Liana Antika , seorang gadis biasa, yang di jual ibu tiri nya . Ia harus bisa hamil dalam waktu satu bulan. Ia akhirnya menikah secara rahasia dengan Kenzo Wiratama—pewaris keluarga konglomerat yang dingin dan ambisius. Tujuannya satu, melahirkan seorang anak yang akan menjadi pewaris kekayaan Wiratama. agar Kenzo bisa memenuhi syarat warisan dari sang kakek. Di balik pernikahan kontrak itu, tersembunyi tekanan dari ibu tiri Liana, intrik keluarga besar Wiratama, dan rahasia masa lalu yang mengguncang.
Saat hubungan Liana dan Kenzo mulai meluruhkan tembok di antara mereka, waktu terus berjalan... Akankah Liana berhasil hamil dalam 30 hari? Ataukah justru cinta yang tumbuh di antara mereka menjadi taruhan terbesar?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mira j, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 5
Pagi itu suasana di mansion terasa sunyi namun penuh ketegangan yang tak terlihat. Sinar matahari menyusup melalui jendela besar, menerangi meja makan yang telah ditata rapi oleh Maria. Di atas meja, tersaji hidangan ringan—roti panggang, telur rebus, potongan buah segar, dan segelas susu yang masih hangat mengepul.
Kenzo duduk terlebih dahulu di ujung meja, matanya tak lepas dari gadis yang sedang berjalan pelan di belakangnya. Liana—dengan wajah datar, tanpa ekspresi—berjalan seperti boneka hidup, menahan setiap emosi di balik mata beningnya yang letih.
"Silakan duduk," ucap Kenzo tanpa menatap langsung, suaranya dalam dan tenang.
Liana duduk di seberangnya, diam. Ia hanya menggenggam gelas susu dengan tangan yang gemetar, tak sedikit pun menyentuh makanan di piringnya.
Maria, yang berdiri tak jauh, mencuri pandang. Ada rasa iba di wajahnya. Ia sudah melihat Liana menjalani hari-hari yang tidak pernah pantas dijalani oleh gadis seusianya.
Kenzo membuka suara, kali ini lebih pelan. “Selama sebulan ini, aku akan berada di sini, bersama mu. Jangan kuwatir Claudia yang memutuskan begitu.”
Liana hanya mengangguk kecil. Dalam hatinya, kalimat itu adalah pengingat bahwa dia bukan siapa-siapa. Hanya alat. Wadah. Dan pria di depannya… adalah pemilik sementara yang dipilihkan untuknya.
Kenzo memperhatikan Liana lebih lama. Gadis itu tidak banyak bicara, namun tubuhnya seperti berbicara lebih nyaring daripada kata-kata. Wajahnya pucat. Matanya kehilangan cahaya.
“Kalau kamu tidak suka makanan ini, minta pada Maria untuk menyiapkan yang kamu mau,” ujar Kenzo, mencoba mencairkan suasana.
“Terima kasih,” jawab Liana lirih, akhirnya bersuara. Ia mulai menyuap potongan kecil buah, hanya untuk menghilangkan rasa lapar.
Di balik sikap dingin dan wibawanya, Kenzo tahu, sebulan ini akan menjadi ujian. Ia harus mengikuti rencana Claudia, tapi dirinya sendiri mulai diliputi oleh dilema.
Maria kembali masuk ke dapur, meninggalkan mereka berdua. Dalam sepi yang menggantung di antara sendok dan gelas, hanya terdengar detak jam dinding.
Tak ingin membuat suasana makin menekan, Kenzo memilih bangkit dari meja makan lebih dulu. "Nikmati saja sarapanmu," katanya singkat sebelum melangkah pergi.
Liana hanya mengangguk kecil, bahkan nyaris tak terdengar suara dari bibirnya. Setelah Kenzo pergi, ia baru bisa bernapas sedikit lebih lega dan mulai memakan sarapannya perlahan.
Sementara itu, Kenzo sudah duduk kembali di ruang kerjanya. Ia menekan tombol telepon, menghubungi Claudia. Tak butuh waktu lama, suara wanita itu terdengar di seberang dengan lembut dan tenang.
“Halo, sayang. Sudah merasakan gadis itu?” suara Claudia mengalun, ada nada penasaran yang tak bisa disembunyikan.
“belum . Dia... terlalu tegang, terlalu takut,” jawab Kenzo, tanpa basa-basi.
“Tentu saja dia takut. Dia tahu posisinya,” jawab Claudia enteng.
“Kenapa tidak ada pakaian layak untuk gadis itu? Apa maksudmu hanya mengisi lemari dengan lingerie?”
Claudia di seberang tertawa kecil. “Kenzo, sayang. Itu bagian dari psikologi penyesuaian. Pakaian itu akan membuatnya lebih sadar akan posisinya. Dia harus terbiasa terlihat menarik di matamu. Itu bagian dari rencana.”
