NovelToon NovelToon
PENGUASA YANG DIHINA, SULTAN YANG DIRAGUKAN

PENGUASA YANG DIHINA, SULTAN YANG DIRAGUKAN

Status: sedang berlangsung
Genre:Spiritual / Matabatin / Crazy Rich/Konglomerat / Raja Tentara/Dewa Perang
Popularitas:894
Nilai: 5
Nama Author: Andi Setianusa

Ia adalah Sultan sebuah negeri besar bernama NURENDAH, namun lebih suka hidup sederhana di antara rakyat. Pakaian lusuh yang melekat di tubuhnya membuat orang menertawakan, menghina, bahkan merendahkannya. Tidak ada yang tahu, di balik sosok sederhana itu tersembunyi rahasia besar—ia memiliki kekuatan tanpa batas, kekuatan setara dewa langit.

Namun, kekuatan itu terkunci. Bertahun-tahun lalu, ia pernah melanggar sumpah suci kepada leluhur langit, membuat seluruh tenaganya disegel. Satu-satunya cara untuk membukanya adalah dengan menjalani kultivasi bertahap, melewati ujian jiwa, raga, dan iman. Setiap hinaan yang ia terima, setiap luka yang ia tahan, menjadi bagian dari jalan kultivasi yang perlahan membangkitkan kembali kekuatannya.

Rakyatnya menganggap ia bukan Sultan sejati. Para bangsawan meragukan tahtanya. Musuh-musuh menertawakannya. Namun ia tidak marah—ia tahu, saat waktunya tiba, seluruh negeri akan menyaksikan kebangkitan penguasa sejati.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Andi Setianusa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Kebangkitan Sang Phoenix

Ledakan energi dari pedang cahaya Al Fariz menyapu seperti gelombang pasang, menerjang barisan depan pasukan Sandhara. Tapi yang mengejutkan, bukan hanya musuh yang terdorong - rerumputan yang sudah layu di tanah perang tiba-tiba menghijau kembali, bunga-bunga mekar di antara puing-puing.

"Kehidupan..." bisik Al Fariz, melihat keajaiban di tangannya sendiri. "Kekuatan Inti Roh bisa memulihkan?"

Tapi tidak ada waktu untuk terpesona. Pasukan Sandhara sudah berbaris lagi, dipimpin oleh Panglima Gorak yang perkasa.

"Jangan takut!" teriak Gorak. "Itu hanya trik sulap!"

Al Fariz tidak menjawab. Dia mengangkat pedangnya, dan kali ini, cahaya yang keluar lebih terang. Membentuk sosok phoenix raksasa yang terbang di atas kota, menebar cahaya keemasan.

Setiap tempat yang disentuh cahaya itu, luka-luka sembuh, energi kembali, semangat membara. Bahkan prajurit Sandhara yang terluka pun terheran-heran melihat luka mereka menutup.

"Baginda..." Jenderal Borak mendekat dengan mata berkaca-kaca. "Aku... aku minta maaf untuk semua..."

Al Fariz memotongnya. "Tidak ada waktu untuk penyesalan, Jenderal. Pertempuran belum selesai."

Tapi Gorak tidak menyerah. Dia memerintahkan pasukan khususnya maju - para kultivator Sandhara dengan kekuatan gelap.

"Kau mungkin punya kekuatan kehidupan, Fariz," hardik Gorak. "Tapi kami punya kekuatan kematian!"

Dari barisan belakang, sepuluh kultivator melompat. Mereka mengenakan jubah hitam bertudung, tangan mereka mengeluarkan energi hitam pekat yang membuat udara sekitar menjadi busuk.

Al Fariz mengerutkan kening. "Energi terlarang... Rustam memang bekerja dengan kekuatan jahat."

Dia bersiap melawan, tapi tiba-tiba, pendekar wanita misterius muncul di sampingnya.

"Biarkan aku yang menangani mereka," katanya, melepas selendangnya untuk pertama kali.

Wajah yang terungkap membuat Al Fariz terkesiap. Dia mengenali wajah itu - putri dari Kerajaan Tetangga yang dulu pernah dia selamatkan. Wanita yang menjadi alasan dia melanggar sumpah.

"Liana?" gumamnya tak percaya.

