"Di Bawah Langit yang Sama" adalah kisah tentang dua jiwa yang berbagi ruang dan waktu, namun terpisah oleh keberanian untuk berbicara. Novel ini merangkai benang-benang takdir antara Elara yang skeptis namun romantis, dengan pengagum rahasianya yang misterius dan puitis. Saat Elara mulai mencari tahu identitas "Seseorang" melalui petunjuk-petunjuk tersembunyi, ia tak hanya menemukan rahasia yang menggetarkan hati, tetapi juga menemukan kembali gairah dan tujuan hidupnya yang sempat hilang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Wisnu ichwan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Arus Dan Jaring Senyap
Elara, atau kini Annelise, merasakan dingin yang menusuk tulang segera setelah tubuhnya menghantam sungai. Dingin itu bukan hanya karena air malam yang beku, tetapi juga karena realisasi penuh dari bahaya yang mengancam. Keputusannya untuk melompat adalah sebuah refleks primal, bukan manuver yang diperhitungkan. Sekarang, dia harus mengubah pelarian panik ini menjadi pergerakan yang disengaja.
Dia membiarkan dirinya tenggelam sejenak, menahan napas, membiarkan arus sungai yang kuat menariknya ke bawah jembatan, jauh dari lampu sorot yang kini menyapu permukaan air. Di atas, dia mendengar teriakan dan suara perahu bermesin tempel yang dinyalakan dengan tergesa-gesa. Dharma tidak hanya mengirimkan pengawal darat; mereka siap dengan pengejaran laut.
Paru-parunya mulai protes. Annelise mendayung ke atas, memecah permukaan air dengan hati-hati. Ia berada di sisi jembatan yang paling gelap, di mana bayangan pilar-pilar raksasa menelan cahaya rembulan. Ia harus menghindari perahu itu.
Akselerasi mendadak dari perahu di atasnya membuat gelombang kecil menghantamnya. Annelise menenggelamkan diri lagi, berenang horizontal menjauhi pilar, menuju tengah sungai. Dia ingat pelajaran ayahnya: dalam situasi air, jangan pernah melawan arus; gunakan kekuatannya untuk tujuanmu.
Dia membiarkan arus membawanya turun, sambil terus mengayuh perlahan, menghemat energi. Air sungai yang tercemar dan berlumpur menyentuh wajahnya, tetapi fokusnya tetap pada suara perahu. Suara itu kini menjauh, mengarah ke hilir, jauh melampaui posisinya. Mereka mengejar umpan, mengira dia masih di sekitar pilar jembatan atau mungkin sudah hanyut jauh ke bawah.
Setelah memastikan perahu itu jauh, Annelise berenang menuju tepian sungai. Ia melihat ke atas, ke jalan raya. Lampu-lampu kota, meskipun jauh, terasa seperti pengawasan. Ia memilih untuk tetap di air, berpegangan pada pinggiran beton yang ditumbuhi lumut di bawah tanggul sungai.
Dia menarik dirinya keluar dari air, tubuhnya gemetar karena kedinginan. Jaket hoodie gelap dan sepatu bot hiking-nya kini terasa berat seperti timah. Dia meremas paspor Annelise Wijaya dan kunci kuningan, yang masih ia genggam erat di tangan kanannya. Bukti yang ia butuhkan ada di hatinya dan di kakinya.
Ia mengeluarkan senter kecil dengan filter merah dari saku celananya, menyalakannya. Cahaya merah itu menyorot sekelilingnya: sebuah lorong sempit di antara dinding penahan sungai dan pagar kawat berduri.
Ia harus segera bergerak. Tidak ada waktu untuk menggigil.
Annelise mengeluarkan ponsel feature phone barunya, yang ia bungkus dalam lapisan plastik kedap air. Ia membuka pesan terakhir dari Athena: sebuah koordinat GPS dan peringatan: "Jaring Senyap, Sisi Timur. Jangan pernah menyalakan telepon lebih dari 10 detik. Tunggu panggilanku."
Koordinat itu menunjuk ke sebuah area yang berada di tengah kota, sebuah lokasi yang ironisnya jauh lebih aman daripada pinggiran sungai.
