Rara hanyalah seorang gadis biasa yang hidupnya berubah sejak diadopsi oleh pasangan kaya, Nadine dan Damar. Di usianya yang masih 15 tahun, ia merasa mendapat kesempatan kedua dalam hidup-tempat tinggal yang nyaman, kasih sayang, dan harapan baru. Tapi semua itu bukan tanpa alasan. Rara diangkat bukan hanya sebagai anak, tapi juga disiapkan untuk satu tujuan: menjadi ibu pengganti bagi anak pasangan itu.
Sebagai bentuk balas budi, Rara menerima takdirnya. Ia ingin membalas kebaikan mereka dengan keikhlasan, tanpa berharap apa-apa. Tapi takdir memiliki caranya sendiri untuk menghancurkan segalanya.
Di malam ulang tahun temannya, sebuah kesalahan tak termaafkan terjadi. Dalam keadaan mabuk dan tak sadar, Rara dan Damar menghabiskan malam bersama-tanpa cinta, tanpa kesengajaan, hanya kekeliruan yang tak bisa dihapus. Beberapa minggu kemudian, saat prosedur inseminasi kembali direncanakan, Damar menghentikannya. Ia tahu... Rara mungkin sudah hamil. Dan yang tumbuh di dalam rahim itu adalah anaknya-bukan dari hasil inseminasi, melainkan dari peristiwa yang disangkal dan ditutupi.
Sementara Nadine, yang begitu bahagia dengan kehadiran janin dalam rahim Rara, tak menyadari bahwa anak itu bukanlah hasil inseminasi seperti yang ia yakini. Sampai akhirnya, perhatian berlebih Damar pada Rara membongkar semuanya.
Kehancuran pun menyusul. Nadine merasa dikhianati, kebenaran -tentang janin yang dikandung Rara, dan tentang hubungan terlarang yang tak pernah Rara inginkan.
Diusir.
Dihina.
Dibuang.
Rara kehilangan segalanya-termasuk harga dirinya. Tapi ia memilih pergi... karena ia tahu, dirinya bukan pelaku... tetapi korban dari cinta beracun yang seharusnya tak pernah tumbuh, karena cinta dari pria seegois Damar bukan sesuatu yang bisa dihindari-itu adalah jerat.
Dan Damar sendiri,terjebak antara dua perempuan yang sama-sama mengisi ruang berbeda dalam hidupnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon adelita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 33
Langkah Damar bergema tegas di lantai butik yang mulai ramai. Ia tak memedulikan sapaan dari para staf, tak menoleh kiri atau kanan. Sorot matanya tajam, napasnya memburu. Emosinya telah sampai ke puncak. Ia langsung menuju ke ruang kerja Nadine di bagian dalam butik.
Tanpa mengetuk.
Damar membuka pintu dengan kasar—bruk!
Sontak seluruh perhatian dalam ruangan langsung terarah padanya.
Nadine yang sedang memimpin rapat dengan beberapa klien penting sempat terkejut. Tapi ia cepat-cepat merapikan ekspresinya. Mata indahnya menajam, tapi bibirnya tetap melengkung tipis.
"Mas?" ucapnya datar. "Ada apa? Kenapa kamu tiba-tiba masuk seenaknya ke ruanganku? Kamu gak lihat aku lagi meeting?"
Damar berdiri di ambang pintu, matanya menyapu seisi ruangan. Beberapa kepala mulai berbisik-bisik. Suasana menjadi kikuk.
"Aku perlu bicara denganmu. Sekarang," ucap Damar dengan nada berat dan penuh tekanan.
Nadine tahu, atmosfer telah berubah. Ini bukan sekadar kunjungan suami yang cemburu atau ingin perhatian. Ini badai. Badai yang akan memporak-porandakan semua yang telah ia bangun.
Ia tersenyum kecil, berbalik ke para tamu dan berkata lembut namun tegas, "Maaf, Tuan-tuan dan Nyonya. Sepertinya pertemuan kita harus dijadwalkan ulang. Suamiku dan aku perlu menyelesaikan hal yang lebih mendesak. Kita lanjutkan besok, ya."
Setelah semua orang pergi, hanya tinggal mereka berdua.
Hening menyelimuti ruangan.
Nadine duduk santai di sofa, membuka-buka majalah fashion, seolah tak terjadi apa-apa. Sementara Damar berdiri kaku di depannya, hanya meja besar yang memisahkan mereka.
Nadine menatapnya sekilas. "Tumben banget kamu datang ke butik di jam segini. Ada apa?"
