Ziudith Clementine, seorang pelajar di sekolah internasional Lavante Internasional High School yang baru berusia 17 tahun meregang nyawa secara mengenaskan.
Bukan dibunuh, melainkan bunuh diri. Dia ditemukan tak bernyawa di dalam kamar asramanya.
Namun kisah Ziudith tak selesai sampai di sini.
Sebuah buku usang yang tak sengaja ditemukan Megan Alexa, teman satu kamar Ziudith berubah menjadi teror yang mengerikan dan mengungkap kenapa Ziudith memutuskan untuk mengakhiri hidupnya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dfe, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Aku kembali
Ini akhir pekan, semua siswa siswi Lavente menghabiskan waktu liburan mereka untuk pulang ke rumah masing-masing. Begitu juga dengan Megan. Dia ingin bertemu dengan keluarganya. Sepertinya berkumpul dengan keluarga adalah refreshing terbaik untuk menghilangkan frustasi dalam diri Megan saat ini.
Dijemput dengan mobil sebelum meninggalkan asrama, Megan menatap ke arah pohon beringin besar tempat dirinya mengubur buku harian Ziudith. Megan harap setelah dia membuang buku itu, tak akan ada lagi kejadian tidak masuk akal yang akan mengikuti dirinya.
Rumah Megan terletak di jantung kota, hanya memerlukan waktu satu jam agar dirinya sampai di dalam rumah dengan cat putih gading itu. Megan disambut peluk cium kedua orang tuanya. Tentu saja, Megan mendapat perlakuan istimewa sebab dia adalah putri satu-satunya keluarga tersebut.
Megan rindu orang tuanya, satu Minggu ini adalah satu Minggu terberat selama dirinya menjadi siswa di Lavente. Beberapa cerita mengalir begitu saja ketika Megan dan kedua orangtuanya berada di teras depan rumah. Biasanya Megan akan menghindari keakraban seperti ini. Entah lah, bagi Megan menghabiskan waktu dengan rebahan di kamar atau melakukan perawatan di salon terdengar lebih menarik dari pada duduk mengobrol bersama papa mamanya. Tapi lihatlah sekarang, dia bahkan menaruh kepalanya di pangkuan sang mama. Seperti anak kucing yang sedang bermanja.
Waktu dengan keluarga dimanfaatkan Megan dengan baik, nyatanya hingga sore tiba dia masih betah di rumah. Tidak seperti minggu minggu sebelumnya.
"Megan, ada Sam di luar." Baru saja Megan selesai mandi, dan mamanya sudah memberi kabar jika sang kekasih ada di depan rumahnya.
"Suruh pulang saja mam. Aku sedang tidak ingin menemuinya." Megan duduk di depan meja rias menyisir rambut panjangnya. Dia tidak menoleh sama sekali ke arah pintu kamarnya.
"Ada apa, sayang? Kamu bertengkar dengannya? Ada masalah hmm?" Mama mendekati Megan mengambil alih sisir itu lalu menyisir rambut anaknya pelan.
"Mam, apa yang akan mama lakukan jika seseorang yang mama anggap paling mengerti mama tapi malah menjadi orang yang paling nggak percaya dan mengganggap mama gila?" Megan menarik nafas dalam.
"Sayang, tidak semua orang bisa mempercayai apa yang kita ucapkan. Meski kita tunjukkan bukti di depan mata mereka sekalipun, yang namanya kepercayaan itu hak individu Megan. Kau tak bisa memaksakan apa yang kau yakini atau percayai pada orang lain. Yang terpenting bukan orang lain percaya atau tidak.. Tapi, buktikan jika apa yang kau ucapkan itu benar adanya. Mereka yang tadinya tidak percaya padamu lambat laun akan mengakui kebenaran yang kau ucapkan."
"Sekarang temui dia. Kasihan Sam, dia pasti melakukan perjalanan jauh sampai bisa ke sini. Mama akan buatkan kalian jus dan ambil camilan di dapur."
Mau tidak mau Megan akhirnya menemui Sam juga. Bisa Megan lihat senyum Sam mengembang. Tapi tidak dengan Megan. Rasa sakit hati karena Sam tidak percaya padanya lebih besar dari pada rasa rindunya pada lelaki yang sedang menyodorkan bunga serta bingkisan ke arahnya.
"Masih marah? Kenapa kamu tidak menjawab teleponku?" Tanya Sam meletakkan bunga yang dia bawa di meja karena Megan tak ingin menerimanya.
"Marah untuk apa? Ponselku di tas. Aku belum sempat mengambilnya."
