Angelo, yang selalu menyangkal kehamilannya, melarikan diri setelah mengetahui bahwa ia mengandung anak Maximilliam, hasil hubungan semalam mereka. Ia mencari tempat persembunyian terpencil, berharap dapat menghilang dan menghindari konsekuensi dari tindakannya. Kehamilan yang tak diinginkan ini menjadi titik balik dalam hidupnya, memaksanya untuk menghadapi kenyataan pahit dan melarikan diri dari masa lalunya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fitri Novianti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Poor Maximilliam.
Wajah Maximillian pucat pasi, langkahnya gontai. Cyne, George, dan Bibi Emma saling bertukar pandang, khawatir. Pria itu berjalan tertatih, tubuhnya seakan tak mampu menopang beban, hingga akhirnya ia bersandar lemas pada Angelo, tubuhnya yang tinggi besar tampak rapuh. Keringat dingin membasahi dahinya, bibirnya pucat, dan napasnya tersengal-sengal.
"Max, kau sakit?" tanya Bibi Emma, suaranya dipenuhi kekhawatiran. Ia melihat Maximillian seperti orang yang mengalami dehidrasi hebat.
Maximillian menggeleng lemah, memeluk Angelo erat dan menghirup aroma lembut di leher wanita itu dengan rakus, seakan menghirup udara segar setelah sekian lama berada di ruang hampa. Angelo hanya mendengus kecil, menatap Maximillian dengan ekspresi campuran geli dan kasihan. Beginilah jadinya jika ia meninggalkan Maximillian sendirian, pikirnya. Sungguh aneh, dan memang sangat aneh.
"Max terkena sindrom aneh selama kehamilan ku," jelas Angelo, suaranya lembut namun tegas. Ia mengusap lembut rambut Maximillian yang sedikit berantakan.
"Kepalaku benar-benar berputar," gumam Maximillian, suaranya sedikit bergetar, terdengar seperti rengekan manja yang membuat Cyne dan yang lainnya terkejut. Ia meringkuk di pelukan Angelo, seperti anak kecil yang membutuhkan perlindungan.
Cyne dan Janet saling bertukar pandang, terkekeh pelan mendengar rengekan manja Maximillian. "Mengapa George tidak seperti Max?" bisik Cyne, suaranya cukup keras untuk didengar Angel.
Angelo mendengus, matanya melotot jenaka ke arah Cyne. "Beruntunglah kau," katanya, nada sedikit cemburu tersirat dalam suaranya.
Bibi Emma, yang tampak mengantuk setelah seharian menemani keponakannya menonton film, bangkit dari kursinya. "Sudahlah, Angelo, bawalah Max ke kamar untuk beristirahat. Kalian semua juga, pergilah ke kamar dan istirahat," ujarnya, suaranya lembut namun tegas. Ia menguap kecil, matanya sayu karena kelelahan.
"Janet, menginaplah di sini. Hari sudah semakin larut, dan Jacob tampak cukup lelah untuk mengantarmu pulang," ujar Cyne.
Janet mengangguk pelan, "Baiklah, aku akan tidur bersama Angelo," jawabnya. Kalimat itu langsung membuat Maximillian menatap tajam ke arah adiknya, tatapannya tajam seperti elang yang mengintai mangsanya.
"Lalu apa gunanya Jacob?!" Kesal Maximillian, suaranya terdengar dingin di ruangan mini bioskop yang tiba-tiba terasa sempit.
Pria itu, yang energinya telah pulih, menarik Angelo keluar dari ruangan mungil itu menuju kamar. Dia yang membutuhkan Angelo, mengapa Janet yang ingin ikut campur? Pikirannya dipenuhi kecemburuan yang tak terkendali.
Jacob menggeleng melihat reaksi Maximillian yang begitu sensitif terhadap adiknya. Ia merangkul Janet, bisikannya terdengar lembut namun menggoda di telinga wanita itu. "Mengapa tidak mau tidur denganku? Apa kau takut besok tak bisa berjalan?"
