Arwah sekarat Raveena bergentayangan di dalam sebuah novel yang pernah ia kutuk karena baginya memiliki ending yang paling buruk. Di novel itu, menjadi sosok Elira Maeven, tokoh utama yang memiliki sifat lugu dan feminin yang menyukai sosok Arsen Vaelric, si pria manipulatif yang berbahaya.
Sialnya, Raveena memasuki tubuhnya usai Elira mengalami adegan mati konyol akibat bunuh diri di bagian ending cerita. Seolah semesta menuntut pertanggungjawaban dari caciannya, ia dipaksa melanjutkan cerita hidup Elira yang mestinya berakhir setelah mati bunuh diri.
Raveena tak bisa keluar dari dunia itu sebelum menyelesaikan skenario takdir Elira yang tak pernah ditulis dan direncanakan oleh penulis novel itu sendiri.
Sampai tiba hari di mana Arsen mulai menyadari, bahwa sikap membosankan Elira yang selalu ia abaikan, kini bukanlah sosok yang sama lagi.
Namun, Arsen justru sangat menyukainya.
Apakah Raveena mampu kembali ke dunia nyatanya?
Atau justru terkurung selamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dandelions_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33
Pemandangan berantakan menyambut Cedric yang baru saja tiba ke kediamannya.
"Astaga...."
Dengan kerutan di dahi, Cedric melangkah hati-hati setelah turun dari mobil.
Mulai dari pecahan kaca, bekas tembakan di tembok, pot bunga yang pecah berserakan, hingga tumbangnya para bodyguard yang bersimbah darah di mana-mana.
"Elira," gumamnya panik.
Cedric pun berlari ke dalam rumah.
"Elira?" panggilnya lagi semakin tidak tenang. Cedric menelusuri setiap sudut rumahnya yang telah kacau-balau.
"Sayang, kau di mana?" lirih Cedric dengan jantung yang mulai berdetak tidak karuan.
Cedric mengeluarkan ponsel menelepon Axel, barangkali Elira pergi bersamanya. Di situasi kacau ini, ia berusaha menepis segala kemungkinan buruk yang menimpa putrinya.
Bagaimana tidak? Para bodyguard yang ia panggil untuk menjaga putrinya justru tergeletak tak berdaya seperti ini. Apalagi Elira, seorang perempuan yang ia tahu tak mahir menggunakan senjata.
Cedric berdecih saat tak ada satu pun panggilan yang terangkat.
"Ini pasti ulah anak sialan itu." Cedric kembali menghubungi seseorang, kali ini tujuannya pada Arsen.
"Halo-"
"Kau yang melakukannya?" tukas Cedric yang tak Sudi berbasa-basi. Ia terlihat begitu gerah dan geram.
Tawa sinis terdengar di seberang sana. "Bukankah aku sudah memperingatkanmu sebelumnya? Seharusnya orang tua sepertimu mesti percaya pada anak yang lebih muda."
"Di mana putriku?"
Hening.
"Katakan di mana putriku?!" desak Cedric tidak main-main. "Apa yang kau lakukan setelah membawanya?!"
Tawa menyebalkan lagi-lagi terdengar. Membuat Cedric semakin naik pitam.
"Aku tak tahu."
"JANGAN MAIN-MAIN DENGANKU! KAU-"
Tut.
Panggilan terputus secara sepihak.
"Sial."
Cedric memejamkan mata, memijat pangkal hidung. Kini, langkah lebarnya membawanya kembali ke dalam mobil. Mau tak mau, ia mesti memeriksa sendiri ke kediaman Arsen.
......................
Elira yang pintar mengelabui, sebenarnya masih ada di kediaman itu setelah melihat beberapa orang pergi untuk menangkapnya.
"Tampilan saja terlihat sangar, tapi masih bisa kecolongan," hardik Elira yang kini bersembunyi di balik semak-semak boxwood samping luar bangunan itu.
