Cintanya itu harusnya menyatukan bukan memisahkan, kan? Cinta itu harusnya memberi bahagia bukan duka seumur hidup, kan? Tapi yang terjadi pada kisah Dhyaswara Setta dan Reynald de Bruyne berbeda dengan makna cinta tersebut. Dua orang yang jatuh cinta sepenuh jiwa dan telah bersumpah di atas darah harus saling membunuh di bawah tuntutan. Siapakah yang menang? Tuntutan itu atau cinta mereka berdua?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Caeli20, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ep 26 : Keinginan Panglima Wira
Malam yang membahagiakan bagi Raras dan Yudistira. Keempatnya mulai berkeliling lagi,
"Nih pegang jagung bakar masing," Ayudiah menyodorkan jagung bakar.
"Ya ampun, maafkan, Yu. Kamu jadi repot," seru Raras.
"Astaga, aku hampir lupa jagungnya," canda Dhiyas.
Wajah keempatnya penuh tawa.
"Dhiyas?,"
Keempatnya menoleh ke arah suara yang menyebut nama Dhiyas itu.
Wajah keempatnya langsung berubah melihat siapa yang berdiri di belakang mereka.
Dhiyas mengernyitkan keningnya. Pria yang memanggilnya tadi langsung tersenyum,
"Ternyata kamu datang juga ke sini," logat Meneer Lorens kental seperti biasa.
Raras, Yudistira, dan Ayudiah sontak menoleh pada Dhiyas dengan tatapan heran. Dhiyas langsung gelagapan,
"Eh..saya ke sini karena ajakan teman. Bukan karena anda,"
Meneer Lorens tertawa kecil,
"Apakah ini yang dinamakan jodoh?,"
Mata keempatnya langsung membesar terkaget melihat begitu percaya dirinya pria di depan mereka ini.
"Maaf, kami harus pergi," ujar Dhiyas hendak membalikan tubuhnya.
"Tunggu," Meneer Lorens maju ingin mendekat. Yudistira sigap menghalangi dengan tangannya. Meneer Lorens menoleh pada Yudistira,
"Santai anak muda. Aku hanya ingin bicara dengan...Dhiyas,"
"Saya yang tidak mau bicara dengan anda," tegas Dhiyas, "Ayo," Dhiyas memberi kode pada ketiga temannya untuk pergi.
"Nona cantik.. Cepat atau lambat kamu akan jadi milikku," seru Meneer Lorens. Dhiyas tidak menoleh lagi. Pergi dengan wajah marah.
**
Dhiyas menatap ke luar melalui terali jendela kamarnya. Malam sudah larut tapi pikirannya semakin tidak tenang. Dia tiba-tiba sangat mengkhawatirkan keadaan Cakra. Apalagi mendengar perkataan wanita peramal tadi. Dia takut terjadi apa-apa pada Cakra.
"Nduk...belum tidur?," Nyai Rindi menyingkap kain pintu kamar dan masuk mendekati putrinya.
Dhiyas menggeleng pelan,
"Sepertinya ada sesuatu, ada apa?," Nyai Rindi mengusap kepala Dhiyas.
Dhiyas menoleh,
"Bu.. Ibu percaya ramalan?,"
"Ramalan?," Nyai Rindi memperbaiki posisi duduknya, "Ada memang orang yang terlahir dengan kemampuan indra keenam, yang katanya bisa melihat hari esok. Tapi sebagai Hamba Allah, kita bukan bersandar pada ramalan. Tapi pada rencana Allah,"
Nyai Rindi memperhatikan wajah Dhiyas,
"Kamu diramal seseorang?,"
Dhiyas mengangguk.
"Apa katanya?,"
"Dia pakai media kartu. Kartu pertama Hati. Kartu kedua peperangan. Dan kartu ketiga.... kematian," suara Dhiyas jadi lirih.
