Tujuh dunia kuno berdiri di atas fondasi Dao, dipenuhi para kultivator, dewa, iblis, dan hewan spiritual yang saling berebut supremasi. Di puncak kekacauan itu, sebuah takdir lahir—pewaris Dao Es Surgawi yang diyakini mampu menaklukkan malapetaka dan bahkan membekukan surga.
Xuanyan, pemuda yang tampak tenang, menyimpan garis darah misterius yang membuat seluruh klan agung dan sekte tertua menaruh mata padanya. Ia adalah pewaris sejati Dao Es Surgawi—sebuah kekuatan yang tidak hanya membekukan segala sesuatu, tetapi juga mampu menundukkan malapetaka surgawi yang bahkan ditakuti para dewa.
Namun, jalan menuju puncak bukan sekadar kekuatan. Tujuh dunia menyimpan rahasia, persekongkolan, dan perang tak berkesudahan. Untuk menjadi Penguasa 7 Dunia, Xuanyan harus menguasai Dao-nya, menantang para penguasa lama, dan menghadapi malapetaka yang bisa menghancurkan keberadaan seluruh dunia.
Apakah Dao Es Surgawi benar-benar anugerah… atau justru kutukan yang menuntunnya pada kehancuran?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Radapedaxa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28
Matahari pagi memantulkan sinarnya ke lapangan latihan asosiasi. Di tengah lapangan, sosok Meiyun berdiri tegak, pedang panjang di tangannya memantulkan cahaya keemasan. Gerakannya luwes, setiap ayunan pedang seperti menari bersama angin.
Bawahannya yang berbaris di pinggir lapangan menatap penuh kekaguman. Bagi mereka, sosok Meiyun bukan sekadar pemimpin, melainkan teladan—indah dan berbahaya sekaligus.
Dengan langkah ringan, Meiyun menyapu pedangnya ke depan. Saat itu, beberapa daun kering berguguran dari pohon besar di tepi lapangan. Matanya menyipit, tubuhnya seolah menyatu dengan pedang di tangannya.
“Teknik Pedang: Tidal Flow Dance!”
Kilatan tajam melesat, angin pedang bergemuruh. Dalam sekejap, daun-daun yang melayang di udara hancur berkeping-keping, terurai menjadi debu hijau sebelum menyentuh tanah.
Hening. Semua murid menahan napas. Mereka terpukau.
Meiyun menurunkan pedangnya, menghela napas panjang. Namun sebelum ia bisa kembali tenang, suara familiar terdengar.
“Teknik pedangmu sungguh hebat, Senior.”
Meiyun tersentak. Tubuhnya hampir kaku. Ia menoleh cepat, dan mendapati Xuanyan berdiri di ujung lapangan, tersenyum tipis.
“X-Xuanyan?” wajahnya memerah sedikit, salah tingkah. “Kau mengagetkanku! A… ada perlu apa datang tiba-tiba?”
Xuanyan terkekeh ringan. “Maaf, aku tidak bermaksud. Hanya saja ada hal penting yang harus kubahas… soal Yan Mo.”
Mata Meiyun langsung berubah tajam. Semua kegugupannya lenyap. “Kalau begitu, mari kita bicara di ruanganku.”
Di dalam ruangan Meiyun, atmosfer jauh berbeda. Serius, tegang. Meiyun duduk di kursinya, punggungnya tegak, sementara Xuanyan berdiri di hadapannya dengan ekspresi tenang namun mata penuh kehati-hatian.
“Apakah kau menemukan sesuatu?” tanya Meiyun.
Xuanyan mengangguk. “Aku ingin bertanya… soal seorang penyair. Namanya Mo Yun.”
Meiyun terdiam sesaat, jari-jarinya mengetuk meja. “Ah, aku tahu orang itu. Seorang penyair yang sering berkeliling kota. Ramah, murah senyum, banyak warga menyukainya.”
“Namun asal-usulnya mencurigakan, bukan?” Xuanyan menatap tajam. “Dan… apakah kau tidak merasakan ada keanehan dari syair-syairnya?”
