NovelToon NovelToon
Pembalasan Dendam Sangkara

Pembalasan Dendam Sangkara

Status: sedang berlangsung
Genre:Mafia / Lari Saat Hamil / Anak Yatim Piatu / Identitas Tersembunyi
Popularitas:3.6k
Nilai: 5
Nama Author: apriana inut

Sangkara, seorang pemuda yang menjadi TKI di sebuah negara. Harus menelan pil pahit ketika pulang kembali ke tanah air. Semua anggota keluarganya telah tiada. Di mulai dari abah, emak dan adek perempuannya, semuanya meninggal dengan sebab yang sampai saat ini belum Sangkara ketahu.

Sakit, sedih, sudah jelas itu yang dirasakan oleh Sangkara. Dia selalu menyalahkan dirinya yang tidak pulang tepat waktu. Malah pergi ke negara lain, hanya untuk mengupgrade diri.

"Kara, jangan salahkan dirimu terus? Hmm, sebenarnya ada yang tahu penyebab kematian keluarga kamu. Cuma, selalu di tutupin dan di bungkam oleh seseroang!"

"Siapa? Kasih tahu aku! Aku akan menuntut balas atas semuanya!" seru Sangkara dengan mata mengkilat.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon apriana inut, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 5

Sangkara mulai mencari informasi mengenai kecelakaan yang terjadi pada keluarganya. Dia sama sekali tidak meminta bantuan dua sahabatnya. Dia langsung turun tangan sendiri. Hal yang pertama dia lakukan adalah pergi ke kepolisian. Biasanya segala kecelakaan akan tercatat di kepolisian. Apalagoi kecelakaan yang merenggut nyawa seseorang.

“Tahun berapa pak kejadiannya?” tanya salah satu anggota kepolisian yang usianya lebih muda dari Sangkara.

Sangkara tampak terdiam sejenak, lalu menjawab dengan sedikit ragu. “Sekitar 5 tahun yang lalu, pak.”

“Lima tahun yang lalu ya pak? Cukup lama ya? Baiklah, tunggu sebentar ya pak. Saya coba cari dulu.”

Kepala Sangkara menganggukkan kepalanya. Dia tetap duduk di depan anggota kepolisian tersebut. Menunggu hasil pencarian yang di lakukan oleh anggota kepolisian tersebut. Namun, cukup lama Sangkara menunggu, sama sekali tidak ada tanda-tanda bahwa anggota kepolisian tersebut menemukan apa yang dia inginkan.

“Maaf, pak. Jika berdasarkan cacatan kami, tidak ada kecelakaan yang terjadi di jalanan dekat terminal.”

“Tidak mungkin tidak ada, pak. Kecelekaan itu merenggut nyawa orangtua dan adek saya. Masa tidak tercatat di kepolisian?”

“Hmm, kalau tahu siapa nama orangtua dan adek bapak. Biar saya cari dengan metode yang lain.”

Sangakara menyebutkan nama emak, abah serta adeknya. Kepala anggota polisi yang bernama Indra yang semula menatap ke layar komputer, namun setelah mendengar Sangkara menyebutkan nama adeknya. Dia langsung mendongak, menatap Sangkara dengan tatapan penuh arti.

“Rara…” gumamnya pelan.

“Anda kenal dengan adek saya, pak? Apakah kalian dulu satu sekolah?”

Indra mengangguk sekaligus menggeleng. Dia kembali fokus dengan layar komputer, berusaha mencari tentang tiga nama yang di sebut oleh laki-laki yang berada di depannya.

“Maaf, pak. Tidak ada kecelakaan yang merenggut nama yang bapak sebut tadi. Sepertinya bapak salah, kemungkinan keluarga bapak sudah pindah ke kota lain, atau mengalami hal lain.”

Sangkara diam, dia tidak langsung merespon. Matanya terus menatap dua mata Indra, lalu menganggukkan kepalanya.

“Baiklah, pak. Terimakasih sudah banyak bantu saya. Saya permisi,” ucap Sangkara mengulurkan tangannya kearah Indra. “Oh ya, pak. Jika bapak tahu sesuatu atau mendapatkan informasi tentang keluarga saya, tolong kabari saya. Sekali lagi, terimakasih.”

Sangkara keluar ari kantor kepolisian dengan tangan kosong. Namun, setidaknya dia tahu jika keluarganya tidak mengalami kecelakaan. Di otaknya ada beberapa kemungkinan yang mungkin saja terjadi pada keluarganya.

Dari kantor kepolisian, Sangkara menuju kantor kelurahan. Dia ingin mencari tahu apakah data kependudukan keluarganya masih tercatat atau tidak di kelurahan. Dan hasilnya pun sama saja dengan kantor kepolisian. Keluarganya sudah tidak tercatat sebagai warga, bukan karena pindah melainkan karena sudah meninggal. Dan penyebab meninggalnya karena kecelakaan.

“Kenapa jadi mutar-mutar kayak gini? Aku harus nanya pada siapa lagi?” gumam Sangkara, memilih kembali ke rumahnya. Hari ini dia pikir sudah cukup mencari tahu tentang keluarganya. Dia akan melanjutkannya esok hari.

^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^

Selama satu minggu full sejak kepulangan Sangkara ke desanya. Tidak satu hari pun dia lewatkan untuk berdiam diri di rumah. Dia selalu mencari tahu apa yang terjadi pada keluarganya. Dia sama sekali tidak memperhatikan keadaannya. Awalnya dia yang terlihat bersih dan tampan, sekarang bulu halus mulai tumbuh di rahangnya. Tapi, bukan terlihat buruk, malah aura laki-laki matang nan dewasa semakin terpancar. Padahal usianya baru memasuki 27 tahun.

