Mampukah janda muda menahan diri saat godaan datang dari pria yang paling tabu? Setelah kepergian suaminya, Ayana (26) berjuang membesarkan anaknya sendirian. Takdir membawanya bekerja di perusahaan milik keluarga suaminya. Di sana, pesona Arfan (38), paman direktur yang berkarisma, mulai menggoyahkan hatinya. Arfan, duda mapan dengan masa lalu kelam, melihat Ayana bukan hanya sebagai menantu mendiang kakaknya, melainkan wanita memikat yang membangkitkan gairah terpendam. Di antara tatapan curiga dan bisikan sumbang keluarga, mereka terjerat dalam tarik-ulur cinta terlarang. Bagaimana Ayana akan memilih antara kesetiaan pada masa lalu dan gairah yang tak terbendung, di tengah tuntutan etika yang menguji batas?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bangjoe, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 32: Bayangan Masa Lalu Berbicara
Udara dingin menusuk tulang, menusuk hingga ke inti ketakutan yang merayap di setiap serat tubuh Ayana. Matanya mengerjap, mencoba menembus kegelapan pekat yang membungkusnya. Samar-samar ia merasakan punggungnya menempel pada permukaan kasar, lengannya terikat erat, dan pergelangan kakinya terasa perih. Jeritan nama Arfan yang sempat tertahan di tenggorokannya kini hanya menjadi desahan lemah.
Kepalanya berdenyut hebat. Kenangan terakhirnya tentang Arfan, yang tergeletak tak berdaya di tanah, kembali terlintas. Ia mencoba menggerakkan tangannya, namun ikatan tali yang kasar dan rapat itu hanya semakin menyiksa kulitnya. Panik mulai menyergap. Ia tidak tahu di mana ia berada, atau apa yang akan terjadi padanya.
Setitik cahaya redup menyala di sudut ruangan. Sorotnya lambat laun menerangi sebuah ruangan yang tampak seperti gudang tua, lembap, dan berbau apak. Debu tebal menempel di mana-mana, dan jendela-jendela kecil yang kotor memperlihatkan kegelapan malam di luar. Jantung Ayana berdebar kencang, memukul-mukul rusuknya seolah ingin meloncat keluar.
Suara langkah kaki mendekat, lambat dan penuh perhitungan, memecah keheningan yang mencekam. Ayana menahan napas, menatap nanar ke arah sumber suara. Sosok yang ia harapkan bukan Rio, muncul dari bayangan. Rio. Wajahnya tenang, bahkan tersenyum tipis, tapi matanya memancarkan sesuatu yang dingin, jauh lebih menyeramkan dari kemarahan.
“Sudah bangun, nona manis?” sapanya, suaranya pelan namun terdengar jelas di keheningan. Ia berhenti beberapa langkah di depannya, menatap Ayana dengan tatapan menilai.
Ayana bergidik, berusaha menyembunyikan rasa takutnya. “Di mana aku? Apa yang kau inginkan?” tanyanya, suaranya serak dan gemetar. Ia mencoba menyembunyikan kepanikan yang menyesakkan dadanya, meski usahanya sia-sia.
Rio terkekeh. “Di tempat yang aman, setidaknya untukku. Dan apa yang kuinginkan? Segalanya, Ayana. Segalanya yang sudah lama direbut dari kami.”
“Kami? Siapa ‘kami’?” Ayana mengerutkan kening. Pikirannya kalut, berusaha mencerna maksud pria itu. “Apa yang sudah direbut?”
Rio mendekat, berjongkok di hadapan Ayana. Tangannya terulur, menyentuh dagu Ayana dengan ujung jarinya yang dingin. Ayana refleks menarik kepalanya, jijik dengan sentuhannya. Rio hanya tersenyum tipis, seolah terhibur dengan reaksinya.
“Keluarga Wijaya,” kata Rio, menyebut nama keluarga mendiang suami Ayana, juga keluarga Arfan. “Mereka punya segalanya, tapi mereka merebut lebih banyak lagi. Termasuk kebahagiaan ibuku, dan hakku.”
Napas Ayana tercekat. “Apa maksudmu?”
Mata Rio menyipit. “Ayana, Ayana. Kau pikir Arfan Wijaya adalah malaikat tak bersayap? Atau keluarganya sebersih yang terlihat dari luarnya? Tidak. Mereka menyembunyikan banyak borok di bawah karpet mewah mereka.”
Ayana menelan ludah. “Aku tidak mengerti.”
“Tentu saja kau tidak mengerti. Kau hanya korban lain dari pesona Arfan. Atau lebih tepatnya, kau adalah alat yang sempurna untuk membalas dendam,” Rio menatapnya tajam. “Aku adalah Rio Wiratama. Atau yang seharusnya menjadi Rio Wijaya.”
Pernyataan itu bagai tamparan keras di wajah Ayana. Rio Wiratama… Rio Wijaya? Otaknya berputar, mencoba menemukan korelasi.