Alis Meiyun sedikit berkerut. “Aku pernah mendengarnya. Jujur… aku terbawa suasana. Syairnya indah, merdu, seperti—”
“Seperti kau sedang dihipnotis,” potong Xuanyan cepat.
Meiyun terdiam. Bibirnya terbuka, tapi tak ada kata keluar. Beberapa detik kemudian, ia menggeleng pelan. “Itu mustahil. Aku seorang kultivator berpengalaman, ranahku tidak rendah. Bagaimana mungkin aku bisa dihipnotis oleh syair seorang manusia biasa? Aku yakin itu hanya karena keindahan syairnya saja.”
Xuanyan menarik napas dalam. “Awalnya aku juga berpikir begitu. Namun tubuhku… unik. Tubuhku seketika bereaksi, menyadarkanku dari ilusi halus itu. Dan di saat itu, aku merasakan… ada Qi iblis tersembunyi dalam setiap bait syairnya.”
Meiyun tertegun. “Tubuh… unik? Apa maksudmu?”
Xuanyan tersenyum samar. “Itu rahasia.”
Meiyun menggigit bibir, lalu mengangguk kecil, menghormati keputusannya.
Xuanyan mendekat ke meja, meraih tumpukan berkas korban yang tertata rapi. Ia membuka lembar demi lembar, matanya menyapu cepat.
“Korban Yan Mo… mulai berjatuhan sejak sepuluh tahun lalu.” Xuanyan berbicara sambil menelaah. “Namun Mo Yun muncul di Linhai sekitar lima tahun terakhir. Ada jarak lima tahun yang mengganjal.”
Ia menaruh berkas itu di meja, menatap lurus ke mata Meiyun. “Tapi coba pikir. Belum pernah ada saksi mata yang benar-benar melihat rupa Yan Mo, bukan?”
Meiyun menahan napas. “Benar… kebanyakan hanya ingat samar. Bahkan deskripsinya selalu berubah-ubah. Seperti bayangan yang sulit ditangkap.”
“Persis,” Xuanyan menekankan. “Dan kenapa? Karena mereka… terhipnotis.”
Ruangan itu mendadak hening.
Meiyun merasakan hawa dingin merayap di punggungnya. Ia menatap Xuanyan yang masih tenang, namun suaranya penuh keyakinan.
“Maksudmu… Yan Mo dan Mo Yun—”
Xuanyan mengangguk perlahan. “Ada kemungkinan besar mereka adalah sosok yang sama. Atau lebih buruk… Mo Yun adalah bagian dari Yan Mo.”
“Bagian?” suara Meiyun bergetar.
Xuanyan mencondongkan tubuhnya. “Pikirkan baik-baik. Sepuluh tahun terakhir, korban jatuh. Lima tahun terakhir, Mo Yun datang dan… apa yang terjadi? Warga merasa aman. Ketakutan mereka hilang. Seolah kehadirannya adalah penawar.”
Ia mengepalkan tangan di atas meja. “Tapi itu hanya ilusi! Jika ia benar-benar Yan Mo, maka kehadirannya di Linhai hanyalah cara untuk menutupi jejak. Dia menciptakan citra penyair ramah, menenangkan semua orang dengan syair yang menyihir, sehingga tidak ada yang curiga ketika korban terus berjatuhan.”
Mata Meiyun membesar. Tangannya tanpa sadar menggenggam pedang di samping kursi.
“Jika benar begitu…” suaranya lirih. “…maka kota ini sudah berada di bawah pengaruh iblis tanpa mereka sadari.”
Xuanyan mengangguk berat. “Ya. Dan itulah yang membuatku khawatir. Semakin lama kita membiarkannya, semakin dalam pengaruhnya meresap. Orang-orang tidak hanya akan kehilangan nyawa… mereka akan kehilangan kebebasan jiwa.”
Meiyun menutup mata sejenak, menarik napas dalam. Namun tubuhnya bergetar halus, menahan emosi.
