Aksa bertemu dengan seorang gadis pemilik toko kue yang perlahan memikat perhatiannya. Namun ketertarikan itu bukanlah karena sosok gadis tersebut sepenuhnya, melainkan karena wajahnya yang sangat mirip dengan mendiang sang istri.
Terjebak dalam bayang-bayang masa lalu, Aksa mulai mendekatinya dengan berbagai cara — bahkan tak segan mengambil jalan licik — demi menjadikan gadis itu miliknya. Obsesi yang awalnya lahir dari kerinduan perlahan berubah menjadi hasrat posesif yang menguasai akal sehatnya.
Tanpa disadari, sang gadis pun terseret semakin dalam ke dalam cengkeraman pria dominan itu, masuk ke sebuah lembah gelap yang dipenuhi keinginan, manipulasi, dan ilusi cinta.
akankah Aksa bisa mencintai gadis itu sepenuhnya? apakah gadis itu mampu membuat Aksa jatuh cinta pada dirinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon LebahMaduManis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34
Susana di apartemen Aksa pagi itu hening, hanya terdengar suara jarum jam yang berdetak, berkali-kali bel berbunyi, namun tak ada tanggapan dari sang pemilik apartemen. Hingga Erina menyadari bangun tidurnya terlampau siang, matahri sudah memancarkan sinarnya, ia segera keluar dari kamarnya dan menatap kesetiap sudut ruangan
“Ah … kenapa harus kesiangan" Erina mengacak pelan rambutnya "sepertinya Pak Aksa sudah berangkat ke kantor” ucap Erina dalam batinnya. Ia pun segera melangkahkan kaki ke pantry guna mencari bahan yang bisa ia buat untuk sarapan pagi yang menjelang siang.
Dalam keheningan itu, dari kejauhan terdengar samar-samar suara telpon berdering, indra pendengarannya terus menelusuri sumber suara, melangkahkan kakinya pelan, suara itu bersumber dari kamar Aksa “apa pak Aksa belum berangkat ke kantor?“ gumam Erina ia tepat berada di depan pintu kamar Aksa.
Erina menimbang, untuk memberanikan diri mengetuk pintu tersebut, namun belum sempat tangannya mengetuk pintu, sesorang keluar dari balik pintu kamar, membuat Erina terperanjat hingga memundurkan sedikit langkahnya.
“Mas, baru bangun? Saya pikir udah berangkat ke kantor”
Aksa keluar dari kamarnya dengan mata yang masih terkantuk-kantuk hingga tak begitu menghiraukan Erina, ia melenggang melewati Erina tanpa menjawab pertanyaannya menuju ke pantry untuk mengambil segelas air minum.
“Nona apa tidurmu nyenyak?“ Tanya Aksa sambil meneguk segelas air putih kemudian duduk di minibar dapurnya
Erina menggeleng lembut kepalanya dengan senyum tipis dibibir, ia melangkah mendekati Aksa.
“Kenapa?“ Tanya Aksa penasaran
“Saya memikirkan jawab untuk hari ini” ucap singkat Erina, ia meraih roti di meja untuk ia oleskan selai.
“Lalu apa jawabanmu Nona?“ Aksa yang tadinya masih terkantuk kini matanya seakan menjadi segar, kantuk itu seketika menghilang, ia baru ingat semalam ia meminta Erina menjawab ajakannya setelah bangun tidur. Namun sepertinya keduanya sama-sama tak nyenyak dalam tidurnya, mereka berdua sama-sama terbangun saat matahari sudah terbit dan memanas. Erina yang memikirkan jawaban apa ia akan kembali menolak, atau perlukah ia menjawab untuk bersedia menjadi istri seorang pengusaha? Semalaman Erina menimbang itu semua
“Sarapan saja dulu Mas, mau aku buatkan kopi?“ Tanya Erina
“Tentu saja” ia mengamati Erina yang sedang berkutat dengan cofee maker, menyiapkan secangkir kopi hangat untuknya.
Erina melihat apa yang Aksa lakukan, ia tahu aksa sedang memperhatikannya sangat lekat, Erina mencuri pandang melalu ekor matanya, berusaha untuk menghilangkan rasa gerogi “kenapa kali ini aku harus gerogi, gak biasanya” ucap Erina dalam batin.
Mungkinkah perasaan untuk Aksa kini mulai muncul, setelah ia menimbang semalaman ajakan Aksa.
Erina mendorong lembut secangkir kopi juga meletakan toast berisi selai tiramisu yang menjadi favorit Aksa “Mas, itu kopi dan sarapannya”
Tangan Aksa menggapai kopi yang Erina berikan, namun pandangannya tetap menatap lekat Erina, seakan terhipnotis oleh keanggunannya, Aksa tak mengalihkan sedikitpun, bahkan hingga Aksa meneguk kopinya matanya tetap tertuju pada si calon istri.
“Mas” tegur Erina, ia melambai tepat di depan kedua matanya guna agar Aksa mengalihkan pandangannya.