Pipi Janet langsung memerah, sentuhan Jacob terasa seperti aliran listrik yang membuatnya tersentak. Ia memukul pelan bahu Jacob, "Berhenti menggoda aku, aku sudah mengantuk dan ingin tidur," ujarnya, suaranya sedikit terbata-bata karena malu.
Keduanya berlalu menuju kamar mereka, meninggalkan Cyne dan George yang hanya menggeleng kecil menyaksikan interaksi Jacob dan Janet. "Andai kedekatan kita dulu seperti mereka, mungkin akan lebih menyenangkan," gumam Cyne, suaranya sedikit sendu. Ia meninggalkan George yang termenung, ucapan istrinya tadi bergema di telinganya, mengingatkannya pada kejadian beberapa minggu lalu.
Di kamar Angelo yang luas dan nyaman, Maximilliam terlihat benar-benar lemah. Wajahnya pucat, keringat dingin masih membasahi dahinya. Ia memeluk Angelo erat, tak berniat melepaskannya, bahkan untuk sekedar membasuh wajahnya yang lengket. "Aku ingin berganti pakaian dulu, bisa kau lepaskan aku? Kenapa kau semakin menempel saja?" kesal Angelo, suaranya terdengar sedikit tajam namun diiringi kelembutan. Ia berjalan gontai menuju walk-in closet yang mewah.
Maximillian terkekeh pelan, suaranya serak. "Jangan salahkan aku, ini semua keinginan anak kita. Mungkin dia menginginkan kita selalu bersama," katanya, suaranya terdengar manja.
Angelo hanya mendengus dari dalam walk-in closet, suaranya nyaris tak terdengar. "Heh… benar-benar cari kesempatan," gumamnya.
Angelo kembali ke kasur, mengenakan piyama sutra yang nyaman dan longgar, menghindari tekanan pada perutnya yang membuncit. "Tidurlah, bukankah kau bilang pusing?" tanya Angelo lembut, melihat Maximilliam masih terjaga, matanya sayu karena kelelahan.
Maximillian menepuk-nepuk kasur di sampingnya, mengajak Angelo untuk lebih dekat. "Jangan terlalu sering begadang, itu tidak baik untuk anak kita," ujarnya, suaranya lembut saat ia melihat Angelo hendak membuka sebuah majalah mode.
Angelo menyimpan kembali majalah itu, kemudian merebahkan diri membelakangi Maximilliam. Melihat itu, Maximillian segera mendekat, menarik Angelo ke dalam pelukannya yang hangat. "Apakah kau marah, sayang?" tanya Maximilliam, suaranya lembut dan penuh kasih sayang, sentuhannya penuh kelembutan.
Angelo tak menjawab, matanya terpejam erat, menghindari kontak mata dan percakapan dengan Maximilliam. Namun, sentuhan Maximilliam yang tak terduga membuatnya sedikit bergidik. Pria itu kembali berulah, menghirup aroma lembut di leher Angelo dengan penuh gai.rah, napasnya hangat membasahi kulit wanita itu.
"Max, tidurlah," hardik Angelo, suaranya sedikit meninggi karena jengkel. Maximilliam masih saja terus melakukan hal itu.
"Aku merindukanmu, dan bayi kita," bisik Maximilliam, suaranya serak, bukan karena sakit, tetapi karena has.rat yang membara. Sentuhannya semakin berani, membuat Angelo sedikit meronta.
"Max…" Angelo kembali bersuara, suaranya tertahan karena Maximilliam semakin menjadi-jadi.
"Sayang, aku menginginkannya," bisik Maximilliam, suaranya berat dan penuh gai.rah.
…
Beberapa bulan berlalu. Kehamilan Angelo memasuki trimester akhir. Perutnya membuncit besar, menonjolkan bentuk tubuhnya yang semakin membulat. Namun, ia masih belum mengetahui jenis kelamin dan jumlah bayinya. Seluruh keluarga kompak merahasiakannya, menciptakan kejutan untuk Angelo. Cyne pun demikian, menunggu waktu kelahirannya, namun masalah baru kembali mengusik rumah tangganya dengan George.