“Bagaimana mungkin aku tidak menyadarinya…” gumamnya getir.
Xuanyan menatapnya lekat. “Itu bukan salahmu, Senior. Bahkan aku pun hampir terjerat. Kalau bukan karena tubuhku, aku juga akan percaya bahwa dia hanya penyair biasa.”
Meiyun membuka mata, sorot matanya kini penuh tekad. “Kalau begitu… kita harus menyelidikinya lebih jauh. Tapi jika benar dia Yan Mo…”
Xuanyan melanjutkan kalimatnya. “…maka ini bukan sekadar kasus hilangnya beberapa gadis perawan. Ini bisa jadi rencana besar iblis untuk menjadikan Linhai sarang mereka.”
Darah Meiyun berdesir. Ia mengepalkan pedang, aura pedang Dao-nya bergetar halus, menandakan amarah yang terpendam.
Xuanyan menatapnya serius, lalu tersenyum tipis. “Senior… apakah kau siap menghadapi kebenaran yang mungkin lebih mengerikan dari yang kita kira?”
Meiyun menatap balik, matanya berkilat tajam. “Aku tidak peduli seberapa mengerikannya. Jika itu adalah kebenaran, maka aku akan menghunus pedangku untuk menebasnya.”
Meiyun masih duduk dengan ekspresi serius, tangannya menekan gagang pedang. “Jadi, apa rencanamu, Xuanyan? Kalau benar Mo Yun itu Yan Mo, kita tidak bisa hanya duduk diam.”
Xuanyan bersedekap, menatap keluar jendela yang diterpa cahaya matahari. “Untuk saat ini… kita masih harus menunggu. Tidak bisa bertindak gegabah.”
“Menunggu?” Meiyun mengerutkan kening. “Setiap hari ada kemungkinan korban baru jatuh. Apakah kau mau membiarkan itu terjadi?”
Xuanyan mengangguk tipis. “Aku juga ingin menebasnya sekarang juga, Senior. Tapi pikirkan baik-baik, bila kita menghadapinya secara langsung, apa yang akan terjadi? Warga sudah terpesona olehnya. Dalam pandangan mereka, Mo Yun adalah penyair yang menenangkan, jauh lebih baik daripada asosiasi. Jika kita menyerangnya tanpa bukti kuat, mereka akan berbalik memusuhi kita.”
Kata-kata Xuanyan membuat ruangan terasa lebih berat.
Ia melanjutkan dengan nada dalam, “Dan jangan lupakan satu hal: pengaruhnya telah menembus hati warga. Itu bukan sekadar rasa kagum… itu ikatan ilusi. Kalau kita menghancurkannya secara tiba-tiba, mereka bisa kehilangan keseimbangan… bahkan bisa menimbulkan kekacauan besar.”
Meiyun terdiam, jari-jarinya mengetuk meja dengan resah. Perlahan ia menghela napas, lalu mengangguk. “Benar juga. Aku terlalu terbawa emosi. Kau lebih jernih dalam melihat situasi.”
Xuanyan menoleh, menatap Meiyun lekat-lekat. Tatapannya tajam, dalam, seperti hendak membaca isi hati.
Meiyun merasakan wajahnya memanas. Ia tersentak kecil dan memalingkan wajah. “K-Kenapa kau menatapku seperti itu?!”
Xuanyan menunduk sedikit, wajahnya polos tanpa ekspresi licik. “Aku hanya ingin memastikan satu hal… Senior, apakah kau masih perawan?”
Keheningan mencekam.
Lalu, BOOM! Aura Dao pedang meledak, menghantam Xuanyan seperti badai tajam. Tubuh pemuda itu terlempar ke dinding, menimbulkan retakan halus.
“Xuanyan!!” Meiyun berdiri dengan wajah merah padam, matanya melotot tajam. “Apa maksudmu dengan pertanyaan tidak senonoh itu?!”
Xuanyan batuk keras, menekan dadanya yang nyeri. “T-tunggu…! Aku tidak bermaksud seperti itu… sungguh! Maafkan aku, Senior!”