“Dia manusia, Claudia. Bukan boneka atau alat yang bisa kau dandani sesukamu.”
“Jangan terlalu terlibat secara emosional,” Claudia memperingatkan. “Aku tahu dia cantik dan kamu bisa saja tergoda. Tapi ingat, dia hanya perantara.
Kenzo mengerutkan kening. “Dia bukan budak, Claudia.”
“Aku tidak pernah bilang dia budak,” balas Claudia pelan namun tajam. “Tapi kamu tahu kenapa dia ada di sana, bukan?”
“Untuk menjalankan program gila ini,” gumam Kenzo, jengkel.
Claudia tertawa kecil, namun tawanya dingin. “Bukan gila, Kenzo. Ini masa depan keluarga kita. Kamu hanya perlu dekat dengannya. Buat dia nyaman... tapi ingat, jangan jatuh cinta.”
Kenzo diam. Ia tidak menjawab perintah itu. Lalu, dengan suara datar ia berkata, “Selama sebulan ini, aku akan mencoba membuatnya terbiasa denganku.”
“Bagus,” ujar Claudia cepat. “Dan setelah itu, semua akan kembali seperti semula. Dia hanya perantara. Ingat itu.”
Panggilan ditutup. Kenzo mendesah panjang, lalu meletakkan ponselnya. Hatinya terasa berat.
Sementara itu, Liana masih di meja makan, memegang gelas susu dengan kedua tangan. Di dalam dirinya, ia tahu hidupnya telah berubah selamanya. Tapi satu hal yang ia yakini, jika ia tak bisa lari, maka ia harus bertahan.
Tak lama kemudian, suara langkah kaki mendekat. Kenzo kembali.
“Liana,” panggilnya pelan.
Gadis itu menoleh cepat. “Ya, Tuan?”
“Aku tahu ini sulit,” Kenzo membuka suara. “Tapi mulai sekarang, biasakan dirimu denganku. Aku tidak akan menyakitimu. Dan kau tak perlu takut.”
Liana mengangguk kecil, matanya tak berani menatap langsung. “Baik, Tuan.”
Kenzo menatap wajah gadis itu beberapa detik, lalu berkata lirih
“Bersiaplah kita akan pergi “.
Ia berjalan sambil menigalkan Liana sendiri di meja makan. Liana segera berdiri dan masuk kekamar untuk bersiap siap. Kenzo berdiri di depan kamar Liana sambil menunggu. Maria sudah memberitahu bahwa Liana baru saja selesai mandi dan sedang bersiap.
Tak lama, pintu terbuka pelan dan Liana keluar ia tak berani menatap kenzo yang ada di depan nya. Wajahnya masih menyimpan guratan cemas.
“Aku ingin kau ikut denganku hari ini,” ucap Kenzo, nada suaranya lebih lembut dari biasanya.
Liana menatapnya ragu. “Kemana, Tuan?”
“Keluar. Udara segar. Mungkin belanja pakaian. Kau perlu merasa nyaman, bukan hanya karena ini... program itu,” Kenzo berkata sambil melihat baju yang di pakai Liana membalut tubuh gadis itu, “baju itu pas itu ukuran tubuh kamu .”
Liana hanya mengangguk pelan. Tak tahu harus berkata apa.
Maria yang sedari tadi mengamati dari belakang tersenyum kecil. Ia lega, setidaknya pria itu tak sekejam yang ia kira.
mereka sudah berada di dalam mobil hitam mewah, melaju tenang di jalan-jalan kota.
Kenzo melirik ke arah Liana yang duduk diam di sampingnya, memandangi pemandangan di luar jendela seolah itu dunia asing yang tak mungkin ia miliki.
“Kau suka pergi ke luar?” tanya Kenzo tiba-tiba.
Liana menoleh pelan. “Dulu... saat Ayah masih sehat. Kami sering jalan ke taman kecil di dekat pasar.”
“Setelah ini, kau bisa memilih tempat yang ingin kau kunjungi.”
Liana menatapnya bingung. “Tuan... kenapa bersikap baik pada saya?”
Kenzo terdiam sejenak, lalu menjawab, “Karena aku tahu tekanan bisa membunuh harapan. Dan kau masih sangat muda. Aku tidak ingin kau merasa seperti budak di dalam rumah itu.”
Mobil akhirnya berhenti di sebuah butik eksklusif. Liana tertegun melihat deretan etalase mewah dan penjaga toko yang langsung membungkuk ketika Kenzo masuk.
“Pilih sesukamu,” ucap Kenzo sambil melirik pelayan toko. “Bantu dia, jangan paksa.”