Megan menatap ke arah lain. Ke arah mobil yang terparkir di halaman rumahnya. Di sanalah dia meninggalkan tas beserta ponselnya. Memang sengaja! Lagi pula, siapa yang akan menghubungi Megan di waktu liburan seperti ini? Dia saja sedang bersama keluarganya. Tidak mungkin orang tuanya menghubungi dirinya. Teman? Ayolah.. Mari ingatkan kembali pada gadis itu bahwa dia tidak memiliki satupun manusia yang bisa dia sebut sebagai temannya. Lagi-lagi nama Samuel lah yang akan selalu meramaikan gawai mahal miliknya.
Dengan satu perintah kepada asisten rumah tangganya, Megan sudah bisa mendapatkan kembali tasnya yang ada di dalam mobil tanpa perlu dia bersusah payah mengambil sendiri. Tangan Megan merogoh tas ransel kecil itu, bermaksud menunjukkan jika memang ponselnya masih berada di sana.
Namun wajah Megan langsung memucat. Dia bergetar ketakutan, dia lempar tas itu sejauh mungkin dari hadapannya.
"Ada apa? Ada serangga di dalam sana?? Aku akan mengambil ponsel mu lebih dulu jika begitu." Ujar Sam dengan wajah cemas dan sedikit terkejut dengan perubahan sikap Megan yang membuang tasnya dengan kasar di hadapannya.
"Ja-jangan Sam.." Sam yang tadinya sudah mendekati tas milik kekasihnya jadi diam di tempat.
"Kenapa? Kau terluka? Atau--"
"Buku itu.. Buku itu ada di dalam tas ku, Sam! Buku itu ada di sana!! Aku sudah mengubur buku itu tepat setelah kau menemui ku di sekolah kemarin. Aku kubur di bawah pohon beringin dekat gerbang sekolah! Dan sekarang... Sekarang buku itu kembali! Buku itu ada di sana, Sam!"
Megan menangis. Jujur saja dia ketakutan setengah mati sekarang ini. Sam mengambil tas Megan. Mengeluarkan satu-satunya buku yang ada di dalam tas itu. 'The Book. Ziudith Clementine.' Samuel sempat membacanya.
"Ini? Ini yang kamu maksud? Ini buku terkutuk itu? Kau tak perlu cemas lagi, aku akan melenyapkan buku ini untukmu, Megan." Sam membawa buku itu menuju halaman depan. Ada tong pembakaran sampah cukup besar di sana. Sam membuang buku itu begitu saja. Lalu melempar korek api yang minta dari asisten rumah tangga Megan.
"Harusnya kau membacanya lebih dulu agar kau tau jika apa yang aku ucapkan selama ini adalah kejujuran! Aku tidak berhalusinasi! Aku tidak gila! Semua kejadian kemarin, kematian Patricia dan Nancy tertulis di sana. Harusnya kau membacanya, Sam!"
Sam memeluk Megan yang masih meracau tak karuan. Bagi Samuel, Megan hanya terlalu banyak berpikir. Dan semua pikiran tidak masuk akal itu membuat gadisnya mengalami lonjakan emosi secara drastis. Marah, sedih, takut, dan kecewa. Samuel bisa merasakan semua itu dalam diri Megan. Maka yang Sam lakukan hanya memeluk Megan tanpa berkeinginan membantah setiap ucapan gadis itu barang satu kata saja.
"6 Juli 2025. Lavente terlihat sepi. Ya, tentu saja. Semua penghuninya sedang menikmati masa-masa liburan akhir pekan. Namun tidak dengan dirinya. Dia sibuk di kantor bersama beberapa staf lain. Dia terlihat gusar. Aku menikmati wajah cemasnya. Aku menikmati setiap tetes keringat dingin yang muncul dari pori-pori kulitnya. Seakan itu adalah maha karya Tuhan yang paling indah di mataku sekarang ini. Ketakutannya! Itu lah hal terindah yang bisa kau lihat dari wajahnya."
"Lihatlah bagaimana seorang yang dulunya angkuh dan arogan itu kini berubah seperti tikus kecil yang siap dipenggal. Suatu hari, aku diberi tugas olehnya, padahal sudah jam pulang sekolah, suasana teramat sepi. Tentu saja aku menolak. Namun yang aku dapat dari penolakan itu adalah tamparan. Bukan satu dua kali tapi berkali-kali. Dan demi menjaga agar nyawaku masih berada di dalam tubuhku saat itu, aku terpaksa menurutinya. Aku harus mengerjakan tugas itu di dalam ruang khusus staf sekolah. Tebak apa yang aku dapatkan dari kepatuhan ku mengikuti semua perintahnya? Dia melecehkan ku. Iya! Dia berusaha merenggut apa yang bukan menjadi hak miliknya."