"Astagfirullah. Tidak usah dipikirkan, nduk. Tawakal saja. Allah tahu yang terbaik bagi umat-Nya,"
"Tapi aku jadi kepikiran, Bu. Apa takdir ku memang seburuk itu?,"
"Astagfirullah, Dhiyas. Bukan seperti itu. Lupakan saja peramal itu. Anggap itu hanya angin lalu. Jalani hidupmu dengan baik. Berserah pada Allah. Siapa yang bersungguh-sungguh pasti akan mendapat hasil yang baik bukan yang buruk. Man Jadda wa Jadda,"
Dhiyas mengangguk lemah.
**
Meneer Lorens berguling ke sana ke mari di tempat tidur nya. Hatinya gelisah. Semakin dia memikirkan Dhiyas, semakin hatinya gelisah.
"Shiittt! Kenapa hatiku jadi begini," Meneer Lorens mengusap wajahnya dengan gusar.
Di usianya yang hampir 38 tahun itu, dia belum pernah merasakan gelisah karena perempuan seperti ini.
Selama ini, perempuan baginya hanyalah pemuas nafsu. Tidak ada cinta. Hanya nafsu saja. Tapi kali ini berbeda. Dhiyas seperti menerobos dinding hatinya yang tertutup oleh tekanan tugasnya sebagai perwakilan Belanda di distrik itu. Tertutup oleh tekanan perang. Dan penutup itu terbuka. Tapi sayangnya, melahirkan kegelisahan yang amat sangat.
"Aku harus bisa menaklukkan wanita itu dan memilikinya. Ini terlalu menyiksaku,"
Matanya kembali menerawang ke plafon kamarnya.
**
Mentari pagi baru saja menyapa, tapi rombongan Panglima Wira sudah berjejer di halaman padepokan.
Mbah Lodra sudah duduk berhadapan dengan panglima Wira di pendopo utama. Sementara Ayudiah lalu lalang menyajikan minuman hangat. Udara masih sangat dingin karena embun masih terlihat jelas di dedaunan.
"Saya pikir, saya akan lihat potensi dulu. Cakra sudah berangkat ke Belanda, yang tersisa hanya Dhiyas seorang," ujar Mbah Lodra, tenang tapi berisi.
"Ke Belanda? Untuk apa?," panglima Wira heran.
"Ayahnya menyuruhnya sekolah perwira di sana. Terpaksa. Tekanan keluarga," Mbah Lodra menjawab.
"Oh ya, aku lupa. Ayahnya seorang Belanda ya,"
"Betul,"
Panglima Wira mendengus,
"Sulit. Sulit kalau masih ada darah Belanda di di tubuhnya, dia akan tetap kembali ke asalnya," ucap panglima Wira.
"Aku rasa juga begitu. Padahal dia yang kuharapkan bisa meneruskan padepokan ini,"
"Apakah semua ilmu sudah diturunkan padanya?,"
"Belum. Aku memang ada rencana untuk menurunkan semua ilmu. Sampai ilmu kelima padanya. Karena ilmu itu memang cocok dikuasai laki-laki. Tapi apa boleh buat. Itu pilihannya,"
"Tapi kepergiannya terlalu mendadak,"
"Ya. Bahkan pamitan padaku saja tidak sempat. Hanya pamitan pada Dhiyas,"
"Ngomong-ngomong soal Dhiyas, apakah mereka punya hubungan? Eh maksudku, Cakra dan Dhiyas pacaran?,"
Mbah Lodra terdiam sejenak, lalu menjawab:
"Aku juga tidak tahu. Mereka sejak lama selalu sama-sama. Seperti tidak bisa terpisahkan. Mungkin belum sempat terucap tapi aku tahu mereka punya rasa di hati masing-masing,"
Panglima Wira mengelus dagunya,
"Sayang sekali. Istriku sudah lama meninggal. Kalau seandainya mereka berdua tidak ada hubungan, aku siap meminang Dhiyas,"
Mbah Lodra menatap tajam panglima Wira.
**
"Ayah ke mana pagi-pagi benar," Dhiyas yang baru keluar kamar heran melihat Cak Din sudah siap dengan baju dinas dan kopiahnya.
