Cantika yang bekerja sebagai kurir harus menerima pernikahan dengan yoga Pradipta hanya karena ia mengirim barang pesanan ke alamat yang salah .
Apakah pernikahan dadakan Cantika akan bahagia ??
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anjay22, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rasa yang mulai tumbuh
Malam itu rumah keluarga Pradipta sudah mulai hening. Bu Ratna dan Pak pradipta sudah masuk kamar sejak pukul sembilan, meninggalkan ruang tamu dengan cahaya redup dari lampu samping televisi. Cantika membawa segelas air hangat ke kamar, sementara Yoga masih duduk di teras depan menutup laptopnya. Hujan rintik-rintik turun sejak sore, membuat udara malam terasa lebih lembut.
Cantika membuka pintu kamar dan menaruh gelas air di nakas. Ia menatap ke luar jendela, melihat bayangan Yoga yang baru masuk rumah sambil mematikan lampu teras.
Sejak mereka menikah dua bulan lalu, hidup bersama di kamar yang sama masih terasa seperti hal baru. Bukan canggung, hanya… seperti menjalani babak yang tertunda untuk mereka yang menikah tanpa pacaran. Ada bagian-bagian kecil yang harus dijelajahi, perlahan dan hati-hati.
Yoga masuk kamar sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk kecil. “Airnya sudah kamu taruh di sini?” tanyanya sambil menunjuk gelas.
“Hmm, aku buat tadi. Mas kelihatan capek,” jawab Cantika.
Yoga duduk di tepi ranjang, menghela napas panjang. “Hari ini agak berat. Banyak revisi di kantor.” Ia mengangkat wajah, lalu tersenyum. “Tapi pulang ke rumah bikin lega.”
Cantika hanya memandanginya sebentar. Ia tak mengucap apa-apa, tapi matanya meredup lembut.
---
Setelah berganti baju, Yoga mengambil buku catatan yang biasa ia gunakan untuk menyusun rencana. Cantika sedang mengikat rambut, lalu duduk di sebelahnya.
“Mas lagi nyusun apa?” tanyanya.
“Hmm… rencana tabungan kita,” jawab Yoga santai.
Cantika berkedip. “Tabungan kita?”
Yoga mengangguk. “Iya. Kita sudah menikah, Canti. Rencana kita sekarang bukan ‘aku’ atau ‘kamu’. Tapi ‘kita’.”
Cantika terdiam, hatinya terasa hangat. Kata sederhana itu (kita) membuat jantungnya berdebar tanpa sebab.
“Mas mikirin apa aja?” Cantika mendekat penasaran.
Yoga menyodorkan buku itu. Ada beberapa poin:
Tabungan darurat
Dana kuliah Cantika
Tabungan untuk rumah kecil setelah mereka mandiri
Rencana modal usaha Cantika
Cantika menutup mulut, terkejut. “Mas… ini semua untuk aku?”
“Untuk kita,” koreksi Yoga lembut. “Aku nggak mau kamu kuliah sambil bingung soal biaya. Aku juga nggak mau kamu merasa harus bergantung pada siapapun selain dirimu sendiri. Kalau kamu mau usaha, aku dukung.”
Cantika menunduk. “Aku takut… merepotkan.”
Yoga meletakkan tangannya di atas tangan Cantika. “Canti, kita menikah bukan cuma bagi tugas rumah. Kita saling dukung. Kamu bukan beban. Kamu partner hidupku.”
Kalimat itu terasa seperti pelukan yang tidak terlihat.
---
Beberapa menit berlalu tanpa suara. Cantika bersandar pelan di dinding, memelihat punggung tangan mereka yang masih bersentuhan. Baru dua bulan hidup bersama, tapi perhatian-perhatian kecil Yoga membuat jarak itu semakin rapat.
“Mas,” kata Cantika tiba-tiba, “aku mau tanya sesuatu.”
“Hm?”
“Mas pernah… nyesel nggak? Karena pernikahan kita datang tiba-tiba?”