Di tengah perjalanan ingin mencari tahu tentang keluarganya, Sangkara tidak sengaja bertemu dengan wanita tua. Wanita tua yang dulunya cukup akrab dengan Sangkara.

“Kamu, Kara kan? Kara anaknya si Lilis?”

“Iya. Ini nini Wati kan?”

“Iya. Kamu kemana saja Kara? Kenapa baru pulang? Kenapa tidak dari dulu kamu pulangnya?” seru Nini Wati.

“Emang kenapa, Ni? Apa yang sebenarnya terjadi sama emak, abah dan Rara?”

Nini Wati menghela napas panjang. Dia mengangkat jari telunjuk tangannya, menunjuk lurus kewajah Sangkara. “Ini semua gara-gara kamu, Kara! Kalau kamu cepat pulang, orangtua kamu tidak mungkin mengalami kecelakaan. Mana janji kamu pada Lilis yang akan cepat pulang? Mana janji kamu yang akan selalu mengabari? Mana Kara?”

“Nini teh, kasihan sama Lilis dan Dadang. Tiap hari mereka nunggu kabar dari kamu, Kara. Mereka teh gak butuh duit banyak, tapi cukup kabar dari anaknya. Tapi sekarang, semuanya tos terlambat. Lilis, Dadang dan Rara udah pergi. Udah tenang di alam sana! Dan itu semua gara-gara kamu!!!”

Tubuh Sangkara tersentak. Kakinya melangkah mundur. Kepalanya menggeleng kuat. “Gak, ni! Ini bukan salah saya. Saya hanya merantau, saya hanya jadi TKI, saya hanya berkerja, saya hanya…”

“Hanya berbohong! Itu kan Kara?” potong nini Wati cepat. “Emak mu terlalu mengharapkan kepulangan kamu. Sampai-sampai waktu si Dika dan Arif pulang, dia paling semangat. Dia mengajak Dadang dan Rara menyambut kamu. Eh, bukan kamu yang datang malah kematian!”

“Aaaah, sudahlah! Semua sudah lewat! Penyesalan memang selalu datang di akhir. Nikmati saja penyesalan kamu, Kara!” ujar nini Wati mengibaskan tangannya. Lalu berjalan meninggalkan Kara.

Selama berbicara dengan Kara, jantung wanita tua itu terus berdetak lebih kencang. Dia takut kebohongan yang dia sampaikan di ketahui atau di sadari oleh Sangkara. Namun, melihat reaksi Sangkara tadi, Nini Wati yakin Sangkara tidak curiga dan pasti percaya dengan apa yang dia katakan. Jika begitu, dia akan menerima uang sebagai upah dari apa yang dia lakukan dan katakan pada Sangkara.

Sementara Sangkara, dia masih berdiri, terdiam di jalanan desa. Dia tidak mempedulikan suara klakson yang melewati dirinya, atau suara orang yang memintanya untuk segera menyingkir dari jalanan. Kata-kata yang di ucapkan oleh Nini Wati masih teringa-inga. Dan itu membuat kakinya tidak bisa bergerak.

Cukup lama Sangkara ada di posisi itu, lewatnya Dika. Sahabatnya sejak kecil itu mengantarnya pulang ke rumah. Walau terasa enggan untuk melangkah, namun kata-kata Dika membuat dirinya mengikuti langkah Dika.

“Kamu kenapa, Kara? Kenapa kamu berdiri di jalanan kayak gitu?”

“Dik, aku ya yang udah buat keluarga tiada? Aku yang menyebabkan mereka kecelakaan?”

“Maksudnya?”

“Kata Nini Wati, aku yang menjadi penyebab semuanya. Aku yang udah buat mereka kecelakaan. Aku yang udah buat mereka kehilangan harapan. Aku yang…”

“Sssst, udah! Jangan salahkan diri kamu, Kara! Lebih baik kamu istirahat!”

Sangakara tidak menjawab, tidak menggeleng maupun mengangguk. Dia hanya diam, mencerna kata-kata yang di ucapkan oleh Nini Wati pada dirinya.

Sekaranng, Sangkara tidak bisa berpikir jernih dan rasional. Kata-kata Nini Wati terlalu masuk ke dalam hati dan otaknya. Mulutnya mulai meracau menyebut nama abah, emak dan adeknya. Berulangkali dia mengucapkan kata maaf dan ampun. Setelah menyesal telah terlambat pulang.

“Maaf kan, Kara…”

Brugh…

Laki-laki muda itu tidak sadarkan diri sendirian di rumah. Otaknya belum siap untuk menerima hal yang menyakitkan seperti ini. Niat hati ingin istirahat agar bisa pulih sepenuhnya, namun takdir berkata lain. Hidup Sangkara di ujung tanduk. Jika dia tidak kuat, maka dia bisa menyusul keluarganya. Namun, jika dia kuat, dia bisa selamat dan hidup lebih lama lagi.

1
Nurhartiningsih
waduh...jangan2 dokter Adit bagian dari mrk..
Pelita: Hmm, mungkin kali ya kak...? Tunggu aja bab berikutnya...

Hmm... Mungkin kali ya kak? Jawabannya tunggu di bab selanjutnya...😁
total 1 replies
Taufik Ukiseno
Karya yang keren.
Semangat untuk authornya... 💪💪
Taufik Ukiseno
😍
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!