"Itu tubuhku yang dilecehkan. Dia tarik dengan kasar seragam ku. Dia sudah mendapatkan bagian atas tubuh ku, namun keberuntungan berpihak padaku kala dia memaksakan diri untuk melakukan tindak lebih pada tubuhku. Ada staf lain yang mengetuk pintu dan memergoki kebejatannya. Dan apa yang terjadi selanjutnya? Dia memfitnah ku! Dia bilang pada temannya jika aku lah yang merayunya lebih dulu. Apa orang itu tidak pernah berkaca seumur hidupnya? Untuk ukuran lelaki dewasa dia termasuk jelek dalam arti yang sebenarnya. Jadi untuk apa aku merayu lelaki tua jelek seperti itu?"
"Sayangnya semua orang percaya padanya. Tidak ada yang melihat keadaanku. Bekas tamparan di pipiku, baju seragam yang sudah kehilangan semua kancingnya, dan.. bekas gigitan di dadaku, tidak berarti apa-apa di mata mereka. Mereka menudingku jalAng! Dan dia tersenyum senang melihat ketakutan ku saat itu."
"Di dalam ruangan tersebut ada sebuah kipas angin gantung besar dengan baling-baling yang biasa disebut ceiling fan. Entah kenapa, dari pada mengunakan AC sebagai penyejuk ruangan, orang itu lebih memilih menyalakan ceiling fan. Hujan beberapa minggu belakang membuat kolong atap basah dan membasahi kabel di atas sana. Salah satunya kabel dari ceiling fan tersebut. Tepat setelah dia menyalakan kipas dengan baling-baling besi, percikan api terlihat dari baling-baling yang berputar sangat cepat hingga terlepas dari badan kipas."
"Semua orang berteriak ketakutan dan berlindung di bawah meja kerja mereka, namun tidak dengan dirinya. Dia malah asik mendongak Ingin tahu apa yang terjadi. Alhasil, baling-baling kipas itu membelah tubuhnya dari atas kepala hingga mengenai bagian intim tubuhnya. Dia menggelepar seperti seekor ikan yang kekurangan air di dataran. Badannya tercabik, darah terciprat dimana-mana, sekarang dia tidak akan pernah bisa memaksakan nafsu binatangnya pada siapapun di dunia. Karena malaikat maut sendiri lah yang sekarang sedang menyeretnya masuk ke neraka. Semoga kau bersenang-senang di tempat mu yang baru, teacher."
Megan mematikan siaran televisi yang menayangkan berita kematian salah satu staf terbaik Lavente. Guru yang sudah lebih dari sepuluh tahun mendedikasikan dirinya di sekolah elite tersebut harus meregang nyawa dengan cara yang sangat tragis. Dan lagi-lagi, semua itu bisa Megan tahu lebih dulu dari buku yang sekarang ini dia bawa. Buku yang sempat dibakar Sam sore tadi, ternyata diambil kembali oleh papanya yang mengira jika buku tersebut adalah buku milik Megan. Dan anehnya, tidak terdapat tanda-tanda terbakar di buku itu. Sudah jelas jika The Book bukan sekedar buku biasa. Apa Megan masih sanggup membaca isi buku itu sampai selesai?
Kan Megan pemeran utamanya
tadinya kami menyanjung dan mengasihaninya Krn nasib tragis yg menimpanya
tapi sekarang kami membencinya karena dendam yg membabi-buta
dikira jadi saksi kejahatan itu mudah apa?
dipikir kalo kita mengadukan ke pihak berwajib juga akan bisa 'menolong' sang korban sebagaimana mestinya?
disangka kalo kita jadi saksi gak akan kena beban moral dari sonosini?
huhhhh dasar iblissss, emang udh tabiatnya berbuat sesaddddd lagi menyesadkannn😤😤😤
karna kmn pun kamu pergi, dia selalu mengikutimu
bae² kena royalti ntar🚴🏻♀️🚴🏻♀️🚴🏻♀️
Megan tidak pernah jahat kepada ziudith,tapi kenapa Megan selalu di buru oleh Ziudith???!
Apakah Megan bakal kecelakaan,smoga enggak ah.. Jangan sampe
mau diem, diteror terus.. mau nolong, ehh malah lebih horor lagi juga🤦🏻♀️