Damar tak menjawab basa-basi. Suaranya langsung menembak tajam.
"Dimana Rara?"
Nadine tak mengangkat kepala. "Rara? Maksudmu apa?"
"Aku tanya sekali lagi. Dimana Rara?" suara Damar naik satu oktaf. "Kau yang hentikan semua biaya perawatan. Kau yang jemput dia dari rumah sakit tadi malam. Jadi, jawab aku. Dimana kau bawa dia?"
Nadine meletakkan majalahnya. Sorot matanya berubah dingin.
"Mas... buat apa kamu peduli sama cewek udik itu? Dia gak berarti apa-apa buat kamu. Aku istrimu. Kenapa kamu sibuk cari wanita lain?"
Damar mendekat, suaranya menekan penuh amarah yang ditahan.
"Kamu yakin ngomong begitu? Kamu lupa siapa yang mengadopsi dia empat tahun lalu? Kamu lupa siapa yang berjanji akan bertanggung jawab atas hidupnya? Kamu, Nadine dan aku kepala keluarga nya kalau dia menghilang, aku yang bertanggung jawab."
Nadine terkekeh kecil.
"Tanggung jawab sebagai kepala keluarga?" matanya menajam, sinis. "Atau karena dia adalah selingkuhanmu selama ini?"
Damar tercekat.
Dadanya mencelos.
Ia menatap Nadine, wajahnya memucat.
Nadine melemparkan sebuah map coklat ke atas meja. Logo rumah sakit terlihat jelas di sudut kanan atas.
"Ini, mas. Bukti bahwa anak yang dikandung Rara bukan hasil inseminasi. Tapi anak dari hubunganmu. Hubungan kotormu," kata Nadine dengan suara gemetar namun penuh amarah.
Damar menatap map itu. Ia tahu, jika membukanya, tak ada jalan mundur.
"Oke," katanya pelan, menatap Nadine lurus-lurus. "Kalau kamu minta kejujuran, ya. Anak itu... memang anakku. Anak kandungku. Bukan dari alat buatan sialan yang kamu paksa aku setujui."
Nadine menahan napas.
Matanya berkaca-kaca. Tapi ia tertawa.
Tertawa lirih yang getir.
Penuh luka.
"Sejak kapan?" tanyanya pelan, tapi nadanya tajam bagai belati. "Sejak kapan kamu punya hubungan sama anak sialan yang kubawa ke rumah kita, mas? Jawab aku!"
Ia berdiri, menghampiri Damar, lalu menarik kerah bajunya dengan tangan gemetar.
"Sejak kapan kamu tidur dengan dia, hah?!"
Damar tak menjawab. Hanya menatap wanita di depannya yang kini tengah ambruk oleh pengkhianatan.
Akhirnya ia berkata pelan.
"Aku akan menceraikanmu, Nadine. Kita akhiri semuanya sampai di sini. Aku akan ajukan gugatan."
Damar membalik badan, siap pergi. Tapi belum sampai tangan menyentuh gagang pintu, suara Nadine melengking dari belakang.
"Mas! Kamu gak akan pernah bisa ceraikan aku!"
Damar berhenti. Perlahan menolehkan kepala. Alisnya terangkat.
Nadine berjalan mendekat dengan senyum menantang.
"Kamu lupa, mas? Kamu tanda tangan hitam di atas putih di depan kakekku. Kamu berjanji, selamanya bersama, apapun yang terjadi. Kamu pikir semudah itu keluar dari hidupku?"
Suasana semakin menegang.
"Kamu pikir kamu bisa lepas begitu saja setelah menghancurkan rumah tangga ini? Silakan coba. Tapi siap-siap kehilangan segalanya."
Damar menyipitkan mata.
"Karena kamu berselingkuh," lanjut Nadine, "seluruh hartamu akan jadi milikku. Itu isi perjanjian kita. Dan jangan lupa, kalau kamu benar-benar berani cerai, kamu siap berhadapan dengan keluargaku."
Damar mendekat. Tatapan mereka bertaut dalam tensi yang memanas.
"Kita lihat saja nanti," ucap Damar dingin. "Siapa yang akan menyesal di pengadilan."
Lalu ia melangkah pergi, meninggalkan ruangan yang kini terasa dingin seperti ruang interogasi. Nadine berdiri membeku, wajahnya pias. Kata-kata terakhir Damar menusuknya. Bukan hanya karena ancaman,Tapi karena tatapan mata itu...
Tatapan bahwa Damar tahu sesuatu. Sesuatu yang Nadine harap tak pernah terbongkar.