"Selamat tinggal, Fariz," ujar Liana dengan senyum sedih. "Sudah waktunya aku menebus kesalahanku."

Dia melompat ke depan, tubuhnya bersinar perak. Energinya bertolak belakang dengan kegelapan para kultivator Sandhara.

"Kau tidak bisa!" teriak Al Fariz. "Energimu belum sepenuhnya pulih!"

Tapi Liana sudah terlambat mendengar. Dia bertarung dengan gagah berani, menghadapi sepuluh kultivator sendirian. Setiap serangannya memancarkan cahaya suci, membakar energi gelap musuhnya.

Tapi jumlah yang tidak seimbang membuatnya kewalahan. Satu per satu, luka muncul di tubuhnya.

Al Fariz ingin membantu, tapi dia dikepung oleh pasukan biasa Sandhara. Gorak tertawa melihatnya.

"Lihatlah pahlawanmu menderita, Fariz!"

Tiba-tiba, suara gemuruh terdengar dari jauh. Bukan dari pasukan Sandhara, tapi dari arah laut.

"Kapal... kapal kita!" teriak salah satu prajurit Nurendah.

Di laut, puluhan kapal perang Nurendah yang selama ini dikira hancur atau melarikan diri, ternyata muncul dengan bendera kebanggaan. Dipimpin oleh Laksamana Taro, yang selama ini dianggap pengkhianat.

"Maaf terlambat, Baginda!" teriak Taro dari geladak kapal. "Kami harus membersihkan pengkhianat di angkatan laut dulu!"

Bantuan yang tak terduga ini mengubah situasi. Pasukan Sandhara yang tadinya unggul, sekarang terjepit dari dua arah.

Tapi pertarungan Liana semakin kritis. Dia sudah jatuh berlutut, darah mengucur dari banyak luka.

"Liana!" teriak Al Fariz.

Dia mengumpulkan semua kekuatannya, membentuk pelindung cahaya di sekeliling Liana. Tapi itu tidak cukup.

Saat itu, sesuatu yang ajaib terjadi. Liontin di leher Al Fariz berpendar kuat, dan suara Pengemis Tua terdengar di kepalanya.

"Waktunya telah tiba, Fariz. Lepaskan segel terakhirnya."

"Tapi Guru... itu berarti..."

"Kau harus mempercayai kekuatan sejatimu. Bukan kekuatan yang diberikan, tapi kekuatan yang kau pilih."

Al Fariz menutup mata. Di dalam hatinya, dia berdamai dengan masa lalunya. Dengan kesalahan yang pernah dia buat. Dengan cinta yang harus dia korbankan.

"Aku mengerti," bisiknya.

Dia melepaskan segel terakhir di hatinya. Bukan dengan amarah, bukan dengan keserakahan, tapi dengan penerimaan dan pengorbanan.

Ledakan energi yang terjadi kali ini berbeda. Tidak menghancurkan, tidak menyakiti. Tapi menyembuhkan, memulihkan, membangkitkan.

Setiap orang di medan perang, baik Nurendah maupun Sandhara, merasakan kedamaian yang aneh. Kemarahan mereka mereda, kebencian menghilang.

Bahkan kultivator gelap Sandhara berhenti menyerang, kebingungan.

" Apa yang kau lakukan?" tanya Gorak dengan suara lemah.

" Aku tidak melawan kalian," jawab Al Fariz dengan suara yang tiba-tiba terdengar oleh semua orang, meski dia tidak berteriak. "Aku mengajak kalian berhenti."

Dia berjalan menuju Liana yang terluka, mengangkatnya dengan lembut. Sentuhannya menyembuhkan luka-luka di tubuh wanita itu.

"Kekuatan sejati bukan untuk menguasai," ujarnya, sekarang berbicara kepada semua yang hadir. "Tapi untuk melindungi. Bukan untuk membunuh, tapi untuk memberi kehidupan."

Dia menoleh ke arah pasukan Sandhara. "Kalian datang ke sini membawa kematian. Tapi lihatlah - bahkan musuh kalian tidak membalas dengan kebencian."

Beberapa prajurit Sandhara mulai menurunkan senjata mereka. Yang lain melihat dengan mata berbinar-binar, seolah baru tersadar dari mimpi buruk.

