Malam itu, di sebuah desa terpencil, Alea kehilangan segalanya—kedua orang tuanya meninggal dan dia kini harus hidup sendirian dalam ketakutan. Dalam pelarian dari orang-orang misterius yang mengincarnya, Alea membuat keputusan nekat: menjebak seorang pria asing bernama Faizan dengan tuduhan keji di hadapan warga desa.
Namun tuduhan itu hanyalah awal dari cerita kelam yang akan mengubah hidup mereka berdua.
Faizan, yang awalnya hanya korban fitnah, kini terperangkap dalam misteri rahasia masa lalu Alea, bahkan dari orang-orang yang tak segan menyiksa gadis itu.
Di antara fitnah, pengkhianatan, dan kebenaran yang perlahan terungkap, Faizan harus memutuskan—meninggalkan Alea, atau menyelamatkannya.
Kita simak kisahnya yuk di cerita Novel => Aku Bukan Pelacur.
By: Miss Ra.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss Ra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 35
🌹 Versi Revisi:
***
Malam itu, meja makan keluarga Maisaroh terasa lebih hangat dari biasanya.
Hidangan sederhana tersaji di atas meja — sayur asem, ayam goreng, sambal terasi kesukaan Ibu Maisaroh.
Alea duduk berseberangan dengan Faizan, sementara sang ibu di ujung meja, wajahnya terlihat jauh lebih segar dari beberapa hari terakhir.
Suasana berlangsung tenang. Hanya suara sendok yang beradu dengan piring.
Alea sesekali melirik Faizan — pria itu tetap fokus pada makanannya, tanpa satu pun kata keluar dari bibirnya.
Dan entah kenapa, hening seperti itu justru terasa paling berisik bagi Alea.
Hingga tiba-tiba, Ibu Maisaroh menatap mereka berdua dengan senyum kecil yang terlalu lembut untuk diabaikan.
Tatapan yang biasanya penuh kasih, kali ini terasa seperti bom waktu.
“Faiz… Alea,” ucapnya perlahan. “Kapan kalian kasih Mama cucu?”
Seketika sendok di tangan Alea berhenti di udara. Faizan nyaris tersedak.
Keduanya saling pandang, kaget, lalu buru-buru berusaha menutupi canggung masing-masing.
“Ma—Mama ini ngomong apa sih?” Faizan berdeham, berusaha terdengar tenang.
Ibu Maisaroh tertawa kecil, pandangannya berpindah dari satu ke yang lain. “Iya, Mama serius. Rumah ini terlalu sepi. Mama cuma pengen dengar suara kecil yang manggil ‘nenek’.”
Faizan mengembuskan napas pelan. Ia menatap piringnya kosong-kosong, lalu berkata hati-hati, “Mah, itu… bukan hal yang bisa dijawab sekarang.”
Tapi Ibu Maisaroh justru menggenggam tangan keduanya, hangat dan lembut. “Mama cuma pengen kalian bahagia. Kalau kalian bahagia, cucu itu akan datang sendiri.”
Alea menunduk dalam, jantungnya berdetak cepat. Kata cucu berputar di kepalanya — terlalu nyata, terlalu dekat, sementara ia sendiri bahkan belum tahu apa arti pernikahan mereka sesungguhnya.
.
Setelah makan malam, rumah kembali sepi.
Ibu Maisaroh sudah masuk kamar, ditemani Alea yang memastikan sang ibu minum obat sebelum tidur. Faizan hanya mengantar sampai pintu, lalu berbalik menuju ruang kerjanya.
Pintu tertutup perlahan. Keheningan menelan sisa napasnya.
Faizan menjatuhkan tubuh di kursi kulit, satu tangan menutup wajahnya. “Tidak habis pikir Mama sampai sejauh itu,” gumamnya pelan.
Ia bersandar, menatap langit-langit ruang kerja.
Lampu di atas meja menerangi sebagian wajahnya, memantulkan garis kelelahan yang samar.
Ia tahu, Mama menginginkan cucu karena berharap kehadiran itu bisa memulihkan luka — luka yang selama ini mereka bungkam dengan kehangatan palsu.
Tapi yang Mama tidak tahu, dirinya dan Alea masih berdiri di antara jarak yang belum pernah berhasil mereka jembatani.
