Sagara mengalami hilang ingatan setelah kecelakaan tragis, tidak ada kenangan Lania dalam pikirannya.
Lania merasa sedih, terlebih-lebih Sagara hanya mengingat sekertaris-nya yang tak lain adalah Adisty.
Peristiwa ini dimanfaatkan Adisty untuk menghasut Sagara agar menceraikan Lania.
Lantas, dapat kah Liana mempertahankan rumah tangganya?
Apakah ingatan Sagara akan kembali?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon megatron, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Berbalik
Hening menyelimuti kamar yang hanya diterangi lampu tidur berwarna kekuningan. Lania duduk di tepi ranjang, jari-jarinya menggenggam selimut yang terlipat rapi. Udara malam yang sejuk tak mampu menyejukkan dadanya yang sedang sesak. Sagara berdiri di depan jendela, punggungnya menghadap Lania, tubuhnya tegak, seolah menjaga jarak yang tak kasatmata.
"Aku mau tanya," suara Sagara terdengar tenang, tetapi cukup menusuk, "foto itu, kenapa kamu bisa ada di café malam-malam... sama Pandu?"
Lania mengangkat wajahnya. Matanya berkaca-kaca, dia mati-matian menahan air mata agar tak luruh. "Kamu tahu jawabannya, Sagara. Pandu itu sahabatku dari sebelum kamu datang."
Dengan ekspresi tak percaya, Sagara berbalik pelan menatap Lania. "Memang, dan tidak sepantasnya—perempuan yang sudah menikah terlalu dekat dengan pria lain—meski sudah lama saling. Karena cara pandang orang lain berbeda. Mereka lihat kalian berdua duduk dekat, tertawa, seperti..." Dia menggantungkan kalimatnya, dengan maksud yang sudah cukup jelas.
Lania berdiri pindah ke dekat tempat tidur, napasnya mulai memburu. "Seperti apa? Seperti aku berselingkuh? Begitu kata Adisty."
"Aku tidak bilang gitu."
"Tapi kamu pikir begitu."
Suasana kamar mendadak jadi dingin. Tak ada suara selain detak jam di dinding dan gemerisik angin malam yang menyusup lewat celah jendela.
"Selama ini aku diam, Ga," suara Lania bergetar, "waktu kamu terlalu sibuk, waktu kamu pulang tanpa kabar, waktu kamu lebih banyak cerita ke Adisty daripada ke aku—aku tahan. Karena aku percaya."
Seolah kalimat itu menamparnya, Sagara menunduk dalam. Sikapnya sukar diartikan, dia seperti bingung. Memijat pangkal hidung agak lama.
"Dan sekarang kamu meragukan aku... cuma karena tidak sengaja ketemu Pandu?" tanya Lania.
Sagara tak menjawab. Diamnya justru jadi bentuk penghakiman paling menyakitkan. Lania mundur selangkah, lalu perlahan kembali duduk. Kali ini tubuhnya sedikit membungkuk, seolah lelah menahan beban yang tak terlihat.
"Aku capek, Ga... kenapa justru kamu menuduhku. Aku sudah jarang ikut acara yang melibatkan teman lama tanpa kamu."
Di luar, hujan mulai turun perlahan, sedangkan di dalam kamar itu, badai sudah lebih dulu datang.
Sagara masih berdiri di tempat yang sama, diam, sorot matanya mulai berubah. Ada sesuatu yang bergetar dalam dirinya, entah rasa bersalah atau justru kebingungan yang selama ini dia sembunyikan di balik ketegasan wajahnya.
Lania menyandarkan tubuh ke sandaran ranjang. Pandangan menerobos langit-langit kamar yang abu-abu. Matanya terasa panas, ada air mata yang siap keluar. Sudah terlalu sering menangis untuk hal-hal yang seharusnya bisa selesai dengan kepercayaan.
"Aku tidak pernah minta kamu percaya sama Pandu," ucap Lania pelan, nyaris seperti bisikan. "Aku cuma minta kamu percaya sama aku."
Ucapan itu menghantam Sagara lebih keras daripada teriakan. Dia akhirnya bergerak, melangkah pelan ke sisi ranjang, lalu duduk di ujungnya—masih menyisakan jarak di antara mereka.
"Aku..." Sagara mulai bicara, tapi kalimatnya tersangkut di tenggorokan. Mendesah, meremas telapak tangan sendiri. "Aku bukan sengaja nuduh kamu, Lan. Aku cuma... tidak ngerti lagi sama semuanya. Akhir-akhir ini semua terasa... aneh."
Lania menoleh pelan. “Aneh? Setelah kecelakaan, Adisty mencuci otakmu.”
“Lania, Adisty tidak mungkin seperti itu.”
“Kamu... Sudahlah, aku tidak bisa berbuat banyak, Ga. Aku lelah, kehamilan ini cukup banyak menguras energi. Kamu percaya silakan, tidak juga tidak masalah.” Suara Lania masih rendah, tapi ketajamannya menusuk. Sagara tertunduk, tak langsung membalas.
"Difoto itu kalian... kayak deket banget," katanya akhirnya. "... aku pikir kamu minta pisah karena dia."
Ucapan itu membuat dada Lania mencelos. Dia menarik napas panjang, lalu bangkit berdiri, berjalan pelan ke jendela.
"Lucu ya... kamu ngomong kayak gitu, padahal kamu yang duluan bikin jarak. Kamu sibuk menghabiskan waktu bersama Adisty dengan dalih pekerjaan."
Sagara mendongak, menatap punggung Lania. Ada sesuatu yang perlahan runtuh di dalam dirinya—entah itu egonya, atau kesadarannya bahwa dia tak pernah benar-benar hadir.
Lania memeluk tubuhnya sendiri. Suara hujan makin jelas. Dalam bayangannya, Pandu—yang selalu ada untuk sekadar bertanya kabar, atau duduk mendengarkan—tiba-tiba terasa lebih hangat daripada Sagara yang selama ini hanya menjadi sosok bayangan di dalam rumah.
“Lan...” Sagara bangkit, melangkah mendekat, tapi berhenti di belakangnya. Tangannya terangkat, ragu-ragu ingin menyentuh pundak Lania, tapi tak jadi. Ia tahu: jarak itu kini lebih besar dari yang dia kira.
“Kamu tidak kehilangan aku karena Pandu, Ga,” bisik Lania. “Tapi karena kamu asyik bertukar pikiran sama Adisty. Dulu sewaktu aku masih ikut mengurus perusahaan, kamu sering menolak pendapatku tanpa alasan. Oh, tidak. Kamu percaya kepada Adisty, karena dia lebih lama bekerja.”
Lania melangkah menjauh, meninggalkan Sagara yang berdiri dalam diam, kamar itu benar-benar sunyi. Bukan lagi karena malam, tetapi karena dua hati di dalamnya sudah kehilangan arah.
Langkah tegas Lania goyah setelah tiba di ruang ganti. Dia membungkuk dalam sedalam-dalamnya hingga terduduk di lantai. “Aku kira setelah pernyataan ku, Sagara akan mencari tau dan menemukan kebenaran... tetapi, semua justru berbalik kepadaku.”
Tangis Lania pecah tanpa suara. Dia tidak mau Sagara mendengarnya.
jujur selain hasutan nenek lampir, atau ingatan ttg Lania, smp saat ini keinginan sagara sendiri ga jelas
kamu dapat inspirasi dari mana jal
hai sayang. aku datang karena penasaran