Annelise menanggalkan jaketnya yang basah kuyup dan memeras air dari celananya sebisanya. Ia tahu bahwa hipotermia adalah musuh berikutnya. Ia harus menemukan cara untuk berpindah tempat tanpa terdeteksi.
Dia menyelinap ke jalur kereta api yang ditinggalkan di sepanjang sungai. Rel yang berkarat menawarkan penutup yang baik. Ia bergerak cepat, langkah kakinya teredam oleh kerikil. Dengan jaket basah yang diikatkan di pinggangnya, ia kini bergerak lebih ringan, tetapi setiap langkah terasa mendesak.
Setelah sekitar satu kilometer, ia tiba di sebuah persimpangan. Untuk memasuki kota, ia harus melewati jalan utama. Ia menunggu di balik tumpukan kantong sampah.
Rencana A: Pelarian. Selalu gagal.
Rencana B: Penyamaran. Annelise harus berbaur.
Dia masuk ke sebuah gang yang bau dan kumuh. Di sana, ia melihat sebuah mesin cuci otomatis koin yang beroperasi 24 jam. Sebuah ide muncul.
Dia memasuki tempat itu. Beberapa orang gelandangan tidur di sudut. Annelise menyalakan mesin cuci terkecil, memasukkan jaket dan celananya yang masih basah kuyup. Dia mengeluarkan uang tunai yang tersisa di dalam saku rahasia di sol sepatunya—uang yang terselamatkan karena dia mengosongkan tas ranselnya di pelabuhan.
Sambil menunggu pakaiannya kering, dia menggunakan waktu itu untuk membersihkan dirinya. Di kamar mandi kecil di sana, ia mencuci lumpur dari wajahnya dan mengikat rambutnya lagi. Ia mengganti sol sepatunya yang basah dengan alas kertas yang ia temukan di tong sampah bersih—untuk sementara waktu, sepatu bot itu akan menjadi lebih nyaman.
Ketika mesin pengering selesai, ia mengenakan pakaiannya lagi. Pakaiannya masih lembap, tetapi tidak lagi basah kuyup, dan jauh lebih ringan. Ia kini terlihat seperti seorang backpacker yang kurang beruntung, bukan seorang buronan.
Dia keluar dari laundry koin, langsung menuju ke daerah koordinat yang diberikan Athena.
Pukul 03.15 dini hari. Jalanan kota sepi.
Lokasi koordinat membawanya ke sebuah gedung perkantoran tua, yang terlihat kosong. Di seberang jalan, ada sebuah kafe bernama "Jaring Senyap" yang pintunya terkunci dan tirai jendelanya tertutup.
Annelise ingat pesan Athena: "Sisi Timur."
Dia menyeberang jalan dan berjalan menyusuri sisi timur kafe itu. Di sana, ia menemukan pintu baja kecil, sebuah pintu layanan. Ada sebuah kotak surat tua di sebelahnya.
Dia mengeluarkan ponselnya, menyalakannya. Waktu di layar: 3:18:03. Jantungnya berdebar.
Tepat pada detik kelima, sebuah pesan masuk. Kali ini, bukan koordinat. Itu adalah kode:
A47.11-Tembaga. Di balik mata kucing, bawah fire escape.
Annelise mematikan ponselnya dan menyimpannya. Mata kucing. Itu adalah nama untuk lampu reflektor jalan yang dipasang di dinding. Fire escape (tangga darurat).
Dia melihat ke atas. Tangga darurat besi tua menjulang di atasnya. Di bawah tangga itu, di ketinggian mata kakinya, ada reflektor kecil yang tertanam di dinding.
Dia berlutut, berpura-pura mengikat tali sepatu. Dengan kunci kuningan yang baru diambilnya, ia menggeser lampu reflektor itu. Reflektor itu terbuka, memperlihatkan sebuah lubang kecil di dinding.
Di dalamnya, ada sebuah kartu akses kecil berwarna hitam dan sebuah keyfob plastik.
Annelise mengambilnya. Di belakang kartu akses itu, ada tulisan tangan yang sangat kecil: "Rumah Aman 47. Kunci Kuno di Laut Merah."