“Mesum!” suara Meiyun penuh amarah, namun rona merah di wajahnya semakin jelas.
Xuanyan benar-benar merasa seperti ada palu raksasa menghantam kepalanya. “Aku… aku hanya… maksudku… korban Yan Mo selalu gadis perawan, jadi aku hanya ingin memastikan bahwa—”
“Cukup!!” bentak Meiyun sambil menunjuknya dengan pedang. “Jangan lanjutkan!”
Xuanyan menutup mulutnya rapat-rapat. Tubuhnya menegang, takut salah bicara lagi.
Meiyun memalingkan wajah, bahunya sedikit bergetar. Beberapa saat keheningan lewat, suaranya terdengar lirih namun jelas.
“Meski umurku… sudah tidak muda lagi…” ia berhenti sejenak, wajahnya memerah semakin parah. “…aku masih… perawan.”
Xuanyan tertegun. Seolah seluruh udara di ruangan mendadak membeku.
Ia buru-buru menunduk, menepuk-nepuk debu di jubahnya. “Aku… mengerti. Maaf, Senior. Aku benar-benar tidak bermaksud menyinggungmu.”
Meiyun menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. Aura pedangnya perlahan mereda. “Hmph. Kau benar-benar membuatku malu. Ternyata wajahmu yang polos itu… menyembunyikan sifat mesum.”
Xuanyan merasa kepalanya semakin berat. “Senior… tolong jangan salah paham…”
Namun Meiyun tidak melanjutkan, hanya menutup wajahnya dengan tangan, rona merah masih melekat. Hatinya kacau: antara marah, malu, sekaligus… entah kenapa, hangat.
Xuanyan berdiri tegak kembali, menatapnya dengan sungguh-sungguh. “Senior. Sebenarnya aku memang punya rencana untuk menguak semua ini. Dan aku butuh bantuanmu.”
Meiyun menurunkan tangannya, menatapnya dengan sorot serius yang masih diliputi sisa rona merah. “Rencana apa?”
Xuanyan menarik napas panjang. “Untuk menyingkap topeng Mo Yun… kita harus membuatnya menunjukkan wujud aslinya di depan warga sendiri. Dan itu hanya bisa terjadi jika ia terpojok hingga tidak bisa lagi mempertahankan ilusi syairnya.”
Meiyun mengangguk pelan. “Kau ingin memancingnya keluar… dengan jebakan.”
“Benar,” Xuanyan membalas. “Tapi aku tidak bisa melakukannya sendiri. Mo Yun licik, dan aku yakin dia sudah menaruh mata-mata di sekitar kota. Jika kita salah langkah sedikit saja, semua akan hancur.”
Ia menatap Meiyun dalam-dalam. “Senior, aku butuh pedangmu. Dao pedangmu mampu menembus ilusi, itu kekuatan yang tidak kumiliki. Jika kau berada di sisiku, kita bisa membuatnya kehilangan kendali.”
Meiyun menatapnya lama. Sorot matanya bergolak, antara keraguan dan keyakinan. Lalu ia menghela napas, menegakkan tubuhnya. “Baiklah. Aku akan membantumu. Demi warga Linhai… dan demi menghentikan Yan Mo sekali untuk selamanya.”
Xuanyan tersenyum tipis. “Terima kasih, Senior. Denganmu di sisiku, aku yakin kita bisa melakukannya.”
Untuk sesaat, tatapan mereka bertemu. Ada sesuatu yang tak terucapkan di antara keduanya. Tegangan, komitmen… dan sedikit rasa yang tidak bisa dijelaskan.
Meiyun buru-buru memalingkan wajah lagi. “Tapi ingat, Xuanyan…” wajahnya kembali memerah. “…jangan pernah lagi menanyakan hal aneh seperti tadi. Atau aku benar-benar akan menebasmu.”
Xuanyan langsung mengangkat kedua tangannya pasrah. “Baik, baik! Aku janji!”