Pernikahan Adelia dan Reno terlihat sempurna, namun kegagalan memiliki anak menciptakan kekosongan. Adelia sibuk pada karir dan pengobatan, membuat Reno merasa terasing.
Tepat di tengah keretakan itu, datanglah Saskia, kakak kandung Adelia. Seorang wanita alim dan anti-laki-laki, ia datang menumpang untuk menenangkan diri dari trauma masa lalu.
Di bawah atap yang sama, Reno menemukan sandaran hati pada Saskia, perhatian yang tak lagi ia dapatkan dari istrinya. Hubungan ipar yang polos berubah menjadi keintiman terlarang.
Pengkhianatan yang dibungkus kesucian itu berujung pada sentuhan sensual yang sangat disembunyikan. Adelia harus menghadapi kenyataan pahit: Suaminya direbut oleh kakak kandungnya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dini Nuraenii, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14
Matahari terbit dengan cepat, tetapi kehangatannya tidak mampu mengusir hawa dingin dan kecurigaan yang menyelimuti rumah kenangan itu. Ini adalah hari kedua dan malam terakhir mereka di desa.
Adelia terbangun dengan perasaan yang aneh. Suaminya, Reno, terasa terlalu baik, terlalu perhatian, dan terlalu cemas. Sepanjang sarapan, Reno terus memuji masakan Saskia, tersenyum pada Adelia dengan senyum yang dipaksakan, dan terus melirik ke pintu kamar Saskia.
Saskia, di sisi lain, tampak seperti bayangan. Ia menghindari kontak mata dengan Reno dan Adelia, wajahnya pucat dan ia jarang bicara. Ia sibak dalam kesibukan mencuci piring.
"Mas, kamu baik-baik saja?" tanya Adelia saat mereka berdua duduk di teras. "Kamu terlihat sangat tegang. Sejak kita di sini, kamu seperti menghindari aku, dan kamu terlalu peduli pada Kakak. Apa ada masalah yang tidak kamu ceritakan padaku?"
Reno tersentak. "Tidak, Sayang! Tentu saja aku baik-baik saja. Aku hanya... cemas dengan pekerjaan. Dan aku peduli pada Kakak karena dia keluargamu. Aku ingin dia merasa nyaman, itu saja." Reno memaksakan tawa yang terdengar hampa.
Adelia merasa tidak puas. Sikap Reno terlalu berlebihan. Ia mencoba menenangkan dirinya sendiri, berpikir bahwa Reno hanya stres karena ia membatalkan jadwal bisnisnya. Namun, kegelisahan itu menempel. Ia merasa ada dinding tidak terlihat yang tiba-tiba muncul di antara dirinya dan suaminya.
Sepanjang hari itu, Adelia berusaha menghabiskan waktu bersama suaminya, berusaha memecahkan dinding itu. Ia mengajak Reno berjalan-jalan ke sawah, mengenang masa kecil mereka. Reno mengiyakan, tetapi matanya sering kali terfokus pada bayangan Saskia yang sibuk di dapur.
Saat senja menjelang, suasana menjadi semakin mencekam. Reno tahu, malam akan menjadi saksi janji terlarangnya. Ia harus memastikan tidak ada yang mengganggu.
Setelah makan malam, Reno membuatkan teh herbal untuk Adelia, yang ia klaim untuk meredakan pegal-pegal setelah perjalanan jauh.
"Ini teh relaksasi, Sayang. Minum pelan-pelan, ya. Supaya kamu tidur nyenyak," kata Reno, tangannya gemetar saat menyerahkan cangkir pada Adelia.
Adelia meminumnya tanpa curiga, berterima kasih pada suaminya yang perhatian.
Reno duduk di ruang tengah, menunggu. Ia menatap kamar Saskia yang tertutup, lalu menatap pintu kamar utama. Di dalam hatinya, ia tahu ia sedang melakukan kesalahan terbesar dalam hidupnya.
Aku adalah suami yang bejat. Aku meracuni istriku agar aku bisa tidur dengan kakak iparnya. Monolog batin Reno sangat keras. Tapi... aku mencintai Saskia. Aku ingin dia bahagia. Aku ingin menebus semua penderitaannya.
Rasa bersalah dan hasrat bercampur menjadi satu. Ia menatap jam. Pukul 00.30. Sudah waktunya.