Angelo dan Maximilliam tengah berbelanja di sebuah mal mewah bersama Jacob dan Janet. Mereka memilih perlengkapan bayi, Angelo merasa perlengkapan yang telah dibelinya beberapa waktu lalu masih kurang.
"Jika kau lelah, kita beristirahat dulu," ujar Jacob, perhatiannya tertuju pada Angelo yang tampak kesulitan berjalan karena perutnya yang besar. Ia menawarkan bantuan dengan lembut.
"Tidak perlu, aku ingin buru-buru memilih perlengkapan bayi," jawab Angelo, suaranya sedikit terengah-engah.
Saat mereka menaiki eskalator menuju lantai atas, pandangan tajam Angelo tak sengaja menangkap sesuatu yang membuatnya naik pitam. Amarah membuncah di dadanya. "Bajingan itu benar-benar tidak menghiraukan ucapanku?!" gumam Angelo, tangannya mengepal erat, urat-urat di tangannya menegang. Kemarahannya disembunyikan dengan sempurna, Maximillian dan yang lainnya tak menyadari aura membunuh yang terpancar darinya.
Sesampainya di lantai atas, Angelo tiba-tiba melesat cepat, rasa lelahnya seolah lenyap ditelan amarah. Langkahnya pasti dan cepat, tubuhnya yang membuncit seakan tak menjadi beban. Ia memasuki sebuah restoran cepat saji, sorot matanya tajam dan penuh aura membunuh. Maximilliam, Jacob, dan Janet tercengang melihat kecepatan Angelo yang sudah jauh di depan. Ketiga orang itu bergegas mengejarnya.
Angelo langsung menuju sebuah meja yang dekat dengan pintu masuk. Dengan cepat dan tepat, ia meraih vas bunga dari atas meja, kemudian melayangkannya ke arah kepala George yang tengah asyik bermesraan dengan seorang wanita. Wanita itu sangat dikenali Angelo, seorang wanita yang pernah dekat dengan George. George bahkan menggenggam tangan wanita itu dengan penuh kelembutan, tatapannya penuh gai.rah.
"Akh!!"
Sebuah teriakan nyaring memecah kesunyian restoran. Para pengunjung restoran sontak menoleh, terkejut melihat vas bunga yang pecah di kepala George. Pecahan vas berserakan di lantai, menciptakan pemandangan yang kacau.
"Bajingan, sialan!!" teriakan Angelo menggema di restoran, suaranya penuh amarah dan kebencian. Wajahnya memerah, napasnya memburu. Kemarahannya tak terbendung.
Wanita yang bersama George tampak terkejut dan ketakutan. Ia berusaha melarikan diri, namun Angelo lebih cepat. Dengan cekatan, Angelo menjambak rambut wanita itu, menariknya hingga wanita itu tersungkur. "Kau mau kabur ke mana, pelacur?!" teriak Angelo, suaranya tajam dan mengancam. Mata Angelo menyala-nyala, menunjukkan amarah yang tak terkendali.
pdhl aku ikutn smngt jmbak tu pelakor,kn pgn ikutn jg sm angelo.....
ayo dong double up.....🤗🤗🤗
Akhrnya...ngekor aja kmna induknya prgi.....
tp yg pst saat ini mreka sdh bhgia....
lgian,brsa bgt jd krban pdhl dia yg jd trsngka....yg slingkuh kn dia,tp janet yg d tduh....dsr gila....
Angelo mau jg nkah sm max.....aws aja kl max ky sng mntan yg bjingn....
Laahhh.....janet mlh ktmu mntan...bkln gelut ga y????🤔🤔🤔
tmbh lg trauma msa lalu,pst bkin dia mkin down....mga aja max bsa bkin dia lbh smngt.....
lgian,udh ada ank sndri knp mlah adopsi????sukur2 kl ga iri pas udh dwsa,kl iri kn mlah bhya....