di mana tadi malam?” pertanyaan beruntun dari Eliza. Suara wanita itu terdengar cemas di ujung telepon.
Amelia mengangguk meskipun tidak terlihat. “Ya, Ma, aku baik-baik saja. Sekarang aku menginap di hotel. Jangan khawatir, Ma. Aku pasti bisa menjaga diri.”
Setelah beberapa menit berbincang, Amelia menutup telepon. Dia kembali bergulat dengan pikirannya sendiri, merasa semakin terjebak. Tiba-tiba saja, ia teringat pada Bu Sukma, bibi pelayan yang dulu bekerja di rumahnya. Wanita yang mengundurkan diri dua bulan yang lalu, karena suaminya sedang sakit dan memintanya tidak lagi bekerja.
Sebersit ide muncul di otaknya. “Apa aku pergi ke desanya, ke Bu Sukma saja ya?” gumamnya. Dia berpikir, dengan tinggal di desa bersama Bu Sukma, mungkin dia bisa menerapkan apa yang selama ini dia pelajari tentang tanaman dan alam.
Amelia menjentikkan jari dengan senang, merasa ada harapan lagi. Dia segera membuka ponselnya, dan mencari nomor kontak Bu Sukma. Setelah beberapa saat mencari, dia akhirnya menemukan nomor itu dan segera menekan tombol panggil. Jantungnya berdebar kencang menunggu jawaban dari sisi lain.
Setelah beberapa detik menunggu, suara lembut Bu Sukma terdengar dari ujung telepon.
“Assalamualaikum… siapa ya ini?”
Amelia segera tersenyum, dada terasa lega. “Waalaikumsalam, Bu Sukma. Ini Amelia, Bu. Amelia Bramasta.”
“Amelia?” Ada jeda sejenak di sisi lain. Kemudian, suara Bu Sukma menjadi lebih meriah. “Ya Allah, Non Amel? Alhamdulillah, bagaimana kabarnya, Non?”
Amelia menekan bibirnya, merasa rasa rindu muncul kembali. “Aku baik kok, Bu. Tapi… Bu, maaf mengganggu, ya. Ada sesuatu yang Amelia mau minta ke Ibu.”
“Ya, nak, silakan saja. Apa pun itu, Ibu dengar.”
Amelia mengambil nafas dalam-dalam sebelum berbicara. “Bu… Amelia mau minta tolong. Kalau misal Amelia ingin pergi ke tempat Ibu, boleh tidak?”
Bu Sukma terdiam, masih belum bisa mencerna maksud Amelia. Dalam pikirannya Amelia ingin datang untuk berlibur. “Oh, ya boleh, Non. Datang aja. Ibu senang kalau Non Amel mau main ke sini."
"Beneran boleh, Bu?” Amel begitu gembira.
“Ya, boleh dong, Non. Kapan Non Amel mau datang? Ibu bisa minta keponakan ibu buat jemput Non Amel di terminal, lho.”
Amelia merasa mendapat harapan. Ia segera meminta alamat desa Bu Sukma.
Setelah menutup telepon, Amelia menangis lepas sambil tersenyum. Akhirnya, ada tempat yang mau menerimanya. Rasanya seperti beban di dada semakin ringan, dan untuk pertama kalinya sejak kemarin, dia merasakan harapan yang sesungguhnya.
Amelia segera mulai mengemas seluruh barang-barangnya dan kembali memasukkan ke dalam koper dan memastikan tidak ada yang tertinggal. Setelah itu dia segera membuka aplikasi taksi di ponselnya. Dia memesan taksi yang akan menjemputnya di depan hotel.
Setelah memastikan semua beres, Amelia menarik kopernya menuju pintu kamar. Sebelum keluar, dia menoleh sejenak, menatap kamar yang telah menjadi tempat perlindungan dia tadi malam.
Tiba-tiba, ponselnya bunyi—notifikasi bahwa taksi sudah tiba di depan hotel. Amelia mengangkat kepala, mata penuh semangat. Dia membuka pintu kamar dan melangkah keluar, menuju lift yang akan membawanya ke lantai dasar.
Sesampainya di lantai dasar, Amelia mendekati resepsionis. “Pak, saya mau check out,” ucapnya dengan senyum cerah.
Pria resepsionis mengangguk dan memeriksa datanya. “Baik, nona Amelia. Semua sudah lunas. Semoga hari Anda menyenangkan ya. Jangan kapok untuk datang lagi.”
“Terima kasih, pak,” jawab Amelia sambil mengembalikan kunci kamar.
Setelah check out, Amelia menarik kopernya keluar dari hotel menuju taksi yang sudah menunggu. Udara pagi segar menyentuh wajahnya, matahari menyinari halaman hotel dengan hangat. Amelia mengangkat wajah menatap langit, merasakan kebebasan yang sesungguhnya.
“Alam pedesaan, aku datang,” ucapnya dalam hati, langkahnya semakin mantap menuju jalan yang baru.
wow, auto tantrum tuch Safitri 🤣🤣
bentar lagi nanam padi jg 🥰