Reno menyelinap ke kamar utama. Adelia sudah tidur pulas, napasnya teratur dan dalam. Reno mencium kening Adelia, ciuman perpisahan bagi kesetiaannya.
Ia keluar kamar, berjalan tanpa suara, dan mengetuk pelan pintu kamar Saskia.
Pintu itu langsung terbuka.
Saskia berdiri di sana, sudah mengenakan pakaian tidur sederhana, rambutnya diurai. Wajahnya pucat, tetapi matanya tidak lagi menunjukkan perlawanan. Ada ketakutan yang pasrah dan gairah yang tersembunyi.
"Masuk," bisik Saskia, suaranya nyaris hilang.
Reno masuk. Saskia menutup pintu dan menguncinya. Kali ini, ia yang mengunci pintu dosa mereka.
"Adelia?" tanya Saskia, suaranya gemetar.
"Tidur. Tidak akan bangun," jawab Reno, ia tidak berani menjelaskan apa yang ia lakukan.
Mereka berdua tidak perlu bicara lagi. Mereka tahu mengapa mereka ada di sana.
Reno melangkah mendekat. Ia memeluk Saskia. Pelukan itu adalah pelepasan semua ketegangan yang terpendam.
Tubuh Saskia, yang selama ini kaku oleh moralitas, kini melunak dan membalas pelukan itu dengan intensitas yang mengejutkan, membenamkan wajahnya di dada Reno.
Reno menciumnya, ciuman itu kini bebas dari rasa takut, didominasi oleh keinginan untuk menyatu dan melupakan dunia. Di ruangan kecil yang penuh kenangan masa kecil itu, di bawah atap yang dulunya suci, Reno dan Saskia melangkah melewati batas terakhir.
Reno menarik tubuh Saskia ke tempat tidur kecil. Sentuhan Reno kini tidak lagi berupa permintaan maaf, melainkan pengakuan penuh atas kepemilikannya dan kasih sayang terlarang. Ia membelai wajah Saskia, mengusap leher jenjang Saskia.
Dia bukan hanya istriku. Dia adalah penderitaanku yang harus aku sembuhkan. Monolog Reno. Aku ingin melindunginya, menghangatkan jiwanya.
Sentuhan Reno penuh kehati-hatian, sebuah kontras antara kelembutan dan desakan hasrat. Ia melepaskan pakaian Saskia yang sederhana, memuja setiap inci kulit yang selama ini tersembunyi dan dilarang.
Saskia memejamkan mata, membiarkan dirinya pasrah. Ia tidak lagi melihat Reno sebagai suami adiknya, melainkan sebagai cinta pertama yang datang terlambat dan satu-satunya yang pernah menghargainya.
Saskia merasakan sensasi aneh. Tubuhnya bereaksi terhadap sentuhan Reno dengan kejutan listrik. Sensasi asing ini bercampur dengan rasa bersalah yang menusuk, tetapi rasa ingin tahu dan gairah baru sebagai seorang wanita mengalahkan segalanya.
Ketika tangan Reno menyentuh punggung dan pinggangnya, Saskia menggigil. Itu adalah sensasi yang belum pernah ia rasakan, sebuah pengakuan yang membuat seluruh tubuhnya menegang. Ia membiarkan dirinya ditarik ke dalam pelukan. Ciuman Reno menjadi semakin menuntut, semakin dalam, menenggelamkan semua bisikan hati nuraninya.
Reno membelai rambut Saskia, merasakan keharuman sederhana rambut itu, kontras dengan wewangian mewah Adelia. Keintiman itu terasa lebih nyata, lebih jujur.
Saskia menarik napas dalam-dalam saat Reno menciumnya di tempat yang lebih sensitif. Ia mengeluarkan erangan lembut, erangan pertama yang pernah ia keluarkan dalam konteks intim. Itu adalah respons alami tubuhnya terhadap sentuhan, sebuah pelepasan gairah yang telah lama terpendam. Air mata panas mengalir dari matanya, air mata dosa, air mata pelepasan, dan air mata cinta yang baru ditemukan.
Reno menyadari ini adalah pertama kalinya Saskia merasakan keintiman sejati. Ia melambat, membuatnya terasa seperti ritual suci, meskipun diwarnai dosa. Ia membimbing Saskia,
mengajarkannya bahwa sentuhan intim tidak harus menakutkan, tetapi bisa menjadi pengakuan cinta yang mendalam.
