Adaptasi dari kisah nyata sorang wanita yang begitu mencintai pasangannya. Menutupi segala keburukan pasangan dengan kebohongan. Dan tidak mau mendengar nasehat untuk kebaikan dirinya. Hingga cinta itu membuatnya buta. Menjerumuskan diri dan ketiga anak-anaknya dalam kehidupan yang menyengsarakan mereka.
Bersumber, dari salah satu sahabat yang memberi ijin dan menceritakan masalah kehidupannya sehingga novel ini tercipta untuk pembelajaran hidup bagi kaum wanita.
Simak kisahnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon LaQuin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 35. Kemana Jemin
Bab 35. Kemana Jemin
POV Author
Lola gusar. Sudah 4 bulan tidak ada kabar Jemin sama sekali. Tapi anehnya, kiriman biaya kebutuhannya dan anak-anak masuk seperti biasa.
Apa hapenya rusak?
Pertanyaan demi pertanyaan terus mengusik pikiran dan hati Lola. Dan ia pun kembali curhat dengan sepupunya Airin dengan membawa ke dua buah hatinya.
"Hiks... Apa aku susul saja ya?"
"Kamu mau susul kemana? Emang dia ada ngasi tahu alamat kerjanya?"
Bodohnya Lola ia baru kepikiran ucapan Airin. Benar, selama ini ia tidak tahu alamat tempat kerja Jemin. Bahkan ia pun tak kepikiran untuk bertanya kepada suaminya itu. Sekarang hal itu menjadi bumerang baginya. Kemana ia harus bertanya dan mencari keberadaan sang suami.
"Hiks...gimana ini Airin?"
"Tapi dia masih ngirimkan kamu transferan kan? Itu artinya dia baik-baik aja. Mungkin hapenya rusak, atau hilang. Sabar aja, dia pasti pulang."
Airin mencoba menenangkan. Meski ia tidak suka dengan Jemin, tapi ia lebih tidak suka melihat sepupunya sedih seperti itu. Sesama wanita, ada rasa iba didiri Airin. Ia membayangkan pada dirinya sendiri, seandainya suaminya juga tidak memberi kabar sama sekali, tentu dirinya pun pasti akan gelisah seperti Lola.
"Semoga saja hanya hape hilang, bukan karena... Hiks..."
Lola tak sanggup meneruskan kata-katanya. Ia takut membayangkan kalau ternyata bukan sekedar handphone yang hilang. Melainkan Jemin yang hatinya telah berpindah kepemilikan.
Membayangkan itu hati Lola sungguh hancur. Ia mengklaim dirinya akan tidak sanggup menjalani hari ke depannya nanti.
"Udah, jangan berpikiran jelek dulu. Ingat kamu punya Keysa dan Ahmad sekarang. Mereka butuh perhatian kamu. Kalau kamu sampai jatuh sakit karena memikirkan Jemin terus, bagaimana dengan mereka nanti?"
"Kamu pasti senang Jemin menghilang kan?!"
"Loh kok ngomong gitu?"
"Dari dulu kan kamu nggak suka Jemin."
Airin menghembuskan napas panjang.
"Aku memang nggak suka Jemin. Tapi dengan situasi seperti ini, aku nggak mau kamu sakit dan anak-anak mu nggak terurus. Ini seperti ujian buatmu, atau semacam teguran. Bahwa kamu nggak boleh berlebihan dalam mencintai suami mu. Bagaimana kalau sampai Jemin di jemput Allah lebih dulu, apa kamu juga akan mengusulnya?"
"Ih, kamu kok ngomong gitu sih?!"
"Aku bilang begini supaya kamu sadar. Bahwa laki-laki di dunia ini bukan cuma ada Jemin saja."
Airin menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan.
"Ku pikir, kamu harus siap dalam situasi apa pun. Karena dari awal, orang seperti Jemin bisa meninggalkan mu kapan saja. Apa pernah dia bilang cinta sama kamu?" Lanjut Airin.
Jantung Lola berdebar cemas mendengar ucapan Airin. Ia semakin takut dugaannya benar setelah mendengar ucapan Airin.
"Hiks...terus aku harus gimana?"
Lola semakin sedih dan menutup wajahnya.
"Kamu harus menyiapkan hatimu. Apa pun yang terjadi sama Jemin, kamu harus siap dan bisa merawat ke dua anak mu. Kamu harus bisa mandiri tanpa dia."
"Entahlah... membayangkannya saja, aku nggak sanggup."
"Harus bisa Lola! Mau sampai kapan kamu terus seperti ini. Ahmad sudah lebih dari 3 bulan. Kurasa kamu juga sudah mampu untuk bekerja."
Lola diam merenungkan ucapan Airin.
"Berapa Jemin mengirimkan uang tiap bulan?"
"Satu juta setengah."
"Cukup?"
