Nael, seorang notaris kondang, tenggelam dalam kesedihan mendalam setelah kepergian istrinya, Felicia. Bermodalkan pesan terakhir yang berisi harapan Felicia untuknya, Nael berusaha bangkit dan menjadi pribadi yang lebih baik. Meski kehidupannya terasa berat, ia tidak pernah menyerah untuk membenahi diri seperti yang diinginkan oleh mendiang istrinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon indrakoi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
CHAPTER 34: William Hartanto
Saat jalanan Kota Andawana sedang sibuk-sibuknya di pagi hari, aku memacu motor matic peninggalan Felicia layaknya Valentino Rossi di sirkuit balap MotoGP. Setiap kendaraan yang ada di depan—baik itu mobil, truk, atau bahkan tronton—semuanya aku salip agar bisa sampai di kantor BPN secepat mungkin.
Hari ini adalah hari dimana aku akan bertemu dengan William Hartanto, seorang pegawai di BPN yang akan membantu untuk menciptakan sertifikat tanah milik warga Desa Uyah Gesing. Barusan Alvie mengabari bahwa orang itu sudah sampai di kantor, lalu masuk ke dalam ruang kerjanya. Karena itulah aku cepat-cepat ke kantor BPN, sebelum dia dibuat repot oleh para warga yang ingin mengurusi sertifikat tanah mereka.
Hanya butuh waktu 25 menit sejak berangkat dari rumah, aku sudah tiba di kantor BPN yang berada di Area Khusus Pemerintahan Andawana. Di kawasan inilah dimana semua kantor pemerintahan daerah berpusat. Mulai dari kantor gubernur, catatan sipil, DPRD, dan berbagai kantor dinas daerah lainnya, semua ada di sini.
Begitu memasuki kantor BPN, aku langsung diarahkan oleh security untuk menaruh motor di area parkir mereka. Setelah memarkirkan motor, aku langsung menelpon Alvie untuk menanyakan dimana posisinya saat ini. Dia lalu memintaku untuk pergi ke front office karena dia akan menemuiku di sana.
Tanpa menunggu lebih lama lagi, aku langsung berjalan ke salah satu gedung yang tampak lebih besar daripada gedung lainnya. Secara total, kantor ini memiliki tiga buah gedung. Satu di sebelah selatan, satu di sebelah barat, dan satu lagi berada di antara keduanya dengan ukuran serta luas yang lebih besar.
Saat sudah sampai di front office, Alvie terlihat sudah menungguku salah satu di pojok ruangan. Dia lalu memberi isyarat agar aku mengikutinya menyusuri lorong-lorong kantor ini. Kami akhirnya tiba pada suatu ruangan yang di bagian atas pintunya berisi tulisan “Ruang Percetakkan”. Alvie kemudian membukakan pintu ruangan tersebut, lalu mempersilahkan aku masuk.
Kakiku melangkah pelan melewati berbagai mesin percetakan untuk menemui William yang sedang mendengarkan lagu dengan earphonenya di hadapan sebuah komputer. Badannya yang gempal itu terlihat bergoyang-goyang kecil, seolah menikmati alunan musik apapun yang sedang didengarkannya saat ini.
Aku sadar bahwa memanggil nama orang itu tidak akan membuatnya menoleh ke arahku. Karena itu, aku memutuskan untuk menepuk pundaknya sebanyak dua kali, sehingga dia pun terkejut dan menoleh ke arahku dengan cepat.
“Woah, kau bikin aku kaget aja.” Ujar William sambil melepaskan earphonenya dengan tergopoh-gopoh.
“Memanggil namamu nggak bakalan mempan karena pendengaranmu diblokir oleh earphone itu. Makanya, akan lebih efektif jika aku langsung menepuk pundakmu saja.” Aku membalas sambil menawarkan sebuah jabat tangan. “Aku Emanuel Nathaniel. Kau pasti sudah mengetahuiku dari Alvie, kan?”
William kemudian berdiri dari kursinya, lalu menjabat tanganku dengan segera. “Iya, kau orang yang mau nyetak 186 sertifikat tanah baru untuk para warga Desa Uyah Gesing, kan?” Aku hanya mengangguk untuk menanggapi pertanyaan tersebut.
“Oke, serahkan saja semua dokumen kepemilikan tanah mereka yang lama, lalu berikan aku waktu sampai petang untuk menggantinya dengan sertifikat tanah yang baru.” Ucap William seraya berjalan menuju sebuah mesin percetakan dengan ukuran yang lumayan besar.
Aku berjalan mengikuti langkahnya, sambil mengobrak-abrik isi tas ransel untuk mengambil 186 dokumen pipil milik para warga Desa Uyah Gesing. Tumpukan dokumen itu kemudian aku taruh di atas mesin percetakan yang masih belum dinyalakan. William segera mengambil berkas-berkas itu dan memeriksanya satu per satu.
“Hmm… Mereka masih menganggap dokumen pipil itu masih berlaku rupanya, ya…” Gumam William sambil membolak-balikkan dokumen pipil yang ada di tangannya.
