Ashilla, seorang buruh pabrik, terpaksa menjadi tulang punggung keluarga demi menutupi utang judi ayahnya. Di balik penampilannya yang tangguh, ia menyimpan luka fisik dan batin akibat kekerasan di rumah. Setiap hari ia berjuang menembus shift pagi dan malam, panas maupun hujan, hanya untuk melihat gajinya habis tak bersisa.
Di tengah kelelahan, Ashilla menemukan sandaran pada Rifal, rekan kerjanya yang peduli. Namun, ia juga mencari pelarian di sebuah gudang kosong untuk merokok dan menyendiri—hal yang memicu konflik tajam dengan Reyhan, kakak laki-lakinya yang sudah mapan namun lepas tangan dari masalah keluarga.
Kisah ini mengikuti perjuangan Ashilla menentukan batas antara bakti dan harga diri. Ia harus memilih: terus menjadi korban demi kebahagiaan ibunya, atau berhenti menjadi "mesin uang" dan mencari kebebasannya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon MissSHalalalal, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 34 : RAHASIA
Aku mengusap air mata dengan kasar, berusaha meredam isak tangis yang bisa saja meledak kapan saja. Aku harus kuat. Setidaknya untuk saat ini. Dengan tangan yang masih bergetar, aku membungkus kembali alat sialan itu dengan tisu berkali-kali hingga tebal, lalu menyembunyikannya di dasar tempat sampah, tertutup tumpukan kapas bekas.
Aku membuka pintu kamar mandi dengan perlahan. Di sana, Bi Sumi berdiri mematung dengan wajah penuh kecemasan. Begitu melihat mataku yang merah dan sembab, dia langsung tahu jawabannya tanpa perlu aku berucap sepatah kata pun.
"Non..." Bi Sumi menutup mulutnya dengan telapak tangan, air mata mulai menggenang di pelupuk matanya yang mulai senja.
Aku mendekat, mencengkeram lengan Bi Sumi dengan erat, hampir mencengkeramnya terlalu kuat. "Bi, dengarkan aku," bisikku dengan nada yang sangat tajam dan penuh penekanan. "Bi Sumi sayang padaku, kan?"
Bi Sumi mengangguk cepat. "Tentu, Non. Sudah saya anggap anak sendiri."
"Kalau begitu, tolong... aku mohon dengan sangat. Jangan katakan ini pada siapa pun. Terutama pada Erlangga. Jangan sampai dia tahu, Bi. Belum saatnya," pintaku dengan suara yang bergetar hebat.
"Tapi Non, Tuan Erlangga harus tahu. Ini darah dagingnya. Mungkin... mungkin dengan adanya bayi ini, sikap Tuan akan melunak kepada Non. Mungkin Tuan akan berubah," ujar Bi Sumi, mencoba mencari secercah harapan di tengah kegelapan ini.
Aku tertawa getir, sebuah tawa yang terdengar menyakitkan di telingaku sendiri. "Berubah? Tidak, Bi. Dia tidak akan berubah. Dia hanya akan menjadikan anak ini sebagai alasan untuk mengikatku lebih kuat lagi di rumah neraka ini. Dia akan memperlakukanku seperti inkubator untuk 'pengganti' Sarah yang dia inginkan. Aku tidak mau anak ini lahir hanya untuk menjadi alat obsesinya."
Bi Sumi terdiam, bahunya merosot. Dia tahu benar bagaimana temperamen tuannya. Dia tahu betapa gelapnya bayang-bayang Sarah yang masih menghantui setiap sudut rumah ini.
"Janji padaku, Bi. Demi keselamatanku, dan demi bayi ini... Rahasiakan ini dari Erlangga. Sampai aku menemukan jalan keluar," desakku lagi.
Bi Sumi tampak bimbang sejenak, menatap ke arah pintu kamar yang tertutup rapat, seolah takut Erlangga tiba-tiba muncul di sana. Akhirnya, dia menghela napas panjang dan mengangguk pelan.
"Baik, Non. Saya janji. Rahasia ini akan saya bawa sampai mati jika perlu. Tapi Non harus janji untuk menjaga kesehatan. Non harus makan, demi si kecil."
Aku hanya terdiam, menatap perutku yang masih datar dengan perasaan campur aduk. Rasa mual itu kembali datang, tapi kali ini bukan karena aroma makanan, melainkan karena rasa takut yang luar biasa akan masa depan yang kini terasa semakin menyesakkan.
Suara deru mobil terdengar dari halaman depan. Jantungku mencelos. Itu suara mobil Erlangga. Dia pulang lebih awal dari yang diperkirakan.
"Non, cepat hapus air matanya! Tuan pulang!" Bi Sumi panik, segera merapikan tempat tidur dan mengambil nampan bubur yang tadi belum sempat kusentuh.
Aku segera membasuh muka, mencoba memasang wajah sedatar mungkin, menyembunyikan badai yang sedang berkecamuk di dalam rahim dan jiwaku.
Suara deru mobil yang berhenti di depan rumah membuat jantungku hampir melompat keluar. Aku dan Bi Sumi saling berpandangan dengan tegang. Namun, bukan langkah berat Erlangga yang terdengar, melainkan suara lembut yang sangat kukenal.
"Shilla? Sayang, kamu di dalam?"
***
BERSAMBUNG...
wah ga mati ini cuma pergi ma lelaki lain ,,