Aksa mengerjap, dan tertunduk malu melipat bibirnya. “Nona, nanti kita akan makan siang bersama papi dan istrinya” Aksa menyimpan kembali cangkir kopinya di atas meja
“Aku takut Mas”
Aksa mengangkat sebelah alisnya “Apa yang kamu takutkan?“
“Bagaimana kalau nanti saya dimaki-maki ibu sambungmu, lalu saya langsung diusir dari sana karena keluarga Mas tidak merestui kita” cetus Erina, ia menjelaskan dengan bibir yang sedikit meruncing
Aksa sedikit terkikih dengan tingkah calon istrinya “Saya tidak meminta restu mereka, saya hanya ingin mengenalkan keluarga saya padamu, Nona” tegas Aksa, meyakinkan Erina
“ucapanmu gak kebalik Mas? Harusnya saya yang di kenalkan pada keluarga Mas, bukan keluarga Mas yang di kenalkan ke saya.“
“Mereka sudah mengenalmu, bahkan sejak saya sering mondar mandir mendatangi tokomu.“
Erina tercengang dengan membulatkan kedua matanya, “bagaimana bisa mereka sudah mengenalku?“ Ia membatin
“Kok bisa Mas?, jadi selama ini banyak yang memata-mataiku? Bukan hanya orang-orang suruhan Mas saja?“
“Ya, bisa dibilang begitu, sudah lah tidak usah dipikirkan, selama masih ada saya, kamu aman” sekejap sarapan yang Erina buatkan untuknya telah habis tak tersisa.
...***...
Berhelai-helai pakaian mewah nan anggun tergantung rapi di birdcage yang dibawakan oleh seorang designer ternama langganan keluarga besar Aksa, semua pakiannya mewah itu dibawakan khusus untuk Erina yang akan bertemu dengan orang tua Aksa.
Tidak hanya designer pakaian, Aksa pun memanggil seorang MUA dan hairstylist kondang untuk mempercantik si calon istri saat acara makan siang keluarga nanti.
Erina menautkan kedua alisnya “Mas?“
“hmm” Aksa masih berkutat pada ponselnya, ia tak melirik arah sumber suara yang memanggilnya. Aksa kembali mengantongi ponselnya di saku celana kainnya yang memilik bahan mengkilap jika terkena cahaya, Aksa telah selesai merapikan pakaiannya, dengan memakai kemeja berwarna maroon, lengkap dengan Jasnya yang berwarna navy senada dengan dasi yang ia gunakan.
Erina pun telah selesai memakai gaun dan riasan di wajahnya, juga dengan hairstyle yang tak biasa, ia memakai gaya rambut soft curls menambah kesan elegan pada dirinya.
“So look you beautifull girls” ucap sang designer saat melihat Erina, gaun merah maroon dengan model A-Line ini sangat cocok di tubuh Erina yang mungil, membuatnya terlihat lebih jenjang.
Mata Aksa terbelalak hingga menggigit bibir bagian bawahnya setelah mendengar ucapan designernya matanya berpaling menatap Erina. Benar, hari itu Erina terlihat sangat berbeda, ia sangat memukau pahatan kecantikan di wajahnya nyaris sempurna. Dengan segera Aksa mendekatinya dan mengulurkan tangan untuk mengajaknya berjalan beriringan sesuai arahan dari si designer.
“Stop” sentak designernya, membuat setiap pasang mata yang berada di ruang tengah apartemen Aksa tertuju padanya.
“Why?“ Tanya seorang hairstylist dengan mengangkat bahu dan tangannya.
“this is so perfect, you guys are the perfect couple, harus ku abadikan dulu” ucap penuh semangat dan heboh si designer.
Aksa dan beberapa orang disana terkikih melihat reaksi designernya, Aksa dan Erina berdiri berdampingan dengan satu tangan Aksa merogoh saku celananya, sedangkan tangan lainnya di rangkul Erina.
Erina mendongak, karena tinggi badan mereka yang terlampau ketimpangan, ia memandang Aksa sangat lekat, hatinya merasakan kebahagiaan atas rasa cinta yang sepertinya mulai tumbuh di dasar hatinya. Mata mereka beradu pandang sepersekian detik, saling menatap satu sama lain, keduanya terdiam hanya saling melempar senyum tipis lalu memalingkan pandangan pada orang-orang di sekitarnya.
Sepertinya mereka saat ini sedang berada dalam mode salting, terlihat mereka saling mencuri pandang dalam setiap kesempatan. Bagaimana tidak bisa mereka saling jatuh cinta, meski pada awalnya Aksa membuka hati pada Erina dengan alasan seperti melihat sosok mendiang istrinya pada paras Erina.
Namun keadaan membuat mereka harus berada di bawah atap yang sama. Perlahan, tanpa mereka sadari, kedekatan itu tumbuh dengan caranya sendiri. Erina, dengan pribadi yang lembut dan tutur kata yang selalu menenangkan, mampu mencairkan dinginnya sikap Aksa. Cara Erina tersenyum, mendengar, dan memahami—itulah yang membuat Aksa tanpa sadar selalu menoleh padanya.
Di sisi lain, Aksa hadir sebagai tempat pulang yang tak pernah meminta apa-apa, namun selalu memberikan rasa aman yang tak pernah Erina dapatkan dari siapa pun sebelumnya. Ia ada di setiap detik Erina membutuhkan sandaran, hadir tanpa banyak bicara, namun cukup untuk membuat hati siapa pun luluh.
Dan sungguh, wanita mana yang tak akan jatuh hati pada pria yang memberi rasa nyaman, perlindungan, dan perhatian yang tulus tanpa syarat?
Kedekatan mereka bukan lagi kebetulan—melainkan perasaan yang pelan-pelan menemukan rumahnya sendiri.
...***...