Tapi Gorak masih membangkang. "Jangan dengarkan dia! Itu hanya sihir!"

Tapi sebelum dia bisa melanjutkan, sesuatu yang aneh terjadi. Dari langit, cahaya ungu turun. Sama dengan cahaya portal yang menelan Al Fariz sebelumnya.

Pengamat muncul, tapi kali ini dengan wajah marah.

"Kau merusak ujiannya, Fariz," suaranya menggema. "Ini bukan seharusnya terjadi."

Al Fariz menatapnya tanpa takut. "Aku tidak peduli dengan ujianmu. Aku hanya peduli pada rakyatku."

Pengamat mengangkat tangan, mengumpulkan energi gelap. "Kalau begitu, kau dan seluruh kotanya akan kuhapus."

Tapi sebelum dia bisa menyerang, suara lain terdengar.

"Sudah cukup."

Dari cahaya yang sama, muncul sosok lain. Pengemis Tua, tapi sekarang penampilannya berubah total. Dia mengenakan jubah kebesaran, bermahkota cahaya.

"Guru?" terkejut Al Fariz.

"Kami sudah mengawalimu cukup lama, Fariz," kata Pengemis Tua. "Dan kau telah membuktikan bahwa kemanusiaan masih layak diselamatkan."

Dia menoleh ke Pengamat. "Ujiannya selesai. Nurendah lulus."

Pengamat menggeram. "Dia melanggar aturan! Dia menggunakan kekuatan terlarang!"

"Kekuatan cinta dan pengorbanan bukan terlarang," bantah Pengemis Tua. "Itu justru yang kita cari selama ini."

Kedua makhluk itu terus berdebat, sementara semua orang di bawah menyaksikan dengan mulut terbuka.

Al Fariz memanfaatkan kesempatan ini. Dia mendekati Gorak.

"Lihatlah," katanya. "Kita semua hanya pion dalam permainan yang lebih besar. Tapi kita punya pilihan untuk berhenti."

Gorak, yang selama ini percaya pada kekuatan Sandhara, sekarang ragu. "Tapi... perintah Raja..."

"Raja Sandhara juga mungkin dikendalikan," kata Al Fariz. "Mari kita akhiri ini. Untuk kemanusiaan."

Akhirnya, Gorak mengangguk. Dia memerintahkan pasukannya untuk mundur.

Di atas, Pengamat akhirnya mengalah. "Baik. Nurendah diberi kesempatan. Tapi ingat, pengawasan kami tidak berakhir."

Dia menghilang dalam cahaya ungu.

Pengemis Tua tersenyum pada Al Fariz. "Kau membuatku bangga, muridku. Tapi ingat, ini baru awal. Masih banyak yang harus kau hadapi."

Dia juga menghilang.

Medan perang yang tadinya penuh teriakan dan darah, sekarang sunyi. Pasukan Sandhara mundur dengan tertib. Pasukan Nurendah tidak mengejar.

Al Fariz memandang kota yang hancur, tapi juga penuh harapan. Dia memeluk Liana erat.

"Kau... selamatkan aku lagi," bisik Liana.

"Kali ini, aku tidak akan melepasmu," jawab Al Fariz.

Tapi kedamaian ini tidak lama. Di kejauhan, di perbatasan, sesuatu yang lebih gelap mulai bergerak. Kekuatan yang tidak peduli dengan ujian atau penilaian. Kekuatan yang hanya ingin menghancurkan.

Pertempuran mungkin berakhir, tapi perang sesungguhnya baru akan dimulai. Dan Al Fariz sekarang tahu - dia tidak hanya bertanggung jawab pada Nurendah, tapi pada seluruh kemanusiaan.

Dia menatap langit, dengan Liana di sampingnya, dan berjanji akan melindungi semua yang dia cintai. Apapun harganya.

Tapi di sudut gelap istana, Rustam yang terluka menyaksikan semuanya dengan mata penuh kebencian. Di tangannya, segel ungu gelap masih berpendar.

"Ini belum berakhir, Fariz," bisiknya. "Aku akan kembali. Dan kali ini, aku akan hancurkan segalanya."

Kegelapan mungkin mundur hari ini, tapi dia belum menyerah. Dan pertarungan untuk masa depan dunia masih panjang.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!