Ia menggunakan keyfob itu. Pintu baja kecil itu berbunyi klik pelan.
Annelise melangkah masuk, ke dalam kegelapan. Ia menarik pintu itu menutup di belakangnya. Seketika, suara bising kota menghilang. Dia menarik napas lega pertama sejak meninggalkan kamar kosnya.
Ia berada di dalam sebuah lorong sempit yang berbau antiseptik dan debu. Di ujung lorong, ada lift kargo kecil. Dia menggunakan kartu akses hitam itu.
Lift itu membawanya turun, bukan ke lantai basement, tetapi ke sub-basement.
Pintu lift terbuka. Annelise melangkah keluar, menyalakan senter merahnya.
Ia berada di sebuah ruangan kecil yang bersih dan modern. Terdapat tempat tidur lipat, sebuah meja kecil, dan yang paling penting, sebuah perangkat keras yang terpasang di dinding: sebuah panel komunikasi enkripsi tingkat tinggi.
Di meja, ada sebuah tas kecil, berisi pakaian kering, makanan energi, dan sebuah USB drive yang benar-benar baru.
Ia telah memasuki jaringan rumah aman ayahnya dan Athena. Ia telah menjadi Annelise.
Annelise mengunci pintu baja di belakangnya dengan kunci kuningan. Kunci master server.
Ia mengeluarkan laptop bekasnya dari tas selempang. Ia menghubungkannya ke panel komunikasi. Sekarang, saatnya untuk fase kedua.
Ia mengeluarkan kunci kuningan itu dan menatapnya. Inilah yang dipertaruhkan Dharma. Inilah kunci untuk membuka seluruh sistemnya.
Ia mengambil USB drive baru itu dan laptopnya.
Langkah pertama: mengirimkan pesan bahwa Perseus Junior telah tiba dengan selamat.
Ia menyalakan panel komunikasi, memasukkan kartu akses hitam ke dalam slot tersembunyi. Jaringan nirkabel aman muncul di layar laptopnya.
Ia membuka aplikasi pesan enkripsi ayahnya. Ia mengetikkan kodenya, kode yang sudah diubah Athena:
"47. Kunci kuningan telah di Laut Merah."
Dan kini, dia siap. Siap untuk melepaskan gelombang pasang yang dijanjikan, menggunakan kunci master itu. Namun, dia harus melakukannya dari lokasi yang benar-benar aman, dan dengan rencana yang tidak bisa dilacak.
Annelise menyandarkan punggungnya ke dinding, menarik napas dalam-dalam. Misi baru telah dimulai. Dia bukan lagi Elara yang panik, tetapi Annelise yang dingin dan bertekad. Dharma mungkin berhasil memburunya, tetapi mereka tidak akan pernah menemukan bukti yang kini ada di dalam genggamannya. Dia hanya butuh beberapa jam untuk memulihkan diri.
Ponsel feature phone-nya bergetar pelan, sekali.
Panggilan masuk. +1−555−555−2407 (Athena).
Annelise mengangkatnya.
"Aku sudah di dalam," bisiknya.
"Bagus, Annelise," jawab suara Athena yang tenang dan profesional. "Kamu berhasil. Tapi ada masalah. Dharma telah mengamankan brankas cadangan. Mereka mengharapkanmu untuk mempublikasikan data hari ini. Kamu harus menunda. Kita butuh rencana baru."
Annelise menyipitkan mata. Menunda? Itu berbahaya.
"Bagaimana dengan JARING LABA-LABA dan BUKTI DELTA?" tanyanya.
"Kita akan menggunakannya sebagai pengalih. Dharma telah menyiapkan penangkal siber. Kita harus membuat mereka lengah. Dengarkan baik-baik. Rencana baru: Operasi Midas. Ini tentang emas, bukan data. Ambil laptopmu. Saatnya bekerja."
Annelise merasa lelah, tetapi adrenalin mendominasi. Dia menyalakan laptopnya, siap menerima instruksi yang jauh lebih rumit dan berbahaya. Dia telah lolos dari pelarian panik, dan kini saatnya menghadapi manuver taktis tingkat berikutnya.