Di antara desahan dan bisikan, ada kata-kata cinta yang terlarang, kata-kata yang seharusnya diucapkan Adelia, kini terucap oleh dua pengkhianat di tengah kegelapan subuh.
Reno membisikkan janji-janji yang tak berarti, janji tentang kebahagiaan dan keselamatan, tetapi yang terdengar hanyalah pengakuan gairah dan dosa. Ia mencari pengampunan dari Saskia, ia mencari kehangatan yang jujur, ia ingin berbagi beban.
Saskia menerima segalanya. Ia memeluk Reno erat-erat, seolah ingin menyegel momen ini agar tak pernah hilang. Ia tidak mencari nafsu, ia mencari pengakuan bahwa ia layak dicintai sepenuhnya. Keintiman fisik mereka adalah sebuah pertukaran kepedihan, di mana dua jiwa yang kesepian bertemu dalam kekhilafan terbesar mereka, mencari ketenangan di tengah badai moral.
Setelah keintiman itu berakhir, mereka berbaring hening. Saskia menatap langit-langit, air mata mengalir dari pelipisnya, membasahi bantal kecilnya. Tubuhnya terasa lelah, tetapi jiwanya terasa tenang, sebuah kedamaian yang asing.
Aku melakukan ini. Pikir Saskia. Aku mencintai suamiku. Aku mencintai Reno.
Ia sadar penuh, ia kini adalah kekasih suaminya. Ia telah melanggar semua janji pada orang tuanya, pada dirinya sendiri, dan pada Adelia. Ia telah mencuri cinta itu.
Rasa bersalah itu seharusnya menghancurkannya, tetapi di sisi lain, ada rasa kepemilikan yang baru muncul. Ia berhasil dicintai. Ia berhasil memiliki Reno, meskipun hanya untuk malam ini. Rasa cinta itu menenangkan rasa bersalahnya, menciptakan siklus dosa yang mematikan.
"Kak?" bisik Reno, suaranya penuh rasa bersalah dan kelegaan.
"Jangan bicara, Reno," bisik Saskia, matanya terpejam. "Biarkan aku merasa seperti ini, sebentar saja. Biarkan aku menikmati dosa ini sebelum hari menghakimiku."
Reno memeluknya erat. Ia tahu ia tidak bisa meninggalkannya. Ia telah membuat Saskia jatuh sedalam dirinya. Mereka berdua berpegangan, dua pengkhianat yang menemukan rumah dalam pelukan satu sama lain.
Namun, rasa bersalah itu tidak hilang sepenuhnya. Setelah beberapa saat, Saskia merasakan dinginnya realitas. Ia menarik napas, dan merasakan sakit fisik dan emosional yang bercampur. Ia harus segera mengakhiri ini.
"Reno, kamu harus pergi," bisik Saskia, suaranya kini lebih tegas. "Adelia akan segera bangun. Kita tidak bisa... Kita tidak bisa melakukan ini lagi."
"Aku tahu, Kak. Tapi aku akan selalu kembali padamu," jawab Reno, mencium bahu Saskia.
"Jangan berjanji," balas Saskia, air matanya kembali mengalir. "Janji itu hanya akan membuat Adelia semakin terluka. Pergilah."
Reno akhirnya bangkit. Ia mengenakan pakaiannya, mencium kening Saskia, dan menatapnya lama, seolah mencetak wajah Saskia di ingatannya.
Mereka berdua tertidur karena kelelahan emosional. Jam di dinding menunjukkan pukul 06.00 pagi.
Tiba-tiba, terdengar suara ketukan keras dari pintu kamar Saskia.
"Kakak! Mas Reno! Kalian di mana?" Suara Adelia terdengar panik dan keras. "Kenapa kamar Kakak dikunci? Aku mau bicara!"
Reno dan Saskia seketika terbangun. Mereka berdua melompat dari tempat tidur dengan horor.
"Ya Tuhan! Adelia! Dia bangun!" bisik Reno, wajahnya pucat pasi.
"Kenapa pintu kamar Kakak terkunci?!" teriak Adelia dari luar.
Mereka berdua melihat ke sekeliling. Pakaian mereka berserakan. Mereka terperangkap!
Reno bergegas memakai pakaiannya, tangannya gemetar. Saskia dengan cepat menarik selimut, menutupi dirinya, tubuhnya gemetar.
"Kita harus cepat! Dia tahu ada yang aneh!" bisik Reno.