Lola menggeleng pelan.
"Iya kan. Itu artinya kamu jangan terus mengandalkan dia. Kamu juga harus berkerja mumpung masih muda. Kalah kamu sama Umi. Dia usia begitu, Umi masih bisa menerima ajakan untuk masak buat acara."
"Kamu sendiri nggak kerja. Anak mu juga dua dan masih muda. Pasti juga banyak kebutuhan seperti aku." "Protes dan sindir Lola.
"Mau aku bandingkan? Gaji Abang memang nggak besar, tapi kami nggak perlu bayar rumah. Kami nggak punya hutang sana-sini dan makan cukup seadanya di rumah. Anak-anak jarang jajan. Bahkan Selvia pun ku beri bekal dari rumah. Tapi bukan berarti mereka nggak pernah jajan. Ayahnya sesekali membelikan mereka camilan. Dan aku nggak membiasakan keluarga ku sering makan di luar sana. Nah, apa kita sama?"
Lola terdiam.
"Kamu kurang bergaul. Kurang banyak teman. Tujuan mu cuma Jemin dan Jemin. Haaah... Kalau kamu bekerja lagi seperti dulu, ketemu orang-orang yang baru kamu kenal, akan banyak pelajaran yang bisa kamu ketahui. Dan kamu nggak terfokus hanya pada Jemin mu itu saja."
Lagi-lagi Lola hanya diam. Dan Airin pun tak lagi melanjutkan kata-katanya. Sungguh, sebenarnya ia lelah menasehati Lola. Entah nasihatnya digunakan atau hanya sepintas lalu, Airin pun sudah ke tahap menyerah akan sikap Lola.
"Assalamualaikum..."
"Wa'alaikumsalam."
Umi pulang dari tempatnya bekerja. Umi bekerja dari rumah ke rumahnya yang membutuhkan tenaga dan keahliannya dalam memasak. Memasak adalah hobi Umi. Ia melakukan pekerjaan itu dengan senang hati. Kadang Airin mengingatkan Umi akan pentingnya kesehatan di masa lansianya. Melihat faktor usia Umi yang harusnya hanya menikmati hari tua saja, Airin nggak ingin Uminya bekerja.
"Eh, ada Keysa dan Ahmad!"
Umi menghampiri keponakan-keponakannya.
"Kamu kenapa La? Sedih gitu."
"Biasa Mi." Airin yang menjawab. "Jemin kawin lagi, hehehe..."
"Airin ih! Hiks..."
Meski Lola menangis bersedih, Airin tidak berusaha menenangkan sepupunya itu. Baginya, sudah cukup nasehat yang ia berikan kepada Lola.
"Benar La?"
"Mana ada Umi. Jemin hanya nggak ada kabar aja."
"Oh, nikah pasti itu."
Ternyata Airin dan Uminya se-frekuensi.
"Uh, Umi."
"Hehehe, dah makan kamu La? Dari jam berapa datang ke sini."
"Dari siang Mi. Airin belum masak nasi."
"Masak dulu Rin. Nggak usah masak lauk. Tadi Umi di bekali pulang lauk hajatan sama yang punya acara."
"Alhamdulillah, makan enak nih. La, aku tinggal ya. Mau masak nasi dulu. Jangan pikirin si Jemin mulu. Dia belum tentu mikirin kamu sebegitunya kek kamu ke dia."
"Bawa sekalian ini Rin." Unjuk Umi pada kantung yang ia bawa.
"Iya Mi."
Airin pun meraihnya, lalu melangkah menuju ke dapur.
"Coba cerita ke Umi."
Umi duduk memangku Keysa yang sedang memegang roti susu yang Umi bawa untuk anak-anak Airin tadinya. Tapi karena ada Lola dan anak-anaknya, roti itu ia bagi untuk keponakannya juga.
Lola pun menceritakan apa yang terjadi dalam rumah tangganya. Kepindahannya ke rumah Paman Jemin, dan permintaan untuk mencicil rumah, juga Jemin yang tidak pulang dan memberi kabar hampir mendekati 4 bulan lamanya.
Dan sekali lagi, Lola mendapat nasehat. Kali ini dari Umi, dan isinya hampir mirip dengan nasehat yang Airin berikan.
Beberapa waktu berlalu, malam pun tiba. Selepas maghrib Lola makan bersama Airin sekeluarga. Setelah itu, ia disarankan Umi untuk segera pulang mengingat anaknya yang kecil baru berusia 3 bulan.
"Kasihan sih sama Lola. Tapi dia itu ya gitu. Lihat aja, ahmad baru 3 bulan aja udah dibawa kena angin malam. Susah mau di nasehati." Kata Airin berbicara dengan Umi nya saat mereka bersantai di depan televisi setelah makan.
Bersambung...
Jangan lupa dukung Author dengan like dan komen ya, terima kasih 🙏😊