Yoga menatapnya lama. “Kamu pikir aku nyesel?”
Cantika menelan ludah. “Awalnya aku pikir Mas cuma terpaksa. Karena salah alamat itu.”
Yoga tertawa rendah. “Canti… kalau aku terpaksa, kamu pasti tahu dari awal.”
“Kita nggak pacaran, Mas. Aku kadang nggak tahu perasaan Mas sebenarnya.”
Yoga mendekat sedikit. “Aku boleh jujur?”
Cantika mengangguk.
“Aku memang nggak pacaran sama kamu sebelum nikah,” katanya pelan, “tapi setiap hari aku belajar mengenal kamu. Dan setiap hari itu pula… aku jadi makin yakin bahwa aku nggak salah pilih.”
Wajah Cantika memanas. Ia memalingkan wajah, tapi Yoga bisa melihat senyum yang muncul perlahan.
“Masa sih?” gumamnya.
Yoga mengangguk yakin. “Iya. Kamu rajin, lembut, nggak mudah menyerah. Kamu bikin rumah ini terasa lebih hidup. Dan…” ia menahan napas sebentar, “aku nyaman sama kamu. Itu penting.”
Cantika mengintip sekilas, lalu mengalihkan pandangan lagi. “Mas ngomong kayak gitu bikin aku deg-degan.”
Yoga terkekeh. “Ya bagus dong.”
“Mas…”
“Hm?”
“Kita ini… suami istri,” kata Cantika lirih. “Tapi beda sama pasangan lain yang pacaran dulu. Aku masih belajar bikin diri aku nyaman di dekat Mas.”
Yoga mengangguk. “Itu normal. Aku juga belajar nyaman di dekat kamu.”
Cantika menatapnya. “Mas? Masa?”
Yoga tersenyum. “Iya. Kamu pikir aku nggak gugup waktu pertama kali tidur sekamar sama kamu? Aku bahkan sampai baca artikel di internet soal gimana cara membangun kenyamanan dengan pasangan yang baru dikenal.”
Cantika tertawa, menutup wajah. “Mas bohong…”
“Demi Tuhan, aku serius.”
Tawa Cantika pecah. “Aduh Mas… lucu banget.”
Yoga ikut tertawa. “Ya, namanya juga pernikahan dadakan. Tapi pelan-pelan, kita bisa bikin semuanya terasa natural.”
Cantika mengangguk. “Iya… pelan-pelan.”
Yoga memperhatikan wajah Cantika. Ada garis lembut di sudut matanya, senyum kecil yang selalu muncul ketika berusaha menahan malu, dan gerakan tangannya yang sering memainkan ujung kerudung atau rambut ketika gelisah. Dulu ia hanya melihat sekilas. Sekarang ia mengenal semua itu.
“Canti,” panggil Yoga pelan.
“Hm?”
“Boleh aku tanya juga?”
“Tanya apa?”
“Kalau kamu… apa kamu nyaman sama aku?”
Cantika terdiam. Lalu ia menatap Yoga dengan jujur. “Iya. Nyaman. Lebih nyaman daripada yang aku duga.”
Yoga menelan napas pelan. “Syukurlah.”
“Tapi… butuh waktu.”
“Kita punya waktu,” jawab Yoga lembut. “Nggak usah buru-buru.”
---
Hujan semakin deras di luar jendela. Suaranya membuat ruangan hangat itu terasa lebih damai. Yoga bangkit dari kursi kecil dan mengambil kotak kecil di meja samping lemari.
“Aku mau kasih ini,” katanya sambil duduk kembali di sebelah Cantika.
Cantika mengernyit. “Apa itu?”
Yoga membuka kotaknya. Di dalamnya ada gelang perak sederhana dengan bandul kecil berbentuk bunga kamboja.
“Mas…” Cantika menutup mulut. “Ini buat aku?”