Liana melangkah perlahan ke deretan pakaian, masih ragu dan asing. Tapi entah kenapa, ada secercah rasa hangat di hatinya. Untuk pertama kalinya sejak ia ‘dijual’, ada yang memperlakukannya seperti manusia lagi.
Dan bagi Kenzo, hari itu adalah langkah pertama untuk membuktikan bahwa ia bukan monster seperti Claudia.
Liana melangkah ragu memasuki butik mewah itu. Matanya menyapu deretan pakaian indah yang tertata rapi, semua tampak mahal dan elegan. Ia mengurungkan niat untuk menyentuh apapun. Bahkan mencobanya pun tak terpikirkan olehnya.
Kenzo yang sedari tadi memperhatikannya dari kejauhan, menghela napas pelan, lalu tersenyum tipis. Ia menghampiri salah satu pelayan dan berbisik pelan, “Pilihkan beberapa setelan santai, pakaian tidur yang sopan, dan pakaian harian untuknya. Pastikan semua sesuai dengan ukurannya. Segera bungkus.”
Tak butuh waktu lama, pelayan butik datang membawa beberapa tas belanja berisi pakaian berkualitas tinggi. Liana menatap bingung, bahkan cemas. Kenzo membayar dan meyuruh pelayan Untuk memasukan kedalam bagasi mobil.
Liana berjalan di samping Kenzo ,Mereka selesai berbelanja dan baru saja ingin keluar dari sana, namun suara-suara lirih mulai terdengar dari sekeliling.
“Lihat tuh… gadis kecil jadi simpanan om om Kaya …”
“Cantik sih, tapi jelas bukan istri sah. Lihat cara berpakaiannya.”
“Pantas, … dasar perempuan penggoda.”
Bisikan-bisikan itu menyayat hati Liana. Ia berusaha tetap berjalan tegak, namun langkahnya mulai goyah. Matanya panas menahan air mata. Ia tahu, di mata orang-orang, dirinya tampak seperti gadis murahan yang hidup dari kekayaan pria dewasa.
Kenzo menyadari perubahan ekspresi Liana. Ia menghentikan langkah, lalu berdiri di depannya. “Liana… ayo kita pergi dari sini.”
Liana ragu menatapnya, air mata menggenang.
“Abaikan mereka,” ujar Kenzo tegas ia berjalan sambil memeluk pinggang Liana hangat.
Liana berjalan dan segera masuk mobil duduk di sebelah Kenzo,melihat banyaknya barang di dalam, ia menatap Kenzo.
“Tuan... apa ini tidak terlalu banyak?” tanyanya dengan suara pelan, penuh keraguan.
Kenzo menoleh padanya, memandang dengan tenang. “Kau harus merasa nyaman dengan pakaianmu, Liana. Dan percayalah... ini belum seberapa.”
Liana terdiam. Sekujur tubuhnya masih diliputi rasa tak percaya, tapi ada sesuatu yang menghangat di dadanya. Perasaan asing yang tak pernah ia rasakan sejak dikurung di rumah itu, di hargai.
Kenzo memutar mobilnya ke arah yang diinginkan. setalah sampai ia memarkir mobil di dekat pantai yang sepi dan tenang. Lautan terbentang luas, pasir putih membentang lembut seperti permadani alami. Liana segera turun dari mobil ,angin semilir meniup rambut Liana, membuat wajahnya terasa segar. Untuk sesaat, beban di dadanya terasa sedikit menguap.
Kenzo mengajak Liana berjalan pelan menyusuri bibir pantai, lalu duduk di kursi kayu panjang yang terletak di bawah pohon rindang. Suara debur ombak menjadi latar yang menenangkan.
Liana duduk dengan ragu di sebelah Kenzo, sesekali mencuri pandang. Wajah pria itu tampak begitu tenang menatap laut. Cahaya matahari memantul di kulitnya yang putih bersih, rahangnya yang tegas membuat siluetnya tampak sempurna.
Dalam diam, Liana berpikir, Bagaimana bisa pria seperti ini terjebak dalam kehidupan penuh tekanan dan ambisi seperti Claudia… dengan alasan cinta ?
Tanpa sadar, pandangannya terlalu lama tertuju pada wajah Kenzo.
Kenzo menoleh dengan senyum kecil yang menggoda. “Jangan dipandang terus begitu, nanti jatuh cinta.”
Liana tersentak, pipinya langsung memerah. “Ma—maaf… aku tidak bermaksud…”
Kenzo terkekeh ringan, suara tawanya dalam dan nyaman. “Santai saja, Liana. Di sini tidak ada Claudia, tidak ada aturan. Hanya kita berdua… dan laut.”
Liana menunduk, tersenyum kecil. Untuk pertama kalinya, ia merasa sedikit lebih ringan, meski hatinya masih penuh tanya.