Selama lima tahun pernikahan, Niken dan Damar tampak seperti pasangan sempurna di mata semua orang. Di balik senyum yang mereka pamerkan, ada luka yang mereka sembunyikan—ketidakmampuan untuk memiliki anak. Niken tetap bertahan, meski setiap bisikan tajam dari keluarga mertua dan orang sekitar menusuk hatinya.
Hingga badai besar datang menghantam. Seorang wanita bernama Tania, dengan perut yang mulai membuncit, muncul di depan rumah mereka membawa kabar yang mengguncang, dia adalah selingkuhan Damar dan sedang mengandung darah dagingnya. Dunia Niken seketika runtuh. Suami yang selama ini ia percayai sepenuh hati ternyata menusuknya dari belakang.
Terseret rasa malu dan hancur, Niken tetap berdiri tegak. Demi menjaga nama baik Damar dan keluarganya, ia dengan pahit mengizinkan Damar menikahi Tania secara siri. Tapi ketegarannya hanya bertahan sebentar. Saat rasa sakit itu tak tertahankan lagi, Niken mengambil keputusan yang mengguncang. Ia memutuskan untuk bercerai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YoungLady, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 35
Mayang duduk di teras rumah kontrakannya, pandangan menerawang kosong. Sudah dua hari ia tak lagi tinggal di rumah anaknya sendiri—diusir secara halus oleh anak yang ia besarkan dengan darah dan air mata. Hanya karena sedikit salah paham, hanya karena menantu itu merasa tak nyaman. Dan anaknya? Diam. Tak membela. Membiarkan ibunya pergi seperti beban tak diinginkan.
Wajah Tania, menantunya, terus terbayang di benak Mayang. Wajah yang tampak sedih di depan anaknya, berpura-pura baik, berpura-pura peduli. Tapi Mayang tahu, itu semua palsu. Di balik air mata buatan itu, ada kemenangan kecil yang disembunyikan.
“Tak bisa dibiarkan,” gumam Mayang dengan suara serak. “Perempuan itu harus dikasih pelajaran.”
Keesokan paginya, Mayang bangun lebih awal dari biasanya. Ia mengenakan kerudung tua dan sandal jepit lusuh, lalu berjalan cepat ke arah pasar tradisional yang tak jauh dari rumah. Ia tahu, tiap hari Jumat, Tania selalu ke sana membeli buah-buahan.
Benar saja. Di dekat lapak buah semangka, ia melihat sosok Tania sedang memilih mangga, kantong belanja di tangan.
“Perempuan licik!” bentak Mayang lantang, langsung menarik rambut Tania dari belakang.
Tania terpekik, tak sempat bereaksi saat Mayang menarik lengannya dengan kasar.
“Apa-apaan ini, Bu?! Sakit!” jerit Tania.
Beberapa pedagang hanya menoleh sekilas lalu pura-pura tak lihat. Tak ada yang berani ikut campur. Semua tahu Mayang cerewet dan emosional. Mereka takut terseret urusan.
“Berani kamu usir aku dari rumah anakku sendiri?! Dasar perempuan penghasut!” teriak Mayang sambil terus menarik-narik tangan Tania.
“Bu, tolong hentikan! Aku tidak pernah menyuruh Mas Damar usir Ibu!” Tania mencoba menjelaskan, tapi Mayang tak mau dengar. Amarahnya sudah membakar habis logika.
Akhirnya, kesabaran Tania habis. Ia mendorong tubuh Mayang dengan kedua tangan—tidak keras, tapi cukup membuat tubuh renta itu oleng ke belakang.
Pada saat yang bersamaan, sebuah sepeda motor melaju pelan melewati jalan sempit itu. Tubuh Mayang tersenggol dan terjatuh menghantam aspal.
“Bu Mayang!” Tania menjerit.
Motor itu berhenti, pengendaranya panik tapi segera kabur karena takut disalahkan. Tania mendekat, melihat Mayang terbaring dengan lutut berdarah dan wajah pucat.
Tanpa pikir panjang, ia berteriak minta tolong dan meminta becak terdekat membantunya membawa Mayang ke rumah sakit.
Di perjalanan, Tania menangis dalam diam, tangannya menggenggam tangan ibu mertuanya yang lemah. Meski disakiti, ia tetap peduli. Ia hanya ingin rumah tangganya damai, bukan menjadi medan perang antara istri dan ibu.