Aku perlahan mendekatkan wajah ke telinga William untuk membisikkan hal yang paling penting dari pertemuan kita hari ini. “Untuk pembayarannya, aku sarankan agar kita menggunakan cryptocurrency saja.” Mata William langsung terbelalak karena mendengar ucapan lirih yang masuk ke telinganya itu.
“Kau juga punya cryptocurrency?” Tanyanya lirih dengan nada yang tidak percaya bahwa aku memiliki mata uang digital itu.
“Tentu saja. Cara ini akan membuat kita terhindar dari urusan hukum, karena transaksinya tidak akan tercatat atau terdeteksi oleh pihak manapun.” William tersenyum mendengarkan ucapanku itu, lalu perlahan mengeluarkan handphonenya dari saku celana. Ia membuka aplikasi cryptocurrencynya sebagai tanda bahwa transaksi akan dilakukan sekarang juga.
“0.015 Bitcoin rasanya cukup untuk pekerjaan ini.” Bisiknya lirih kepadaku, seolah ada seseorang yang menguping percakapan kami ini.
Tanpa mengeluarkan sepatah kata pun, aku langsung mengirimkannya 0.015 Bitcoin yang nilainya setara dengan 24 juta rupiah.
“Kita bertemu di Bendungan Tirta Mega sekitar jam 5 pagi untuk serah terima sertifikatnya.”
...***...
Saat petang tiba dan suara jangkrik mulai terdengar, aku duduk di depan layar monitor sambil menunggu kabar dari William mengenai sertifikat tanah milik para warga desa Uyah Gesing. Biasanya, jika sebuah sertifikat tanah sudah dicetak, maka informasinya akan langsung masuk ke sistem pertanahan nasional.
Ketika ada seseorang yang ingin mencetak sertifikat untuk tanah yang sama, namun dengan nama orang yang berbeda, maka sistem akan langsung mengirimkan notifikasi bahwa hal itu tidak dapat dilakukan, karena tanah tersebut sudah dimiliki oleh seseorang. Hal itulah yang ingin aku gunakan untuk menghentikan langkah Michael Huang dalam usahanya mengambil alih tanah milik desa Uyah Gesing.
Karena bosan menunggu info dari William di depan monitor, aku akhirnya memutuskan untuk melakukan kegiatan lain yang bisa membuat waktu berjalan lebih cepat. Entah kenapa, satu-satunya hal yang terlintas di kepalaku adalah bermain game Dinosaurus 8-bit yang tersedia di browser milik Google.
Setelah lima belas menit bermain game Dinosaur Runner, akhirnya handphoneku menampilkan notifikasi WhatsApp dari William dengan suara yang lumayan kencang. Aku langsung membaca pesan yang dikirimkan olehnya dengan cepat. “Sudah selesai.” Begitulah pesan singkat yang ia kirimkan kepadaku.
Tanpa menunggu lama lagi, aku segera memeriksa sistem pertanahan nasional untuk memastikan apakah jumlah sertifikat yang terdaftar di sana sudah genap 186 buah. Aku pun tidak bisa menahan senyum saat mengetahui bahwa seluruh warga desa Uyah Gesing kini sudah memiliki sertifikat tanah baru yang sudah terdaftar di sistem pertanahan nasional. Dengan ini, Michael Huang tidak akan bisa melakukan apa-apa lagi, selain membiarkan tanah tersebut menjadi milik warga desa untuk selama-lamanya.
Sebagai bukti tambahan, aku juga mencoba untuk mencetak sertifikat yang diinginkan Michael Huang dengan lokasi yang berada di Desa Uyah Gesing. Dan benar saja, muncul sebuah notifikasi berwarna merah yang mengatakan bahwa: “Tanah ini sudah terdaftar di Sistem Pertanahan Nasional”. Aku kemudian memfoto notifikasi tersebut untuk selanjutnya ditunjukkan kepada Michael Huang besok pagi.
Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, aku merasa sangat bersemangat untuk menyambut hari esok. Ini karena aku sangat mengidamkan wajah Michael Huang yang cemberut sebab tidak bisa mendapatkan apa yang ingin dia dapatkan. Belum lagi dia akan merasa terkejut karena besok ada dua orang polisi berseragam lengkap yang sedang duduk santai di ruang tunggu kantorku. Aku jamin, besok akan menjadi hari yang sangat menyenangkan!
Setelah mematikan komputer yang ada di ruang kerja, aku segera naik ke menuju kamar yang ada di lantai dua untuk mengistirahatkan badan yang sudah terasa pegal ini. Namun, rasa pegal ini tidak ada apa-apanya dengan euforia kemenangan yang sedang kurasakan sekarang.
Ada sebuah pepatah lama yang mengatakan bahwa “manusia sangat gemar melihat manusia lainnya terjatuh”. Apalagi, jika manusia yang jatuh itu adalah manusia yang memiliki sifat angkuh, sombong, benawat, licik, dan segala kata sifat buruk yang pernah engkau ketahui.
Melihat orang seperti itu terjatuh akan memberikan sensasi bahagia yang dapat bertahan dalam waktu yang sangat lama.