“Ibuku, Ratna, adalah sekretaris pribadi ayah Arfan, Pak Hartono Wijaya, jauh sebelum pernikahan Pak Hartono dengan ibu kandung Arfan. Ada kisah cinta terlarang di sana, Ayana. Cinta yang menghasilkan aku,” jelas Rio, nada suaranya berubah pahit. “Tapi tentu saja, Pak Hartono memilih keluarga, memilih nama baik. Ibuku disingkirkan, aku dilahirkan dalam aib, tanpa pengakuan, tanpa hak.”
Ayana menatapnya tak percaya. Rahasia ini… begitu kelam dan mengejutkan. Paman Arfan adalah anak tidak sah dari ayah Arfan?
“Arfan tahu tentang ini?” Ayana bertanya, suaranya hampir tak terdengar.
Rio tertawa sinis. “Tentu saja ia tahu! Ia tahu segalanya. Ia melihat ibuku hancur, ia tahu penderitaanku, tapi apa yang dia lakukan? Dia diam. Dia menikmati kemewahan yang bukan sepenuhnya haknya, sementara aku hidup dalam bayang-bayang, penuh kebencian.”
Kebencian di mata Rio terasa begitu nyata, menusuk hingga ke jantung Ayana. Ini bukan sekadar dendam biasa. Ini adalah luka lama yang membusuk, menunggu saat untuk terbuka.
“Sekarang, giliranmu untuk membantuku,” kata Rio, menjentikkan jarinya. Seorang pria berbadan besar masuk, membawa sebuah tablet. “Lihat ini, Ayana. Kekasihmu, Paman Direkturmu, tidak seberuntung dirimu.”
Pria itu mendekatkan tablet ke wajah Ayana. Di layar, tampak Arfan. Ia terbaring di lantai yang kotor, wajahnya pucat dan penuh luka lebam. Ikatan tali mengikat kedua tangan dan kakinya. Matanya tertutup, napasnya teratur namun terlihat dangkal. Ia tampak tak sadarkan diri, atau setidaknya sangat lemah.
“Arfan!” jerit Ayana, air matanya langsung membanjiri pipi. Ketakutannya untuk Arfan memuncak. “Apa yang kau lakukan padanya? Lepaskan dia!”
“Tenang, Ayana. Dia hanya tidur. Sedikit ‘kejutan’ untuk membuatnya lebih tenang,” Rio tersenyum kejam. “Dia akan baik-baik saja, asalkan kau mau bekerja sama.”
“Apa yang kau inginkan dariku?” tanya Ayana, suaranya bergetar menahan tangis dan amarah.
“Aku ingin hakku atas keluarga Wijaya. Atas perusahaan itu,” Rio menjelaskan, kembali berjongkok. “Aku punya bukti sah, surat-surat dari ibuku, yang membuktikan aku adalah putra kandung Pak Hartono. Tapi itu belum cukup kuat untuk menggulingkan Arfan begitu saja tanpa menimbulkan keributan besar yang bisa diatasi mereka.”
“Jadi… kau ingin aku melakukan apa?”
“Aku ingin kau menjadi mata dan telingaku di dalam. Kau sudah begitu dekat dengan Arfan. Kau tahu rahasia-rahasianya, kelemahannya. Aku ingin kau mencari dokumen tertentu, data-data keuangan yang tersembunyi, yang bisa menunjukkan penyelewengan di balik manajemennya.”
Ayana menggelengkan kepala. “Aku tidak bisa melakukan itu!”
“Oh, kau bisa, Ayana,” suara Rio ngegas. “Ingatlah ini. Nyawa Arfan ada di tanganku. Dan bukan hanya itu. Anakmu… dia juga hidup di bawah naungan keluarga Wijaya, bukan? Kau pikir apa yang akan terjadi padanya jika reputasi keluarganya hancur karena skandal ini?”
Anaknya. Rio berhasil menemukan titik lemahnya. Ancaman itu terasa lebih mengerikan daripada apapun. Ayana terdiam, menatap Rio dengan tatapan kosong.
“Sekarang, pilihan ada di tanganmu. Kau bantu aku mengambil kembali hakku, dan Arfan akan selamat, anakmu tidak akan tersentuh. Atau kau menolak, dan kau akan melihat Arfan hancur, dan masa depan anakmu… akan kupertaruhkan,” Rio berdiri, menatap Ayana dari atas.
“Pikirkan baik-baik, Ayana. Aku tahu kau tidak sebodoh itu untuk mengambil keputusan yang salah.” Rio berjalan menuju pintu, meninggalkan Ayana terikat dalam kegelapan dan keputusasaan yang semakin pekat.
Tatapannya kembali pada tablet, pada wajah Arfan yang tak berdaya. Air mata Ayana kembali menetes, membasahi pipinya yang dingin. Ia terjebak. Antara menyelamatkan Arfan dengan mengkhianatinya, atau menyaksikan kehancuran pria yang ia cintai dan risiko masa depan anaknya. Dosa mereka, ternyata memiliki harga yang jauh lebih mahal dari yang ia bayangkan.
Benar2 membingungkan & bikin gw jd malas utk membaca novel ini lg
Jgn membingungkan pembaca yg berminat utk membaca novel ini