Sesampainya di rumah sakit, Tania mengurus administrasi, membayar pendaftaran, dan menemani Mayang masuk ruang perawatan.
Meski luka Mayang tak parah, rasa sakit dan kejadian itu cukup membuat wanita tua itu termenung lama. Untuk pertama kalinya, ia melihat air mata tulus di mata Tania.
---
Suasana rumah sakit sore itu terasa dingin dan menyesakkan bagi Tania. Ia duduk di kursi tunggu dengan wajah lelah, tangannya sesekali mengelus perutnya yang mulai membuncit. Di dalam ruang perawatan, Mayang terbaring dengan perban di lutut dan beberapa luka gores di tangan.
Dengan tangan gemetar, Tania menekan nomor Damar dan menempelkan ponsel ke telinga.
“Mas... aku di rumah sakit,” ucapnya pelan. “Ibu jatuh... kena motor... sekarang dirawat.”
Di seberang, Damar terdengar kaget. “Apa?! Kamu di rumah sakit? Ibu kenapa?!” Suaranya panik.
“Jelasin nanti aja ya, Mas... tapi tolong datang sekarang. Aku sendirian.”
Tanpa menunggu penjelasan lebih lanjut, Damar menutup tenda kecil minuman es kopi miliknya yang baru buka sebulan lalu. Ia memberi instruksi cepat pada karyawannya untuk menjaga stand, lalu melesat pergi dengan motor, angin menerpa wajahnya sepanjang jalan.
Setibanya di rumah sakit, Damar langsung menuju ruang rawat setelah bertanya pada resepsionis. Di sana, ia menemukan ibunya duduk bersandar dengan wajah tak bersahabat, sementara Tania berdiri di sudut ruangan, tampak tertekan.
“Ibu, ibu tidak apa-apa?” tanya Damar cemas sambil menghampiri ranjang.
Mayang mendengus. “Tanya saja sama istrimu! Dia yang dorong Ibu sampai Ibu jatuh dan ditabrak motor! Lihat ini!” Ia menunjuk luka di tangannya dengan dramatis.
Tania menahan napas. “Mas, bukan aku yang mulai! Ibu tiba-tiba menjambak rambutku, nyakar tanganku di pasar! Aku refleks dorong... Aku takut, Mas! Dia hampir bikin aku jatuh, aku bawa anak kita dalam perut!”
Damar memijit pelipisnya. Pusing. Dua orang yang paling ia cintai di dunia ini, bertengkar seperti musuh.
“Ibu... Tania itu lagi hamil. Kalau sampai dia jatuh atau luka, gimana? Itu cucu Ibu juga...” ucap Damar lirih, berusaha menahan emosi.
“Jadi kamu lebih percaya sama dia daripada Ibu sendiri?!” bentak Mayang. “Ibu ini yang ngelahirin kamu! Rawat kamu dari kecil! Sekarang kamu belain perempuan itu?!”
“Bukan begitu, Bu,” sahut Damar cepat. “Tapi semuanya harus bisa jaga sikap. Ibu juga nggak bisa sembarangan marah, apalagi sampai jambak orang di tempat umum. Apa Ibu nggak sadar itu bisa bahaya?”
Mayang terdiam. Amarahnya membara, tapi hatinya juga mulai terasa perih. Ia merasa kalah. Anak yang dulu selalu ada di sisinya, kini memilih berdiri di samping wanita lain.
Tania menunduk, menahan air mata. Ia tak ingin menang. Ia hanya ingin diterima, dianggap bagian dari keluarga, bukan jadi musuh dalam rumah tangga suaminya.
“Sudah, cukup,” kata Damar akhirnya. “Aku capek lihat kalian saling menyakiti. Kalau terus begini, aku tidak tahu bisa tahan sampai kapan.”
Ruangan itu senyap. Tak ada yang bicara. Hanya suara detak jam dinding dan denyut luka yang tak terlihat—luka dalam hati yang perlahan tumbuh, entah bisa sembuh atau justru semakin dalam.
Damar akhirnya meninggalkan kedua wanita itu di dalam ruangan, menyisakan rasa sesak di dada Tania dan Mayang.
Bersambung....