Note: Boxwood itu jenis tanaman perdu. Daunnya kecil-kecil, hijau tua, bentuknya rapii dan mengkilap. Gambarannya tuh, tanaman ini suka dibentuk gitu, sering dipakai buat pagar hidup (tanaman hias yang dipangkas jadi bentuk tertentu).
Elira menoleh kanan kiri, hingga pada sudut-sudut tertentu untuk mengecek CCTV.
"Arah terusan pintu keluar tersorot oleh CCTV, artinya jika mereka memeriksa CCTV, aku akan ketahuan berlari ke arah sini, meski di tempat persembunyianku tak ada CCTV."
Dengan jantung yang mulai berdetak cepat, Elira mulai berpikir. Karena meski entah kapan, posisinya pasti akan ketahuan.
Tap tap tap
Suara langkah kaki membuat Elira membelalak. Ia sontak berjongkok, spontan meringis pelan saat kakinya yang tak memakai alas menginjak kerikil yang tajam.
"Bukannya dia ...," kaget Elira dalam hati dengan tatapan membelalak. Celah dari tanaman membantunya memantau orang itu.
Sosok Gregor terlihat melangkah pelan dengan tatapan menyisir sekitar, seperti sedang mencari sesuatu.
"Kenapa pria tua ini ada di sini? Apakah dugaanku benar, jika Gregor dan Axel adalah komplotan Arsen? Tapi yang kutahu, mereka sama-sama membenci keluarga Vaelric."
Mata Elira melotot saat melihat serangga kecil melintas di depan matanya, lalu hinggap ke pakaiannya.
Ada dua hal yang ia benci di dunia ini. Pertama, para pria brengsek yang mengacaukan hidupnya. Kedua, binatang kecil bernama 'Serangga', jenis apa pun itu.
Elira mencoba mengusir pelan, namun gerakan kecilnya tak sengaja menyenggol tanaman itu.
Sontak Gregor menoleh.
"Hhhh, sial!" umpat Elira.
Gregor mendekat. Semakin tipis jarak mereka, jantung Elira pun semakin berdebar-debar tidak karuan. Usahanya untuk kabur sepertinya akan berakhir sia-sia.
"Keluarlah." Gregor menatap malas ke arah lain, sedangkan di dalam sana Elira membelalak. "Aku tahu kau bersembunyi di sana."
Sebelum keluar dari persembunyiannya, Elira mencari sesuatu untuk senjata. Minimal ia menemukan sebuah batu untuk menghantam kepala pria tua itu.
"Kesempatan lepas hanya sebentar," peringat Gregor yang berbalik posisi memunggungi kamera CCTV.
Elira pun mendadak bingung. "Dia menyuruhku pergi?"
"Aku tahu kau bingung, tapi cepat keluarlah." Gregor kini pura-pura tak melihatnya lagi.
"Pergilah. Aku akan mengulur waktu supaya orang dalam tak sadar dengan kepergianmu," katanya lagi, lalu kembali ke dalam seolah tak peduli dengan kehadiran Elira.
Elira pun berdiri. Meski penasaran, ia tak bisa mengintip untuk melihat kepergian Gregor.
"Baiklah. Memikirkan cara untuk kabur lebih berguna daripada memikirkan niat mereka." Elira menyingkirkan krikil yang sebelumnya menempel di telapak kaki. Tidak berdarah, tapi cukup sakit.
"Aku harus keluar, namun sebisa mungkin menghindar dari sorotan CCTV." Ia awalnya yakin, namun kini menggeleng tak yakin. "Tapi sepertinya tidak. Itu terlalu mustahil."
Namun, mengingat ucapan Gregor, membuatnya sedikit yakin kalau pria itu memang menyuruhnya nekat saja keluar dari sini, dan ia akan mengawasi orang dalam.
"Kabur dengan kaki telanjang?" lirih Elira seraya menarik napas dalam.
"Tak masalah," yakinnya. "Menjadi gembel pun tak masalah, selama diriku tak mati konyol di sini."
Elira keluar dari tanaman itu, lalu ia tersungging sinis ke arah CCTV sebelum melarikan diri, seolah meledek kinerja para pesuruh Arsen yang tak becus menjaganya.