"Ayah ingin melihat tanah sengketa. Tadi ada yang melapor, subuh-subuh orang suruhan Belanda sudah memasang garis patok untuk penggusuran rumah. Mereka ingin mempercepat pembangunan waduk,"
Mata Dhiyas yang masih mengantuk langsung terbuka lebar,
"Aku ikut ayah. Aku tidak akan membiarkan ayah pergi sendiri ke sana. Tunggu aku siap-siap tidak lama,"
Ayah dan putri itu pun menuju ke tanah sengketa.
**
Cak Din dan Dhiyas tiba. Suasana sudah ramai. Masyarakat di situ memelas. Tapi Lukman dengan arogannya main tunjuk saja untuk memasang batas penggusuran.
"Hentikan!," seru Cak Din.
Kali ini, begitu melihat Cak Din datang bersama Dhiyas, Lukman tidak lagi menunjukan sikap jumawa nya. Dia langsung waspada.
"Apa tidak ada kerjaan lain yang kalian bisa lakukan selain merampas yang bukan milik kalian, heh?," bentak Cak Din.
Para preman yang disewa berjumlah di atas lima belas orang sudah siaga. Dhiyas menatap mereka satu per satu. Waspada, jangan sampai ayahnya diserang.
"Pak Carik, masih ada waktu untuk mundur. Kali ini pasukanku lebih banyak. Jadi, tolong sayangi nyawamu dan...," Lukman melirik Dhiyas, "Nyawa anakmu,"
Dhiyas membalas dengan tatapan tajam.
"Aku tidak akan mundur. Ini tanah kami. Kalian yang harus pergi dari tanah kami!," suara Cak Din lantang.
Lukman mendongkol. Dia hanya ingin ini cepat selesai. Dengan satu jentikan jari, dia memberi aba-aba pada para preman untuk maju.
Mendapat kode, para preman itu mulai maju untuk menyerang. Dhiyas menarik cepat ayahnya untuk mundur ke belakang. Preman terhenti sejenak karena di depan mereka berdiri seorang perempuan.
"Hei, jangan ragu. Maju saja," teriak Lukman.
Masyarakat yang menyaksikan itu mulai menutup wajah mereka dengan tangan. Mereka tidak tega melihat seorang perempuan muda dianiaya belasan preman bertubuh kekar.
Belasan preman itu mengepung Dhiyas dari segala arah. Wajah-wajah kasar, tangan mengepal, besi dan golok berkilat dalam cahaya redup senja. Tanah di bawah kaki mereka seolah ikut menahan napas.
Dhiyas tidak mundur. Ia justru menutup mata sesaat.
Napasnya ditarik dalam, lalu dilepaskan perlahan, tenang, bening, tanpa amarah. Seperti yang diajarkan gurunya : kekuatan sejati lahir dari hening, bukan dari gaduh gerak.
Telapak tangannya terangkat setinggi dada. Jari-jarinya membentuk mudra sederhana. Tidak ada teriakan. Tidak ada kuda-kuda berlebihan.
“Bayu… wening… puter..," bisiknya lirih, nyaris tak terdengar.
Udara di sekeliling mereka mendadak berubah.
Angin berdesir, mula-mula lembut seperti helaan napas gunung. Namun dalam hitungan detik, pusaran itu membesar, berpilin, memekakkan telinga, mencabik debu dan daun kering dari tanah.
Preman-preman itu terhuyung. Sebelum sempat menyerang, tubuh mereka terangkat, terhempas satu per satu oleh angin berputar yang tak terlihat wujudnya, hanya terasa keganasannya.
Dhiyas tetap berdiri di tempatnya.
Tanpa satu pun pukulan, tanpa setetes keringat, belasan tubuh bergelimpangan di tanah, merintih, tak sanggup bangkit.
Angin pun mereda.
Sunyi kembali turun.
Dhiyas membuka mata, menurunkan tangannya. Wajahnya tetap teduh, namun sorot matanya tegas.
Lukman kehabisan kata-kata. Dia melongo melihat para preman suruhannya terkapar di tanah yang berdebu. Merintih kesakitan. Bahkan ada yang muntah darah.
"Prakk..prak..prak...," sebuah tepukan tangan terdengar dari belakang Dhiyas.
Dhiyas seketika menoleh.