“Aku bawa dia pulang demi Mama,” katanya lirih. “Tapi Mama ingin lebih jauh dari sekadar kehadirannya.”
Ia tahu Alea menolak dalam diam. Dan entah kenapa, penolakan itu membuat batinnya semakin berat.
Ia menatap jendela — gelap, sunyi, dan dingin.
“Kalau begini terus…” bisiknya, nyaris tak terdengar.
“Sampai kapan aku bisa bertahan berpura-pura jadi suami yang diinginkan Mama?”
---
Esok Harinya
Pukul sebelas siang.
Halaman depan gedung perusahaan Faizan penuh dengan mobil keluar masuk, karyawan sibuk menenteng berkas, dan udara Jakarta menyengat tanpa kompromi.
Di seberang jalan, seorang gadis berdiri memegang koper biru. Matanya berbinar, menatap gedung tinggi berlapis kaca yang menjulang megah — kantor pusat perusahaan Faizan.
Gadis itu, Nayla, meneguk napas panjang.
Perjalanan dari Surabaya membuatnya lelah, tapi semangatnya tak luntur sedikit pun.
Ia menatap layar ponsel, memastikan alamat yang sudah ia hafal di luar kepala.
Senyumnya muncul pelan. “Bener… ini tempatnya.”
Ia menarik napas panjang lagi, mencoba menahan gugup yang mulai mendaki ke dada.
Di balik kaca, ia melihat orang-orang berjas rapi berjalan cepat, dunia yang terasa begitu jauh dari kehidupannya sebelumnya.
“Hanya satu langkah lagi, Nay,” katanya dalam hati. “Faizan ada di sini. Aku harus bisa ketemu.”
Dengan keberanian yang tersisa, Nayla menyeberang dan mendorong koper birunya masuk ke dalam lobi.
Ia sempat tertegun — lantai marmer berkilau, lampu kristal bergantung, aroma parfum mahal menyambutnya. Segalanya terasa terlalu besar untuk dirinya yang datang dari kota kecil.
Namun langkahnya segera terhenti.
Seorang satpam tinggi menghadangnya. “Maaf, Mbak. Ada keperluan apa? Gedung ini tidak bisa dimasuki sembarangan.”
Nayla buru-buru menunjukkan layar ponselnya. “Saya mau ketemu Pak Faizan.”
“Tidak bisa. Harus lewat janji temu dulu. Kalau tidak, mohon keluar ya, Mbak.”
Beberapa karyawan memperlambat langkah, menatap penasaran. Gadis sederhana membawa koper, bicara keras di lobi mewah — jelas jadi pemandangan langka.
Nayla menggeleng cepat. “Saya nggak akan pergi sebelum ketemu dia!” Suaranya meninggi, emosi mulai mengambil alih. “Awas aja kalau kalian halangin!”
Keributan kecil mulai menarik perhatian.
Dan tepat saat satpam hendak menuntunnya keluar, lift utama terbuka.
Faizan keluar bersama tim eksekutif, jas hitamnya sempurna, langkahnya mantap.
Ia sempat menoleh sekilas — lalu berhenti.
Tatapannya membeku.
“Nayla?” Suara itu nyaris tak terdengar, tapi cukup untuk membuat semua kepala menoleh.
Faizan berjalan mendekat. Aura tegasnya seketika menelan suasana lobi yang sebelumnya gaduh. “Nayla,” katanya datar, “apa yang kamu lakukan di sini?”
Nayla menatapnya. Antara lega dan takut.
Matanya basah, tapi tubuhnya kaku menahan sesuatu yang lebih besar dari sekadar rindu.
Satu langkah, dua langkah…
Sebelum siapa pun sempat bereaksi, Nayla memeluk Faizan — erat, tanpa aba-aba.
Suara di ruangan itu seketika lenyap.
Dan hanya detak jantung Faizan yang terasa terlalu jelas di antara keheningan.
...----------------...
Bersambung...
. udik bgt
novel sedang di ajukan oleh editor agar alurnya tetap seperti ini...
trimakasih sudah mau membantu Author yg lagi bimbang..
semoga kedepannya semakin baik yaa say..
/Kiss//Kiss//Kiss/