“Hmm. Aku pesan sejak seminggu lalu,” jawab Yoga. “Aku tahu kamu suka perhiasan kecil yang simpel.”
Cantika menyentuh gelang itu dengan ujung jarinya. “Cantik banget…”
“Coba aku pakaikan?”
Cantika mengangguk pelan. Yoga meraih tangannya dan memakaikan gelang itu dengan hati-hati. Sentuhan lembut itu membuat lengan Cantika merinding, bukan takut, tapi… karena dekat.
“Mas,” kata Cantika, “ini… kenapa bentuknya kamboja?”
Yoga tersenyum. “Kamu lupa? Pertama kali kita pergi belanja bareng setelah nikah, kamu berhenti lama banget di depan toko bunga, lihat kamboja putih jatuh di tanah. Kamu bilang bentuknya menenangkan.”
Cantika tertegun. “Mas ingat?”
“Tentu,” jawab Yoga. “Aku ingat hampir semua hal kecil yang kamu suka.”
Cantika menunduk, jantungnya berdebar kencang. Ada sesuatu yang mengalir pelan di sela-sela ruang hati yang tadinya kosong—hangat, lembut, dan tumbuh.
“Terima kasih, Mas,” ucapnya lirih.
Yoga mengusap punggung tangannya. “Kamu suka?”
“Suka banget.”
Yoga menatap wajah istrinya dengan senyum tenang. “Kalau kamu suka, aku senang.”
Ada jeda. Jeda yang manis.
Cantika menatap gelang itu lagi. “Mas… boleh aku jujur?”
“Tentu.”
“Ini pertama kalinya aku merasa… diperhatikan seperti ini.”
Yoga menatapnya lembut. “Kamu pantas diperhatikan.”
Cantika terdiam, lalu tanpa disadari, ia bersandar pelan di bahu Yoga. Tidak canggung. Tidak bingung. Hanya hangat.
Yoga menoleh sedikit, lalu meraih selimut kecil dan menyelimutkan keduanya. “Kalau kamu capek, bersandar lah.”
Cantika memejamkan mata. “Aku… suka begini.”
Yoga tersenyum. “Aku juga.”
---
Beberapa menit tidak ada yang bicara. Hanya suara hujan dan napas keduanya yang pelan. Di luar, dunia berlari cepat. Di dalam kamar itu, waktu melambat untuk memberi mereka ruang.
“Mas,” panggil Cantika tanpa membuka mata.
“Hm?”
“Kalau waktu diputar ulang… Mas masih mau nikah sama aku?”
Yoga tidak butuh waktu berpikir. “Iya.”
“Walau salah alamat?”
“Kalau alamatnya membawaku ke kamu?” Yoga tersenyum. “Berarti itu alamat yang benar.”
Cantika tertawa kecil—suara yang renyah dan jujur.
“Mas romantis sekarang.”
“Karena ada kamu.”
Cantika merasakan dadanya hangat lagi. Dengan perlahan, ia menggenggam tangan Yoga.
Yoga memegang balas genggamannya, tidak terlalu kuat, tidak terlalu longgar. Cukup untuk mengatakan bahwa ia ada di sana.
Dan malam itu, untuk pertama kalinya sejak pernikahan mereka dimulai, Cantika merasa tidak hanya menjadi istri di atas kertas. Ia merasa menjadi pasangan yang… dicintai.
Pelan, perlahan, tanpa paksaan.
Mereka saling belajar memahami.
Saling tumbuh.
Saling jatuh hati.
Dan untuk dua orang yang menikah tanpa pacaran, itu adalah perjalanan cinta paling indah yang bisa diminta.
Salut sama bu Ratna...yang sabar dan telaten. ngajari Cantyka...
Semangat Cantyka...nggak butuh waktu lama kamu pasti lulus pelatihan oleh mama mertu 😍😍
Cantyka pasti mudah belajar menjadi pendamping pebisnis.
Dedemit...aku suka caramu memperlakukan Cantyka....semoga langgeng yaaas😍😍